Garis putus-putus pada peta China kehilangan dua tanda hubungnya pada 1952, dimana saat itu Mao Zedong mengklaim Teluk Tonkin, Vietnam masuk wilayahnya. Kemudian, pada 12 Juli 2016, pengadilan internasional memutuskan demarkasi sembilan garis putus-putus tidak dapat digunakan Beijing untuk mengajukan klaim Laut China Selatan.
Garis tersebut, yang pertama kali ditulis pada peta China pada tahun 1947, “tidak memiliki dasar hukum” untuk klaim maritim, putusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda. Beijing marah dengan keputusan tersebut.
Pada 18 Juli 2016, Kepala Angkatan Laut China, Wu Shengli mengatakan kepada Kepala Operasi Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) bahwa Beijing tidak akan menghentikan kampanye kontroversialnya untuk mengubah terumbu karang Laut China Selatan yang dikontrolnya menjadi pulau-pulau buatan lengkap dengan landasan udara militer.
China “tidak akan pernah menyerah di tengah jalan” dalam upaya membangun pulau, kata Wu, menurut media pemerintah China.
Angkatan Udara China juga mengumumkan telah mengirim pengebom ke kawasan Scarborough Shoal, sebuah pulau karang yang disengketakan yang direbut Beijing dari Manila pada 2012. Analis khawatir China selanjutnya dapat membangun Scarborough Shoal, menempatkan militer Pulau China di lepas pantai Filipina. Beijing telah memperjelas bahwa putusan Pengadilan Arbitrase itu dianggap batal dan tidak berlaku.
Wang Ying, seorang ahli geografi kelautan China, juga merasa dirugikan oleh putusan pengadilan.
“Mereka tidak menghormati sejarah,” katanya, seperti dikutip dari TIME, Selasa (7/1).
“Saya sepenuhnya setuju dengan respons pemerintah kita.”
Ying berasal dari Akademi Ilmu Pengetahuan China dan merupakan murid Yang Huairen, seorang ahli geografi China, dimana pada 1947 membantu membuat sketsa berbentuk huruf U, 11 garis putus-putus pada peta China untuk membatasi sekitar 90 persen Laut China Selatan yang diperebutkan menjadi bagian negaranya.
“Semua lini memiliki dasar ilmiah,” kata Wang.
“Saya seorang ilmuwan, bukan seseorang yang terjun ke politik.”
Kendati istilah sembilan garis putus-putus biasa digunakan di luar China, istilah itu jarang muncul di pemberitaan media China. Penelitian oleh David Bandurski terkait Proyek Media China di Hong Kong menemukan bahwa sampai 12 Juli 2016, istilah itu hanya digunakan dalam enam artikel di koran People Daily. Setelah keputusan Pengadilan Arbitrase itu, media pemerintah mulai kampanye untuk membela klaim kelautan China.
Wang mengatakan garis putus karena merupakan batas maritim. “Ini tidak seperti batas tetap di darat,” jelasnya.
“Sebagai seorang ilmuwan, saya akan mengatakan bahwa tidak mungkin untuk memiliki perbatasan tetap di laut … gelombang di lautan bergerak.”
Wang juga berpendapat bahwa garis putus-putus adalah pembagian “sangat jelas” antara laut dalam yang merupakan domain China dan Asia Tenggara yang tidak memiliki banyak hal di landas kontinen. (Negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam, yang memiliki landas kontinen yang panjang, tidak setuju.)
“Ketika kami membuat garis, kami menekankan semangat kemanusiaan,” kata Wang. Kami mengizinkan negara-negara tetangga untuk melewatinya tanpa hambatan.
Yang Huairen membuat katalog klaim maritim China. Pada 1947, ia bekerja membuat peta 11 garis putus-putus dan 286 pulau batu dan karang di Laut China Selatan. Yang membantu memberi nama secara resmi setiap bongkahan batu dan karang, merujuk pada wilayah secara kolektif sebagai “Kepulauan Laut China Selatan.”
Tetapi dua tahun kemudian, kaum Nasionalis kalah dari komunis dalam perang saudara China. Selama Revolusi Kebudayaan, Yang dihukum atas tudingan “otoritas akademik anti-revolusi” karena hubungannya dengan kaum nasionalis.
