Jeritan dari Papua


Hari-hari belakangan ini, pemimpin gereja-gereja di Papua menyampaikan jeritan hati masyarakat asli Papua agar pemerintah di Jakarta membuka diri untuk dialog.
Para imam gereja dari Papua menyerukan agar pemerintah sekarang juga menghentikan politik kekerasan yang mencekam penduduk selama ini.

Mereka menyerukan agar upaya pelaksanaan otonomi khusus tak mengingkari konsep yang telah disepakati. Manuver Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi akhir-akhir ini dengan mengeluarkan surat yang “merevisi” syarat pemilihan anggota MRP (bukan lagi penduduk asli Papua, tetapi hanya penduduk Papua) menjadi salah satu pemicu kekecewaan.
Surat tersebut merupakan revisi Peraturan Daerah Khusus Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pemilihan anggota MRP. Surat itu disampaikan tertulis kepada Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu Nomor 188.341/110/SJ tertanggal 13 Januari 2011. Dalam revisi tersebut disebutkan bahwa yang bisa menjadi anggota MRP adalah orang Papua, bukan “asli” Papua.  Ini artinya pendatang juga bisa dipilih.
Revisi inilah yang belakangan menuai reaksi keras dari pemimpin gereja-gereja di Papua. Ini karena perubahan Perdasus itu mereka nilai bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Bahkan pada 26 Januari atau dua pekan setelah ke­luarnya surat revisi dari Mendagri tersebut, para pemuka agama merasa perlu untuk mendeklarasikan sikap kecewa mereka. Mereka mengistilahkan sikap pemerintah pusat terhadap mereka seperti pukulan badai yang menenggelamkan kapal.
Para pemuka gereja-gereja di Papua juga keras mengecam pelaksanaan percepatan laju pembangunan di Papua, yang dianggap tidak adil, hanya menguntungkan pendatang dari luar dan menjadikan penduduk asli semakin terpinggirkan dan tergusur.
Laju pembangunan ini juga membuat semakin derasnya perusakan hutan dan alam dan menggersangkan keberlanjutan nilai-nilai dan lembaga lembaga adat budaya Papua. Papua, dalam istilah para pemuka gereja ini, telah menjalani suatu “sejarah sunyi” karena kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tak berpihak kepada orang Papua. Orang Papua, menurut mereka, telah diposisikan sebagai “yang lain” yang harus diawasi, dikendalikan, dan dibina, bukan sebagai warga negara Indonesia yang setara.
Suara profetik dari pemimpin gereja itu nyaring keras, walaupun disampaikan dengan nada sejuk dan damai. Ini harus diperhatikan dan ditanggapi secara sungguh dan de­ngan tindakan nyata oleh pemerintah, dalam hal ini Kepala Negara dan Mendagri.

Batalkan pelaksanaan otonomi khusus yang hanya berdasarkan interpretasi manipulatif. Bukalah hati nurani, niat, dan tekad. Kalau Aceh bisa diselesaikan dengan baik, Papua pun bisa ditanggapi secara konstruktif. Sekarang kita digugah agar membuka pintu untuk dialog. Jangan sampai jawabannya adalah senapan api.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *