Cruise Asia Kedua Special Edition # 30


Cruise Asia Kedua Special Edition # 30

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 26 Pebruari 2020, National Tax College, Wako Campus

Kalau banyak kritik dilontarkan ke DepKes Jepang saya maklumi. Juga
pihak Diamond Princess sama sekali tidak berpengalaman sehingga pasti
ada beberapa eror yang mereka lakukan saat kami dikarantina. Eror tak
adanya atau kurang komunikasi, koordinasi saya alami kemarin. Ingat
syering di kisah # 28 dimana ketika saya telepon dokter kampus ini,
ia katakan selama symptom saya no no no dan temperatur rendah, saya
tidak akan diPCRtest. Eror. Kemarin siang, toktoktok di pintu. “Wait
a minute, do I have to wear a mask?” “No.” Wah hebats dia tahu rupanya
saya she-Yap bukan she-Tan :-). Feelingku betul, dua dokter kampus
datang pakai pakaian semi-astronot untuk nge-swap tenggorokan saya
guna ya diPCRtest. “When will I get the result?,” tanya saya tentu.
“Friday,” jawab yang satu. Senasiblah saya dan Cecile, kami berdua
akan tahu di hari yang sama, apakah mulai 4 Maret kami sudah bisa
peluk-memeluk atau hidup sekali lagi “Menunggu Godot”. Jadi di hari
Jum’at lusa, kita akan tahu apakah si MoTe pakar wayang benar bahwa
saya ini punya gen Ontoseno atau dia juga eror, Bang Jeha positif kena
kesabet Covid-19 dengan akibat dirumkitkan. Bila demikian halnya
gen-ku keturunan Kumbakarna yang cengeng cuma bisa menangis :-).
Seriusan, bila itu terjadi, benar-benar Covid-19 virus gila sebab saya
tak pernah punya semua symptoms yang dipertanyakan dan harus diisi
sehari dua kali. What will be will be, que sera sera.

Daripada BT sutris mending kita teruskan dongengan serial ini yang
ditunggu-tunggu oleh berbagai bangsa di beberapa nusa tapi yang sama
satu bahasa yakni Indonesia campur Betawi gaya prokeman :-). Hidup itu
memang menunggu, kata Samuel Beckett lewat sandiwara bekennya En
Attendant Godot. Pertama saya menontonnya tak lain tak bukan di Teater
Besar Taman Ismail Marzuki di akhir tahun 1969, dipentaskan oleh
Bengkel Teater-nya Rendra bersama Putu Widjaja dan Chairul Umam dimana
ia menjadi Gogo, Chairul si Didi dan Putu si Pozo. Seperti judulnya,
Godot yang ditunggu tak pernah datang dan sandiwara 4 jam itu untuk
saya tetap memukau sebab saya senang sandiwara, apalagi dalam bahasa
ibu kita. Nah, kalau kita pernah menonton sandiwara absurd karya
Beckett yang membuahkan ia dapat Hadiah Nobel Kesusasteraan di tahun
1969 juga, kita lebih menyelami terkadang hidup kita seperti itu,
absurd, konyol, membingungkan, engga masuk di akal. Satu orang kena
virus naik ke atas kapal bisa membuat 700 orang tertular dan beberapa
meninggal, tak masuk di akal, tak bisa diterima dengan logika dan
nalar. Itulah yang namanya kehidupan, terkadang absurd dan selalu ada
yang ditunggu. Baidewe ada yang menanyakanku karena berita penumpang
Diamond Princess masih pada berjatuhan dan ada yang matek. Saya bilang
bisa jadi tapi itu bukan si saya :-).

