Minggu ini rombongan Haji NTT sedang menunaikan rukun Islam ke-5 di Mekah. Minggu ini pula satu rombongan pendeta GMIT sedang mempersiapkan diri untuk berkunjung ke Jerusalem.
Pelepasan rombongan peziarah rohani ini menjadi pekerjaan publik perdana Majelis Sinode GMIT periode 2011-2015. Tentunya, diharapkan rombongan akan kembali dari Jerusalem dengan selamat dan menjadi peziarah yang mabr?r (Arab), artinya peziarah yang diterima dalam anugerah dan berkat Allah.
Jerusalem menyimpan situs arkeologis dan religius bagi tiga agama besar, yaitu Yudaisme, Islam, dan Kristen. Tembok Ratapan adalah salah satu situs religius penting Yudaisme. Penganut agama Yahudi orthodoks percaya bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam Shekhinah (kehadiran Ilahi). Jadi, berdoa di situ sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan.
Bagi muslim, tembok ini juga merupakan bagian dari dasar Masjid al-Aqsa dan Masjid al-Omar, serta diyakini sebagai gerbang tempat terangkatnya Muhammad dari Jerusalem ke surga (mi’raj) dengan mengendaraiburaq.
Bagi orang-orang Kristen, mereka dapat menyaksikan secara langsung tempat kelahiran, pelayanan, kesengsaraan dan kematian Yesus, sang Juru Selamat.
Terminologi Jerusalem
Jerusalem berasal dari kata yer?sy?salaim (bahasa Ibrani), yang menunjuk kepada sebuah kota, yang dalam Alkitab digambarkan sebagai negeri beradab dengan sejumlah nilai kemanusiaan.
Dampak dari negeri beradab itu adalah kebenaran, keadilan, kesetaraan, perdamaian, dan cinta kasih menjadi suasana sehari-hari Jerusalem. Dengan demikian, orang yang hidup di sana merasa bahagia.
Selain idealisasi Jerusalem secara terminologis, terminologi religius juga memberi sumbangan bagi meningkatnya jumlah peziarah ke negeri yang saat ini dipimpin PM Benjamin Netanyahu.
Jerusalem, seperti apa kata Alkitab, mendorong tiap orang untuk rindu ke sana. Sekitar abad ke-6 SM atau abad-abad sebelumnya, Jerusalem sudah menjadi magnet spiritual bagi orang-orang yang hidup di Timur Tengah.
Penulis kitab Mazmur menggambarkan Jerusalam sebagai berikut: Hai Yerusalem, yang telah didirikan sebagai kota yang bersambung rapat, ke mana suku-suku berziarah, yakni suku-suku TUHAN, untuk bersyukur kepada nama TUHAN sesuai dengan peraturan bagi Israel (Maz 122:3-4).
Menurut sang pemazmur, Tuhanlah yang membangun Jerusalem dan di situ umat-Nya dikumpulkan. Singkatnya, Jerusalem sudah menjadi sebuah kota impian sejak itu.
Tafsir Islam
Jerusalem mendapat perhatian sungguh-sungguh dari para penafsir Islam di Indonesia. Negeri ini dipahami sebagai Tanah Perjanjian bagi Israel, umat Musa. Prof Dr Haji Abdul Malik Bin Abdul Karim Amirullah, disingkat Hamka (1908-1981), dalam tafsirnya tentang sura 7:137, mengatakan Allah memberikan kepada umat Musa Tanah Perjanjian, yakni wilayah Syam yang menyebar hingga mencapai batas Timur, negeri Syria, ke Barat berbatasan dengan negeri Mesir, dan di dalamnya terdapat tanah Palestina (Hamka, Tafsir Al AzharJus IX, 2005:49).
Sambil mengutip Kejadian 12:7, Hamka menegaskan Tanah Perjanjian (ardhul mi’ad) diberikan kepada anak-cucu Abraham (sura 5:21). Seperti diketahui Abraham memiliki dua anak laki-laki, Ismael dan Isak. Bangsa Israel, keturunan Isak, menduduki Tanah Perjanjian sesudah 400 tahun pada periode Musa (Hamka, Tafsir Al AzharJus VI, 2000:203).
Umat Musa hanya menikmati tanah itu selama periode singkat. Hal ini karena umat Israel tidak suci di hadapan Allah (Hamka, Tafsir Al AzharJus IX 2005:141). Beberapa periode berikut, bangsa-bangsa seperti Babel, Persia, Roma dan Arab menduduki Tanah Perjanjian secara bergantian.
