Isteri Polisi Disandera, Dua Pucuk Senpi Tebusannya + OTK Menyerang Warga + Papua, Sejahtera atau Merdeka


Sekitar 30 orang bersenjata yang diduga kelompok Jhon Yogi pimpinan TPM-OPM yang menguasai wilayah Pania dan sekitarnya melakukan perampasan senjata milik anggota Polsek Kamofa Kabupaten Pania Selasa [16/8] sekitar pukul 01.00 WIT dini hari

Kelompok bersenjata itu, tiba-tiba mendatangi Polsek Komofa Kabupaten Pania, lalu melakukan penyanderaan terhadap seorang istrik anggota Polisi yang pada saat itu berada di Polsek tersebut, kemudian kelompok bersentata yang bersangkutan meminta senjata dari anggota Polsek.

Selanjutnya, anggota Polsek Komofa menyerahkan dua pucuk senjata berjenis SKS atau AK-47 buatan cina kepada kelompok bersenjata tersebut, guna menebus istri seorang anggota Polisi yang disandra.

Setelah kelompok bersenjata mendapat dua pucuk senjata, mereka langsung pergi tanpa melukai seorang pun anggota di Polsek Komofa. Tidak ada kontak senjata dalam peristiwa itu, kelompok bersenjata hanya mengambil senjata anggota Polisi langsung melarikan diri.

Informasi peristiwa perampasan senjata ini, diperoleh SP dari sumber terpercaya yakni, seorang anggota keamanan yang tak mau namanya dikorankan, Selasa [16/8] siang  melalui telepon, sekitar pukul 11.00 WIT

Dikatakan, situasi Pania saat ini aman terkendali, namun aparat Kepolisian yang dibekap anggota TNI 753 Nabire masih melakukan siaga di Pania.  Kabid  Humas  Polda Papua Kombes Pol Wacyono saat dihubungi SP, mengaku belum mendapatkan  laporan perihal perampasan senjata ini. Dirinya masih melakukan kontak dengan anggota yang berada di Pania

 

Bendera Bitang Kejora yang dikibarkan di atas pohon usai melakukan penganiyayaan dan penyerangan terhadap warga sipil, Selasa (16/8) dini hari. (Foto: SP/Robert Isidorus Vanwi)

OTK Menyerang Warga

Penyerangan dan penganiyaan dilakukan Orang Tak Dikenal (OTK) terjadi lagi di BTN Puskopad Lama, Tanah Hitam,  Kelurahan Awiyo, Abepura Selasa (16/8) pagi sekitar Pukul  4.30 WIT kembali terjadi.

Korban penyerangan dan penganiyayaan bernama Indrawahyudi (22) mahasiswa  Sekolah Tinggi Agama Islam  (STAIN) saat hendak  mau sembayang Sholat Subuh di Mesjid  Nurul Iman BTN Puskobad, tiba-tiba ia melihat beberapa orang  berbadan gelap dan berambut keriting gimbal membawa senjata tajam, anak panah dan  mengeluarkan tembakan. Indrayadi terkena panah bagian punggung sebelah kanan  tembus ke depan. Oleh teman-temannya Idrayadi dibawa lari ke RSUD Abepra untuk  mendapatkan perawatan.

Sehabis melakukan penyerangan, OTK itu melarikan diri ke Gunung Tanah hitam di belakang Masjid, lalu mereka menancapkan  dua  Bendera Bintang Kejora di pepohonan. Sekitar pukul 5.05 WIT Patroli Dalmas Polresta Jayapura tiba di Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan langsung mengamankan kompleks BTN Puskopad Lama, Tanah Hitam.

Sementara dari pantau SP di lokasi kejadian, pukul 9.00  WIT ke dua bendera tersebut sudah diturunkan aparat kepolisian. Sekitar pukul 9.31 WIT suara  rentetan tembakan masih terdengar di  Gunung BTN Puskopad Tanah Hitam Lama.  Penurunan dan pengejaran OTK dipimpin langsung Kapolres Kota Jayapura, AKBP Imam Setiawan.  Aparat   TNI dan Kepolisian hingga  sekarang  dari pantauan SP, masih berada di Gunung BTN Puskopad

 

Papua, Sejahtera atau Merdeka

Ada campur tangan asing yang ingin kuasai sumber daya alam

Sedikitnya ada tiga akar persoalan yang menyebabkan Papua terus bergolak. Ketiganya adalah
keinginan merdeka secara politik, keinginan untuk hidup sejahtera, dan adanya campur tangan
asing yang menginginkan penguasaan atas sumber daya alam (SDA) Papua yang melimpah-
ruah. Masalah semakin menjadi rumit, karena pemerintah sejak Orba hingga kini menempuh
pendekatan militer dalam menyelesaikan masalah Papua.

Demikian benang merah yang mengemuka pada Diskusi Perubahan bertema “Papua
Dianaktirikan, Kini Terancam Lepas”, yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa (16/
8). Hadir sebagai pembicara pengamat militer dan intelejen dari UI Mardigu Wawiek Prabowo,
peneliti Pusat Studi Papua UKI Antie Solaiman, aktivis Imparsial Al Araf, dan tokoh aktivis dari
Papua Natalis Pigay.

Menurut Natalis, ada beda pandangan antara Jakarta dan tokoh-tokoh Papua soal integrasi
Papua ke NKRI. Bagi nasionalis Jakarta, masalah intergasi Papua sudah selesai. Sebaliknya,
bagi tokoh-tokoh Papua, ada masalah dalam proses integrasi tersebut. Hal itu diperparah lagi
dengan pembangunan ekonomi pasca integrasi yang gagal yang ditandai dengan timpangnya
kesejahteraan rakyat Papua dan Jawa serta pulau-pulau lainnya.

“Tapi baiklah, kita tidak ingin berkutat pada masalah proses integrasi Papua ke NKRI. Yang
penting saat ini adalah, bagaimana pembangunan ekonomi di Papua bisa mensejahterakan
rakyat di sana. Apalagi hasil sumber daya alam Papua sangat melimpah. Selama ini kekayaan
alam itu justru banyak diangkut ke luar Papua. Mereka ingin sejahtera juga seperti rakyat
Indonesia di pulau-pulau lain,” papar Natalis.

Ketidakadilan ekonomi

Tokoh nasional Rizal Ramli yang didaulat bicara menyatakan, ketidakadilan ekonomi dan
sosial di Papua memang luar biasa. Kekayaan alam Papua yang berlimpah, tidak dinikmati
oleh sebagian besar rakyat Papua. Sumber daya alam itu justru dibawa keluar Papua oleh
perusahaan multi nasional seperti Freeport. Padahal, dengan penduduk yang kurang dari 3 juta
jiwa, bila kekayaan alamnya dikelola secara lebih adil, kesejahteraan rakyat Papua pasti bisa

dengan cepat ditingkatkan.
“Kondisi itu diperparah dengan perilaku elit dan kebijakan anggaran Papua yang ugal-ugalan.
Dana-dana dari pusat, di luar anggaran rutin, hanya 30% yang sampai ke rakyat. Sedangkan
70% nya habis oleh birokrat dan politisi lokal. Saya meminta agar anggaran Pemda diawasi
sehingga persentasenya bisa dibalik, 70% untuk rakyat. Jika ini terjadi, barulah manfaat NKRI
dapat dirasakan rakyat Papua,” ujar Rizal Ramli.

Soal kesejahteraan ini menjadi salah satu masalah paling krusial di Papua. Rizal Ramli
menambahkan, banyak dari aktivitis Papua yang antiotonomi daerah, bahkan yang mulai
berfikir tentang negara Papua, adalah mantan-mantan aktifis dan mahasiswa di sekitar Jogya,
Malang dan Bali.

“Waktu saya datang ke sana, sebagai sesama aktifis hubungan kami langsung cair dan
akrab. Mereka mengatakan jika negara dipimpin tokoh-tokoh pergerakan yang menghayati
demokrasi, HAM, dan memiliki empati terhadap rakyat Papua, mereka tidak perlu berjuang
untuk Papua merdeka,” ujarnya.
Penjelasan senada disampaikan Natalis. Dari berbagai aspek kesejahteraan rakyat Papua
memang sangat tertinggal dibandingkan dengan rakyat Indonesia di kawasan lain. Data ada
yang menyebutkan, misalnya, Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Di sisi lain, tingkat
inflasi dan biaya hidup di sana sangat tinggi. Harga semen di Kabupaten Puncak Jaya mencapai
Rp1,2 juta/sak. Harga sekarung beras terbaik 25 kg di Jawa yang kurang dari Rp200.000, di
Puncak Jaya mencapai Rp800.000. Bahkan di Pegunungan Bintang harga premium Rp40.000/
liter.

Campur tangan asing

Pengamat militer dan intelejen Mardigu mengatakan, berdasarkan data-data intelejen yang
berhasil dikumpulkan, diduga kuat ada tangan-tangan asing yang bermain di Papua. Beberapa
indikasinya tampak dari jenis senjata yang digunakan adalah senjata-senjata baru dan bukan
senjata standar Indonesia. Selain itu, taktik dan strategi yang para perusuh waktu menyerang,
jelas metoda baru yang terlatih.

“Kami menduga kuat ada tangan-tangan asing yang bermain di sana. Mereka melihat kekayaan
alam Papua yang sangat melimpah sebagai suatu hal yang ‘seksi’. Jika tangan-tangan asing itu
bisa menguasai Papua, artinya mereka punya akses yang luas untuk menjarah kekayaan
alamnya,” ungkap Mardigu tanpa mau merinci lebih lanjut pihak asing yang dimaksudkannya.

Al Araf menambahkan, pendekatan militeristik penuh kekerasan di zaman Orba ternyata masih
berlanjut sampai saat ini. Padahal, justru pendekatan militeristik itu yang menjadi penyebab

antipati dan kebencian penduduk Papua terhadap NKRI. Apalagi fakta menunjukkan, Jakarta
tidak pernah memproses para pelanggar hak azasi manusia (HAM) secara tuntas. Kalau pun ada
yang ditindak, hanyalah mereka yang menjadi pelaksana di lapangan. Sedangkan para jenderal
yang membuat perintah sama sekali tidak pernah disentuh hukum.

Kelemahan leadership

Lieus Sungkharisma, seorang audien pada diskusi menyatakan, semua persoalan yang terjadi di
Papua dalam beberapa tahun terakhir ini adalah berakar pada lemahnya leadership Presiden.
Tingkah laku elit Papua yang hedonis dan gemar berfoya-foya, pada hakekatnya karena mereka
meniru para elit di tingkat pusat. Ditambah dengan control yang lemah, mereka jadi tidak
memperhatikan kesejahteraan rakyat, bahkan justru menghambur-hamburkan anggaran untuk
kepentingan pribadinya.

“Menurut saya, kuncinya sekarang adalah bagaimana menurunkan Presiden SBY. Dia telah
terbukti gagal mensejahteraan rakyat. SBY hanya sibuk dengan berbagai kebohongan dan
program pencitraan. Rakyat sudah muak,” kata Liues. (*)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *