Para penduduk di sekitar estate lebih suka datang menonton beramai dengan penggemar bola lainnya, suasana jauh lebih seru dari pada nonton sendiri di rumah atau bersama keluarga yang sebagian malah kurang berminat dan memilih tidur santai daripada menyaksikan sekumpulan orang dewasa lari mati matian mengejar sebuah bola di lapangan terbuka semalam suntuk. Umumnya yang tergila gila dengan pertandingan World Cup adalah kaum pria, tapi dalam dunia modern yang katanya sudah banyak maju, wanita senantiasa tidak mau kalah dalam segala hal, termasuk interest dalam bidang sepak bola. Cukup banyak kaum hawa yang juga sangat bersemangat mengikuti jalannya pertandingan, bahkan ikut menyaksikan pertandingan di stadium setempat. Pokoknya “What You Can Do, I Can Do Better.” Semboyan yang memicu agar wanita berani mendombrak ikatan tradisi, keluar dari cekalan budaya yang melecehkan kaumnya.
Sementara jika kita perhatikan, para wanita yang datang menyaksikan pertandingan, rata rata adalah wanita muda belia, berparas cantik, badan menggiurkan, berpakaian skimpy dan sexy berjingkrak mengalu ngalukan bendera nasional masing masing. Sedikitnya inilah yang disorot oleh mass media, dipajang sebagai bahan hiburan demi menarik  perhatian dan increase readership. Jadi dianggap sekedar sebagai unsur komersiel. Ok, itu tentunya wajar wajar saja, sama sekali tidak mengherankan, karena kenyataannya kita hidup dalam lingkungan kapitalisme, dan commercialization adalah budayanya. Kita tidak bicara mengenai baik, buruk, bagus tidaknya satu sistim kemasyarakatan, itu bukan domain pembicaraan kita dalam tulisan ini. Hanya, jika dipandang dari segi tertentu, apa bedanya dengan male paternalism society yang katanya perlu ditantang dan didombrak oleh kaum hawa modern yang berpandangan progressive? Bedanya, kalau dulu mereka merasa tertindas karena dipaksa melakukan hal hal yang tidak disukai, sekarang mereka melakukannya secara sukarela ditambah dengan perasaan bangga diri.
Sekali lagi, tidak ada salahnya jika wanita yang merasa dirinya cantik ingin memamerkan assetnya, hidup dalam budaya yang menganjurkan “If You Have It, Flaunt It. If You Don’t Have It, Fake It” gejala tersebut niscaya akan berakar dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa mementingkan kepuasan instant bagi diri sendiri. Yang ingin dipertanyakan, inikah yang dinamakan kemajuan dalam memperjoangkan kesetarapan gendre? Lalu, pertanyaan yang lebih mendasar dan signifikan: Apakah perlu adanya batas perbedaan antara laki laki dan perempuan dalam perjoangan mencapai keadilan dan kesejahteraan hidup masyarakat?
Kembali kepada aficionado bola sepak yang sedang duduk bersama menunggu tibanya pertandingan final antara Belanda dan Spanyol pada jam 2.30 pagi, terdengar percakapan meriah membincangkan team mana yang akan keluar menjadi juara. Setelah itu, seperti biasanya percakapan dikalangan para pria, terlebih pula setelah diiringi dengan minuman, topik pembicaraan tidak jauh dari perempuan. Seorang pria berkata pada temannya yang baru kembali dari Shenzen, “Bagaimana kabarnya? Aku dengar gadis di sana cantik cantik. Jangan main main, ya? Jangan sampai lupa keluarga, lho.” Dengan langgam acuh tak acuh bagaikan meneguk air putih, temannya menyahut, “No problem. Selingkuh itu kan Selingan Indah Keluarga Utuh.” Suara tawa beruntutan dari meja ke meja, lalu mendadak berhenti, terutup oleh sorak tepuk tangan ketika kedua team pertandingan menjelma di layar.