“Dia tidak pernah berbicara tentang garis yang dia buat di Laut China Selatan lagi,” kata Wang.
“Dia diperlakukan dengan buruk.” (Yang meninggal pada tahun 2009.)
Keputusan Mao Zedong, melalui Perdana Menteri Zhou Enlai, untuk menyerahkan Teluk Tonkin ke Vietnam pada 1952, menghapus dua dari 11 garis putus-putus Laut China Selatan.
“Itu bodoh. Mao Zedong seharusnya tidak menyerah,” kata dia.
“Secara historis, kami tidak terlalu memperhatikan lautan.”
Setelah penjelajahan laut selama Dinasti Ming (1368-1644), kaisar Tiongkok sebagian besar menutup kerajaan mereka dari lautan. Sebagai akibatnya, kata Wang, bukti kartografi klaim China atas Laut China Selatan langka.
“Kami tidak memiliki peta yang bagus selama Dinasti Qing,” katanya tentang zaman kekaisaran yang menggantikan Ming dan berakhir pada 1911. “Qing hanya menunjukkan Laut China Selatan sebagai danau kecil.”
Namun Wang berpendapat banyak bukti sejarah mendukung klaim Beijing atas kedaulatan masa lalu China atas Laut China Selatan – mulai dari pecahan tembikar hingga buku panduan navigasi yang digunakan oleh nelayan China.
Tentu saja, negara-negara lain yang berbagi jalur air, seperti Vietnam, Malaysia dan Filipina, memiliki temuan arkeologis mereka sendiri yang mereka sebut bukti rakyat mereka juga menjelajahi Laut China Selatan. Selain itu, konvensi maritim internasional, di mana China menjadi anggotanya, kurang memperhatikan sejarah dalam hal memutuskan klaim atas laut oleh negara-negara non-kepulauan.
Pada akhirnya, bahkan tidak jelas apa arti garis sembilan putus-putus bagi China. Untuk rata-rata orang China, setiap tetesan air laut di dalam garis-garis tersebut jelas milik China.
“Garis terputus-putus, berarti perbatasan nasional di laut.”
“Garis putus-putus berarti lautan, pulau-pulau, dan terumbu karang semuanya milik China dan bahwa China memiliki hak berdaulat. Tapi itu terputus-putus, artinya negara lain bisa melewati garis itu dengan bebas.”( Mdk / IM )
Tiongkok kalau mau klaim, silahkan klaim lautan pasifik utara, belum ada yang punya. Lebih baik jangan cari perkara dg negara ASEAN.
Tiongkok meng Klaim apa yang menjadi Hak nya dan menuruti sejarahnya
Negara Tiongkok yang benderanya merah plus bintang kuning itu baru berdiri belakangan tahun 1949, indonesia sudah berdiri lebih awal tahun 1945. Natuna resmi milik indonesia sejak 1945. Mana ada hak tiongkok disana ? Hak nelayan tiongkok sekitar pulau hainan hingga ke laut pasifik utara.
Hak Tiongkok jauh sebelum 1945, baca saja artikel sejarahnya
ternyata Jokowi sendiri dan TNI sendiri menyatakan bahwa China TIDAK Melanggar Peraturan Perairan Indonesia, berarti tidak ada kasus Pelanggaran sama sekali
Sebelum tahun 1945, negara cina belum ada. Setelah tahun 1945, laut natuna sudah bersertifikat milik Indonesia dan diakui dunia internasional. Jadi percuma cina klaim karena tidak akan diakui dunia internasional.
Laut Natuna sudah dimiliki China sejak Dinasti Ming dan Qing sebelum Borobudur di dirikan dan jauh sebelum 1945 Indonesia Merdeka
Kekaisaran cina (Dinasti ming dan qing )sudah dibubarkan, segala hak miliknya sudah batal demi hukum.
Dinasti Ming dan Qing sudah dibubarkan , tapi Hukumnya dilanjutkan dan dipegang teguh oleh China sekarang, itulah sebabnya China saat ini dapat berJaya karena Belajar dari Sejarah Dinasti sebelumnya dan membangun Negaranya dengan pesat