Hidup juga sering suatu kebetulan. Di awal kami dikarantina kemudian
Cecile positif test Covid-19-nya, saya jadi berkenalan dengan ‘case
manager’ dia yang ditunjuk Princess di dalam ‘support team’ mereka.
Amanda Chenoweth namanya, dari nomor teleponnya saya tahu ia tinggal
di Alaska. Profesinya HR dan dia dikontrak Princess untuk jadi case
manager, pegang beberapa kasus pasien-pasien Covid-19. Nah kami lalu
mulai lebih berkenalan dan seperti Cecile bilang “I love Japan”, saya
tulis “I love Alaska”. Weladalah ia tinggal dekat cagar alam Denali
yang semestinya Agustus September sudah saya rencanakan kesitu lagi,
tetapi para calon peserta pada baibai semua. Tinggal satu suami yang
isterinya ogah dan satu isteri, suami engga bisa. Masa saya taruh di
satu tenda, atuh nenek bilang itu berbahaya :-). Masa 3 tenda, atuh
saya jadi ribet planningnya mesti 2 campsite (maksimum 2 tenda per
campsite di Denali Park). Jadi saya batalkan, padahal seperti cruise
saya mau lagi mau lagi, begitu juga ke Alaska (dan Yukon), mau lagi
mau lagi sebelum berumur 80 :-). Akibat “I love Alaska” dan Amanda
tahu saya pernah dua kali ke Denali, 4 kali ke Alaska, kemarin saya
dapat alat-alat fitness, exercise ball dan 2 macam ‘sandow’, si bule
bilangnya ‘resistance band’. Sip markosip, Bang Jeha akan tetap fit.
Amanda janji akan membuat suatu keajaiban juga, apa itu, tunggu seri
ke 31, isteriku sudah kuberitahu dan ia sedang loncat-loncat :-).

Kemarin isi email terutama WA penuh dengan gambar dan video sarkasme
sinisme yang dilontarkan dibuat warga DKI yang sekali lagi kena banjir
gila-gilaan, di beberapa tempat tergila sejak 1 Januari.Ingat tayangan
saya mengetengahkan ‘cognitive dissonance theory’ Leon Festinger bahwa
otak manusia yang mengalami disonansi, kog bisa banjir lagi, kog bisa
lebih parah, butuh diseimbangkan. Nah, mereka yang pada ‘enjoy’ dansa-
dansi main kayak atau berseluncur adalah bagian dari kelompok tsb.
Supaya tidak sinting, wan Abud yang sakti tak bisa dilengserkan,
begitulah caranya. Rakyat mengalami stress dan itulah cara termudah
untuk de-stress, enjoy-enjoy sahaja. Hanya di Indonesia ada orang
yang tampak senang mengalami kebanjiran. Ngomongin WS Rendra di atas,
kalau Anda pernah di IBM Indonesia di era saya mestilah kenal Mbak
Widiati Taufik, sohibku yang setiap jam makan siang ku”bezoek” di
meja sekertarisnya di lantai 17 IBM Education Centre. Ia dulu juga
di Bengkel Teater, sohib dengan Mbak Narti, isteri pertama Rendra.
Ngobrol kongkow-kongkow dengan Mbak Widi paling asyik sebab ia juga
gila sandiwara, lah pemainnya. Belakangan ia juga gabung di group
Teater Kecil-nya Arifien C. Noor. Mbak Widi almarhumah akan ngerti
kenapa perilaku manusia Indo jadi seperti begini ini, banyak yang jadi
eror karena hidup sangat senteres. Sebab hidup kadang seperti panggung
sandiwara, dibesarkan di kisah wayang dan sering nonton lenong membuat
saya seperti si Jeha yang rada-rada, absurd, konyol.

Beberapa sohibku bingung masih engga ngerti gimana saya bisa tahan
tidak perlu konseling segala macam dengan ‘shrinks’ yang disediakan
Diamond Princess. Gampaaaang. Seperti saya katakan saya senang baca
tulis dan ada Internet wide-band tambah oke, bisa nonton YouTube. Saya
senang cem-macem musik terutama folk songs. Akhir-akhir ini selain
cinta Jawi lan bosone, saya suka tontonin si Dyah Novia. Lagu Banyu
Langitnya gubahan Didi Kempot sudah 100 kali saya tonton dan nasib
saya masih mending darinya, ditinggal pacar mulu :-). Dyah memang
cengeng tapi saya jadi terhibur oleh suara dan lagu-lagunya. Matur
nuwun Dyah, aku tresno sampeyan, swaramu :-), wekwekwek. ( Jusni H / IM )
… (bersambung) …

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *