Ini Alasan E-Voting Sulit Diterapkan pada Pemilu 2024


 Pemerintah mewacanakan penerapan pemungutan suara elektronik alias e-voting. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menginginkan teknologi yang sudah digunakan banyak negara ini diadopsi untuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Menurut Johnny, adopsi teknologi digital dalam pemilu memberikan efektivitas dan efisiensi. Meski diakuinya perlu kesiapan masyarakat untuk menjaga tingkat kepercayaan dalam tahapan pemilu.

taboola mid article

Namun, penyelenggara pemilu pesimistis teknologi e-voting bisa diterapkan pada Pemilu 2024. Langkah itu membutuhkan kajian lebih mendalam serta kerangka hukum yang menjadi dasar penerapannya.

“Pengaturan tentang e-voting membutuhkan kerangka hukum UU. Ini dari sisi regulasi,” ujar anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi kepada merdeka.com, Jumat (25/3).

Perlu Persiapan Matang

Aturan perundang-undangan untuk mengatur e-voting dinilai sulit untuk dirampungkan dalam waktu dekat. Karena itu, belum memungkinkan untuk mengadopsi teknologi untuk pemungutan suara Pemilu 2024.

Dari segi kesiapan infrastruktur, belum ada kajian matang untuk menerapkan e-voting. Butuh persiapan, energi, dan waktu yang memadai, termasuk membangun kepercayaan publik agar mau menggunakan teknologi untuk memilih.

“Selain itu, aspek teknis (IT), SDM, dan kultur, termasuk kepercayaan publik terhadap e-voting juga penting dikaji. Jadi perlu persiapan, energi, dan waktu yang memadai,” jelas Dewa.

Dalam rangka digitalisasi pemilu, KPU tengah fokus untuk mengembangkan aplikasi rekapitulasi alias Sirekap. Sebabnya masalah utama pemilu yang perlu dioptimalkan adalah pada penghitungan suara dan rekapitulasi.

“Diharapkan pengembangan dan optimalisasi Sirekap akan berjalan dengan baik, sehingga bisa lebih
cepat, efektif, dan akuntabel. Untuk itu, selain penyempurnaan aplikasinya, maka dukungan ifrastruktur
IT termasuk akses internet menjadi kebutuhan yang sangat mendasar dan penting,” jelas Dewa.

Infrastruktur Belum Merata

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penggunaan teknologi dalam pemungutan suara belum diperlukan. Infrastruktur belum merata hingga ancaman keamanan siber bisa menjadi masalah penerapan e-voting di Indonesia.

“Beberapa tantangannya adalah soal infrastruktur, seperti internet, listrik yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Belum lagi kita harus mempersiapkan juga keamanan sibernya,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati kepada merdeka.com, Jumat (25/3).

Berbagai negara yang sudah menerapkan e-voting pun tidak semuanya berhasil, seperti Jerman dan Filipina. Di Jerman, penggunaan e-voting telah dibatalkan melalui mahkamah konstitusi di Jerman. Penyebabnya terjadi isu kepercayaan terhadap teknologi yang digunakan.

Sementara di Filipina yang menggunakan e-voting sejak tahun 80-an dan ada masa kembali ke pemungutan suara secara konvensional. Alasannya karena ketidakpercayaan publik.

Teknologi Rekapitulasi Lebih Dibutuhkan

Menurut Khoirunnisa, belajar dari dua negara ini, Indonesia belum siap untuk menerapkan e-voting. Di luar masalah infrastruktur, perlu juga mempertimbangkan isu kepercayaan publik terhadap penggunaan teknologi.

“Iya, e-recap lebih pas untuk indonesia,” tutur Khoirunnisa.

Selain itu, perlu dipertimbangkan apa yang dibutuhkan dan masih menjadi masalah dalam pemilu di Indonesia. Sejalan dengan KPU, penggunaan teknologi di Indonesia lebih diperlukan dalam hal rekapitulasi penghitungan suara.

“Karena pada tahapan ini masih dilakukan secara manual dan berjenjang dari KPPS hingga pusat. Di sinilah ruang adanya kecurangan, ada potensi suara diperjualbelikan atau digeser-geser, sementara di sisi tahapan pemungutan suara relatif tidak ada masalah,” ujar Khoirunnisa.

“Oleh sebab itu yang lebih dibutuhkan adalah instrumen teknologi pada tahapan penghitungan suaranya,” pungkasnya. ( Mdk / IM )

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *