Indonesia Krisis Moral


Krisis ekonomi yang datang silih berganti sering ditakut-takuti sebagai penyebab kebangkrutan negara. Karena itu, para penyelenggara negara pun sibuk membenahi ekonomi agar tak disebut sebagai negara gagal.

Pandangan seperti ini jelas tak sepenuhnya salah. Tapi, menempatkan urusan perut sebagai penyebab utama kebangkrutan negara, itu adalah sebuah pandangan yang terlalu simplistis. Masih ada lubang besar dalam kehidupan bersama kita sebagai bangsa yang justru jauh lebih menakutkan. Itulah krisis moral.

Krisis moral inilah yang sedang melanda negeri kita. Sejujurnya, krisis moral menjadi sumber dari krisis ekonomi, krisis politik, juga krisis kebudayaan. Tak ada krisis ekonomi bila para ekonom dan para pelaku usaha bermoral. Juga tak ada krisis politik jika para politikusnya bekerja dengan dasar moralitas yang baik.

Begitu pula krisis kebudayaan. Jadi, krisis yang terjadi bukanlah krisis ekonomi, tapi krisis moral. Kejahatan dalam dunia perbankan (fraud) dan di capital market yang marak belakangan ini adalah bukti paling sahih betapa moralitas profesi sudah tergerus hingga ke titik terdalam.

Korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah juga sebuah gambaran nyata bahwa taman pendidikan yang mestinya menjadi salah satu pewaris utama ajaran-ajaran moral malah jebol hanya karena sifat tamak dari para penyelenggara pendidikan. Ini masih diperburuk lagi dengan praktik tak terpuji di lingkungan perguruan tinggi, yang semakin keranjingan dengan penelitian-penelitian pesanan.

Yang penting hasil akhir dan dapat duit, kualitas penelitian bukan urusan. Krisis moral juga terjadi di kalangan tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama. Semakin sulit kita temukan unsur-unsur keteladanan dari seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama di masa kini.

Namun, untuk saat ini, tak ada lagi bencana moral yang paling dahsyat dan menghebohkan kecuali perilaku tak terpuji yang sehari-hari terjadi di lingkungan para wakil rakyat kita, dari tingkat pusat (DPR RI) hingga DPRD di daerah- daerah. Menonton video porno, menjadi calo anggaran, terlibat korupsi dan suap, saling fitnah, adalah produk sehari-hari dari para anggota parlemen kita.

Tugasnya utamanya sebagai law-maker atau pembuat undang-undang pun akhirnya terabaikan. Bahkan yang lebih menyesakkan lagi, tak sedikit undangundang yang dihasilkan para wakil rakyat kita kualitasnya jauh di bawah standar. Setidaknya 90% undang-undang yang dihasilkan DPR cacat moral dan bertentangan dengan Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum kita. Buktinya, tak berapa setelah disahkan DPR dan pemerintah, undang-undang tersebut langsung dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diujimateriil.

Selain karena minimnya pemahaman tentang perundang-undangan, main mata dengan kepentingan tertentu sudah menjadi cerita umum di kalangan anggota dewan. Ada transaksi dalam pembuatan undang-undang. Inilah cerita buruk dari lingkungan para wakil rakyat kita. Jadi, bukan hanya soal kemampuan menyelesaikan perundang-undangan, tapi lebih pada moralitas yang begitu amburadul. Tentu saja ini sebuah tragedi bagi bangsa. Bagaimanapun sebuah negara hanya bisa berdiri tegak dan maju kalau perundang-undangannya bagus dan berjalan baik.

Kebetulan hari-hari ini kita disuguhi kembali buah-buah pemikiran tentang Pancasila dari para mantan pejabat tertinggi negara kita. Dari sejumlah pidato, materi yang disampaikan mantan Presiden BJ Habibie adalah yang paling menarik saat ia berpidato di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni lalu. Dia mengakui, setiap orde pasti ada kekurangannya. Tapi sangatlah tidak tepat bila Pancasila dikait-kaitkan dengan rezim tertentu, terutama Orde Baru, yang dianggap telah menggunakan dasar negara ini untuk menghajar lawan-lawan politik.

Pancasila adalah produk Indonesia yang sudah sangat teruji kesahihannya sebagai dasar ideologi negara, sumber segala sumber hukum, dan juga sebagai pandangan hidup (weltanschauung) bangsa ini. Jadi, tak layak membiarkan Pancasila berada di lorong sunyi, atau hanya dijadikan bahan diskusi, seminar, atau sekadar pajangan pemanis di beranda rumah.

Pancasila harus dijadikan pandangan hidup dan kelima silanya sangat pantas dijadikan sumber ajaran moral. Karena itulah, di saat moralitas sedang jatuh ke titik nadir, pantaslah kita mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang.

Kita setuju bila lembaga pendidikan menjadi garda terdepan dalam pendidikan moral. Makanya jangan ragu untuk menjadikan Pancasila sebagai salah satu mata pelajaran. Sebut saja secara jelas Pendidikan Moral Pancasila. Ini lebih pas daripada menempatkan agama sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah. Biarkan agama menjadi urusan pendidikan di rumah atau di lembagalembaga pendidikan keagamaan.

Selain pendidikan, perekrutan para calon wakil rakyat yang kelak menjadi law-maker juga tak boleh asal-asalan. Kualitas pendidikan dan moral harus menjadi pertimbangan dasar. Ini tentu menjadi tugas partai politik agar hanya memilih kader terbaik untuk duduk di kursi legislatif. ***

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *