Untuk menjemput Tahun Ular 4710 Confusius.
Pendahuluan.
Baru tidak lama, saya menerima email dari teman sejawat di Jakarta yang sering
konsultasi prihal budaya Tionghoa dengan pertanyaan yang sangat sederhana, “ Cap
Go Meh itu apa artinya”? Mau tidak mau saya terhening sejenak, mengirakan apa yang
dimaksud dalam pertanyaan: apa itu Cap Go Meh? Bukankah suatu budaya Tionghoa
yang kita semua telah merayakan hampir sejak kita mulai mengerti mengatakan Sin Cun
Kiong Hie dimasa kanak-kanak? Entah yang dimaksud adalah semata-mata arti istilah
Cap Go Meh atau tradisinya, seperti kebiasaan, saya jawab dengan cerita sejarahnya.
Bersangkutan dengan tradisi, kita sebagai peranakan merayakan Cap Go Meh dengan
bikin ketupat dan makan lontong Cap Go Meh, namun chasnya adalah makan ronde dan
merayakan sembahyang lampion di-klenteng.
Istilah Cap Go Meh.
Asal pembawaan orang Tang-lang dari Hokkian maka budaya ini disebeut dalam dialek
Hokkian: Cap Go Meh yang artinya semata-mata “malam ke lima-belas”.
Sin Cun Ke Cia dalam kenangan masa dulu.
Tahun baru Imlik dirayakan dari tanggal 1 (jo iet) bulan pertama sampai terang bulan
tanggal 15 (cap go) selama 15 hari.
New Year’s Eve Imlik jatuh pada tanggal 29 bulan duabelas setiap tahunnya, pada malam
penutupan tahun ini, yang disebut Ni Meh/Nian Wan, seluruh anggauta keluarga dari
segala pelosok pulang kerumah orang tua reuni, makan bersama mengitari meja bundar
yang mewujutkan kelengkapan, keutuhan dan kerukunan keluarga dalam tahun yang
lalu dan dalam tahun yang akan datang. Dari situ menjadikan bentuk meja makan rumah
tangga Tionghoa selalu bulat, meskipun meja panjang pun dibikin bentuk lonjong, dan
lalu lintas mudik pulang desa menjelang tahun baru menjadi panik di Tiongkok karena
anak-anak harus hadir dimeja makan orang tua pada malam ini. Tengah malam ini akan
dimeriahkan dengan memasang petasan dan kembang api, setelah itu beramai-ramai
menuju ke klenteng setempat untuk bersembahyang menjemput Dewa Rejeki yaitu Cai
Seng Ya (ya=bapak, seng=pemberi, cai=rejeki), ada yang dikenal sebagai Cekong Mas,
maupun Sam Po Kong, minta diberkati banyak rejeki dan supaya menang lotre buntut
ditahun mendatang.
Sin Cia (cia=hari raya, sin=baru ) adalah istilah singkatan dari Sin Cun Ke Cia yang
maksud lengkapnya adalah : hari raya besar menjelang musim Semi baru.
Pagi-pagi pada hari tahun baru, meskipun miskin pun harus mengenakan pakaian baru,
sedikit-dikitnya yang bersih, untuk pergi pai-jia (pai=menengok, jia=famili ). Pertama-
tama mendapatkan ang-pao (pao=sampul, ang= merah) yang berisi uang dari orang
tua seperti kakek dan ayah, kemudian keliling naik beca meskipun sering dalam cuaca
hujan kerumah famili dekat. Duit yang diterima dalam ang-pao tidak bernilai besar tetapi
biasanya baru-baru senang disimpan sebagai koleksi. Dirumah sedang mengadakan
sembahyang kue keranjang (ni-kee/nian kao) yang berbentuk tempurung kecil, kue itu
keras padat terbuat dari ketan tumbuk dan gula layaknya kue wajik Minahasa, dan, juga
makan lumpia basah (lun=musim semi, pia=camilan ) yang harus membungkusnya
sendiri untuk antisipasi kedatangan musim Semi didepan mata.
Pada hari kedua adalah waktu untuk bersambang kerumah mertua dan teman-teman,
juga menerima tamu yang datang pai-jia. Dan pada hari ketiga adalah hari memperingati
arwah nenek moyang yang telah meninggalkan kita, disebut juga hari setan, biasanya
tidak layak untuk berkunjung pada hari itu, makan makanan yang tesisa dari hari-hari
sebelumnya.
Setelah hari ke-empat, dirumah sudah mulai sibuk mengolah ronde, bola sebesar ping-
pong berinti ramuan kacang diselaputi tepung ketan yang tebal dan diberi tanda satu
titikan jingga merah yang akan dimakan pada malam ke lima-belas nanti. Ronde ini harus
digodok dalam air panas sampai mendidih tiga kali supaya masak sebelum dimakan
dengan kua tawarnya. Penggunaan tepung ketan semata-mata karena sifat lekat dan
kenyalnya dari pada tepung beras.
Telah 15 hari sekeluarga berkumpul dan bergembira menyambut datangnya tahun yang
penuh dengan harapan baru, maka tiba waktunya untuk kembali kepenghidupan semula.
Besok harinya, yang didesa sudah mulai menggarap tanah ladang, yang perantauan
juga sudah harus kembali kepekerjaannya masing-masing, sekolahan juga akan segera
memulai kelasnya. Maka malam untuk mengachiri masa tahun baru ini disebut Cap Go
Meh (meh=malam) dan dimeriahkan secara besar-besaran dengan diselenggarakan Teng-
hui (hui=festival, teng=lampion) atau sembahyang lampion.
Malam ke lima-belas ini sebaliknya juga merupakan malam pangkal permulaan dalam
kehidupan baru (to start anew), setelah malam ini pun semuanya kembali ke normal
sehari-harinya, maka di Tiongkok tidak disebut Cap Go Meh, tetapi menurut nama
aslinya: Yuan Xiao/ Goan Siau (xiao=malam, yuan=pangkal,permulaan) atau Shang
Yuan/ Siong Goan (shang=menuju, yuan=permulaan), dan, ronde yang dimakan
beramai-ramai pada malam ini yang tersebut diatas juga namanya siong goan ngi
(ngi=bulatan/ronde) melambangkan terang bulan dan kerukunan keluarga. Makan ronde
di Tiongkok Selatan telah berlangsung sekitar 800 tahunan.
Pada tahun 2013, Sin Cia adalah tanggal 10 Pebruari, dan Cap Go pada tanggal 24
Pebruari.
Sejarah Cap Go Meh.
Setiap tahun Cap Go Meh merupakan hari raya traditional Tionghoa yang juga dirayakan
dinegara-negara Asia sekitarnya. Mengenai cerita asal usul perayaan ini banyak sekali,
ada yang berupa dongeng dari penganut Taois yang tersebar sejak Dinasti Qin abad 3BC,
seperti yang begini banyak dan tidak berdasarkan kebenaran sejarah. Karena itu sukar
untuk menyebutkan asal muasal Cap Go Meh, tetapi bisa kita cari asal kapan meluasnya
perayaan ini.
Versi yang masih layak dipercaya dan yang telah menetapkan sebagai budaya Tionghoa
sampai sekarang, adalah sebagai berikut:
Pada zaman Dinasti Sui, salah satu dinasti singkat yang hanya selintas 35 tahun (589-
618 AD), dengan hanya 2 kaisar Wen Di dan Yang Di dalam masa itu yang menetapkan
kebesaran wilayah Tiongkok sebagaimana sekarang ini. Sui Yang Di yang dalam
sejarah dianggap maharajarela, selama 14 tahun dalam tahtanya tidak banyak berdiam
diistana di ibu kota Chang’an (Xian sekarang). Tidak henti-hentinya memimpin sendiri
kampanye jutaan prajurit menyerbu bangsa-bangsa disekelilingnya untuk memperluas
wilajah dengan mencakup Korea Utara di Timur, Vietnam Utara di Selatan, Turkistan
Timur yaitu Xinjiang sekarang di Barat, dan ke Utara, Mongolia. Juga menggerakkan
pembangunan saluran air raksasa Grand Canal yang menghubungkan ibu kota timur
Luoyang di Henan ke Beijing sekarang, lalu melanjutkan ke selatan sampai bergabung
dengan Yangtze River. Project yang merupakan salah satu terbesar dalam sejarah
bangsa Tionghoa ini telah memakan korban sedidik-didiknya 3 juta pekerja yang
berbanting tulang siang malam dengan hanya menggunakan serokan dan pacul tangan
untuk bisa rampung dalam waktu sesingkat 6 tahun. Setelah rampungnya kanal tersebut
digunakan Yang Di yang megalomania membawa puluhan ribu pengikutnya dengan
ribuan kapal untuk berwisata-kerja keliling meninjau wilajah disekitarnya, cruising
bersenang hati sampai tiba dikediaman masa mudanya di Yangzhou, Jiangsu. Akibatnya,
Sui telah mengalami kehabisan penduduknya dan juga keuangan-negaranya, lagi pula
pemberontakan untuk menggulingkan Sui mulai timbul dimana-mana.
Untuk pengabuan mata rakyat dan membangkitkan kembali semangat dari kegentingan
suasana negaranya, didirikan suatu panggung tinggi dengan ratusan lampion yang
terang benderang diletakkan didaerah sudut pintu gerbang utama Duan-men di Luoyang,
Henan. Dipentaskan serba acara hiburan kesenangan Yang Di sendiri yaitu akrobatik
dan permainan sulap, disertai nyanyian, tarian dan lain-lain, ini dilaksanakan bertepatan
dengan hari raya Shang Yuan/Siong Goan, yang menurut ajaran Taois artinya hari
pangkal menjelang kemakmuran, karena perayaan itu diselenggarakan pada malam
hari (xiao), maka timbullah istilah Yuan Xiao/Goan Siau (malam pangkal permulaan).
Dalam festival tersebut juga disertai penjualan hidangan makanan-makanan setempat
diantaranya adalah ronde dalam kua disekitar panggung, maka dikatakan malam itu juga
makan ronde atau “makan yuan xiao”, dan ronde itu sekarang juga dinamakan “ronde
shang yuan” (siong goan ngi) bermaksud menuju masa depan yang baik. Peristiwa
tersebut merupakan Festival Lampion yang terjadi pada malam terang bulan, Imlik Iet
Gue (bulan satu) tanggal Cap Go, yaitu Cap Go Meh tahun 610 AD.
Ronde.
Pada zaman Dinasti Song sekitar 800 tahun yang lalu, tradisi makan ronde dalam kua
pada malam Yuan Xiao telah menyebar luas dimasyarakat, dan “makan yuan xiao”
melambangkan harapan orang supaya ada kerageman keluarga yang damai dan sejahtera
dalam tahun yang baru..
Ronde berasal dari Zhong Yuan (dataran tengah atau China Proper) yaitu daerah Henan
sekitar Yellow River di Tiongkok Utara yang kemudian dibawa ke Selatan kesekitar
daerah muara Yangtze River. Ronde juga dibawa oleh orang Tang-lang yaitu orang
Zhong Yuan pada jaman Dinasti Tang ke Hokkian disekitar abad 8AD, yang kemudian
menyebar ke Asia Tenggara dan Nusantara semestinya dimasa Dinasti Qing disekitar
abad 18-19.
Makan ronde merupakan tradisi budaya Tionghoa chas dalam suasana tahun baru Imlik.
Namun telah kurang dikenal oleh peranakan Tionghoa di Indonesia pada zaman sekarang.
Modifikasi dari orang Tio-ciu (Guangdong), ronde ini diberi lapisan permukaan wijen
lalu digoreng dalam minyak yang ditumpuk setelah masak, maka menjadi cin-tui
(cin=gorengan, tui=tumpukan), dan tumpukan ronde-ronde ini disingkat menjadi onde-
onde.
Di Jepang, ronde yang telah menjadi camilan national dikenal dengan nama asli Hokkian-
nya yaitu mo-ji.
Lontong Cap Go Meh.
Gantinya ronde, di Indonesia ada makanan national “lontong Cap Go Meh”. Terus terang
saja ini bukan hidangan chas untuk merayakan Cap Go Meh, tersedia disepanjang tahun
dihampir semua depot milik peranakan Tionghoa maupun bukan.
Ada gagasan spekulasi, lontong cap go meh berasal dari keturuan Tionghoa yang datang
sejauh dijamannya Cheng Ho tiba di Jawa, gagasan ini menarik tetapi ada kesangsian
ketepatannya. Tionghoa yang datang dan menetap di Jawa sewaktu zaman Majapahit
disekitar abad 15-16 sangat sedikit jumlahnya, dan kebanyakan adalah keturunan Persia/
Arab Tionghoa sebangsa para 8 Sunan Wali Songo periode pertama yang pada umumnya
tidak mentaati budaya Tionghoa, lagi pula keturuan Tionghoa tersebut kemudian lenyap
tertelan zaman setelah berpadu sama penduduk asal Jawa setelah beberapa generasi.
Kebanyakan peranakan yang sekarang menjadi suku Tionghoa di Indonesia adalah
keturunan dari taupan perantauan orang dari pesisiran Tiongkok selatan yang datangnya
pada zaman Belanda dari abad 18 sampai permulaan abad 20, dan yang sekarang dibilang
adalah keturunan Tang-lang maupun Hakka.
Lontong Cap Go Meh komplit.
Lontong bukanlah makanan chusus tercipta untuk menggantikan ronde dalam perayaan
cap go meh, dan saus rasa santan dalam paduan antara opor (putih) dan kare (kuning) itu
mungkin adalah pengaruh makanan India dan Portugis yang mendahului berpengaruh
di Nusantara. Lauk pauk lainnya yang menjadi campuran dalam hidangan memang bisa
dikatakan terdiri dari makanan biasa di Jawa.
Yang cuma bisa dipastikan disini adalah “lontong cap go meh” merupakan makanan
chas peranakan Tionghoa dari namanya saja, yang terdiri dari kombinasi bahan masakan
Jawa sehari-hari, yang sumbernya mungkin dari pesisir utara Jawa antara Lasem dan
Semarang, yang mungkin semulanya bersangkutan juga dengan waktu cap go meh.
Tetapi perlu berpikir lebih kritis mengenai siapakah yang mungkin menciptakan kreasi
tersebut, antaranya apakah oleh nyonya-nyonya peranakan Tionghoa sendiri, atau oleh
ibu-ibu yang telah menjadi istri Tang-lang atau keturunan yang melahirkan itu nyonya-
nyonya, ataupun hanya oleh pembantu didapur pada waktu itu, sukar dipastikan sekarang.
Juga bisa jadi hidangan ini berasal dari kreasi suatu depot makan “X” yang kemudian
meluas menjadi menu hidangan sehari-hari direstoran mana-mana.
Festival Lampion Tradisi Singkawang.
Sembahyang Lampion.
Festival Lampion atau Teng-hui yang pada umumnya diselenggarakan di klenteng
atau ditaman umum. Pada semulanya dimasa lampau merupakan arena untuk menguji
kecakapan sastra seseorang dan pertemuan muda-mudi. Untuk melambangkan terang
bulan yang pertama dalam tahun baru, menggantungkan lampion-lampion merah dengan
motip yang indah. Setiap lampion dihiasi dengan syair teka-teki pada sisi-sisinya yang
jawabannya mungkin berupa suatu huruf Mandarin, nama binatang atau peristiwa dalam
sejarah, untuk ditebak jawabannya. Hal ini kemudian juga menjadi suatu alat perjudian
serupa nomor buntut yang disebut hua-hui (hui=festival, hua=bunga), yang juga pernah
melanda Indonesia pada achir tahun 60’an abad yang lalu.
Para muda-mudi pada beramai-ramai mengelilingi lampion saling mengadu kepandaian
untuk memecahkan teka-tekinya. Sering dalam cerita romantik, dikesempatan itu
bertemulah juga pasangan hati. Maka festival lampion juga dianggap sebagai malam
perjodohan layaknya Valentine.
Klenteng Eng An Kiong Malang
Tepat pada malam ini 50 tahun yang lalu, saya pun mendapat jodoh hidup dari Marga
Kwee sewaktu sembahyang lampion di Klenteng Eng An Kiong, Malang.
Referensi:
Zhang Wenbin, editor (2000): Unique Attraction Source Seeking. Hal. 103-105. (Bahasa
Tionghoa).
Josh Chen: Asal Usul Lontong Cap Go Meh. http://liburan .info/content/view/964/64/