Selama 1.400 tahun tanah itu di bawah kontrol bangsa Arab. Tetapi, pada 1948, orang-orang Yahudi, yang didukung Inggris dan Amerika Serikat, mengambil alih Tanah Perjanjian.
Alasannya, mereka telah diberi hak untuk memiliki Tanah Perjanjian sejak 2500 SM. Melalui tindakan itu, mereka mengusir 2 juta orang Arab, yakni populasi asli Tanah Perjanjian. Sejak itu orang-orang Yahudi memiliki negerinya dan tidak lagi hidup terpencar di penjuru dunia, termasuk hidup terasing di wilayah Arab.
Tetapi, orang-orang Yahudi telah berdosa hingga hari ini karena menjadikan penduduk asli itu tercerai berai. Karena itu hak istimewa mereka telah dicabut.
Hamka mengutip sura 7:167, Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sungguh, Dia akan mengirim orang-orang yang akan menimpakan azab yang seburuk-buruknya kepada mereka (orang Yahudi) sampai hari kiamat. Sesudah menaklukkan wilayah Palestina pada 1948, Israel menyerang lagi negeri-negeri Arab lainnya pada 1967 dan membakar Masjid Al-Aqsa pada 1969.
Waktu itu bangsa Arab-Palestina melawan di bawah pimpinan Yaser Arafat. Mereka menuntut balas dan berjanji untuk tidak berhenti sebelum orang-orang Yahudi itu diusir dari Jerusalem, tanah tumpah darah mereka (Hamka, Tafsir Al AzharJus IX, 2005:151,152). Demikianlah perlawanan itu berlanjut hingga kini, karena merupakan hak mereka untuk menuntut tanah air.
Berkaitan sura 7:128 dalam tafsir Al-Mishb?h, Prof Dr M Quraish Shihab menerangkan secara teologis seluruh dunia adalah milik Allah. Demikian halnya Jerusalem yang sebenarnya dijanjikan kepada orang-orang Yahudi kecuali kalau mereka menjadi orang-orang takwa. (M Quraish Shihab, Al-Mishbah Volume 5, 2006: 215).
Tafsir Kristen
Beberapa tafsiran Kristen Indonesia mengenai Jerusalem atau Tanah Suci menarik untuk disimak. Dr Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, memahami Jerusalem sebagai kota suci kalau negeri itu sudah damai.
Selama belum ada perdamaian antara Israel dan warga Palestina maka Jerusalem bukanlah Tanah Suci (Memahami Israel Alkitab dan Israel Kontemporer, 2011:1).
Selanjutnya Dr Ioanes Rakhmat, mantan dosen STT Jakarta, menyinggung sepintas mengenai kerinduan orang ke Jerusalem sebagai bentuk zionisme Kristen. Gerakan fundamentalisme Kristen ala Amerika menginspirasi orang-orang Kristen Indonesia untuk berkunjung ke sana.
Gerakan ini sesungguhnya hendak menggeser posisi masyarakat Israel sekarang dan menjadikan penganut aliran ini sebagai “Israel baru”. Tugas utama “Israel baru” adalah menobatkan warga Israel saat ini sehingga dengan pertobatan itu akan memungkinkan “Israel baru” terangkat ke surga (Mulai dari Musa dan Segala Nabi, 1996: 65-67).
HA Pandopo, teolog Belanda bernama asli Harry A van Dop yang bekerja di Indonesia selama 38 tahun, menafsirkan Jerusalem (dalam syair dan lagu “Kidung Jemaat” 134) sebagai kota yang tidak aman dan penuh dengan manusia pendosa. Tetapi, jika Jerusalem sejahtera maka pada saat itu juga sang Mesias sudah datang.
Di tempat lain Madah Bakti (buku nyanyian umat Katolik Indonesia) nomor 834 memberi gambaran Jerusalem sebagai kota surgawi. Di sana melimpah segala nikmat yang dapat membahagiakan setiap penghuni, juga terjadi pesta akbar bersama Allah karena itu setiap orang diundang ke sana.
Bisnis Pariwisata Israel
Sejak Israel membuka situs-situs purbakala untuk kepentingan pariwisata, banyak orang Kristen Indonesia berbondong-bondong ke sana. Para peziarah memiliki satu tujuan, yakni mengultuskan Israel masa lampau.
Sekurang-kurangnya, mereka memahami ikatan-ikatan sejarah dan tradisi-tradisi agama yang berkaitan dengan Israel di masa lampau yang merindukan Jerusalem dan percaya bahwa tanah itu sebagai bagian dari iman Kristen (Fredrik Doeka, The Enduring Mission of Moses, 2011:5).
Motivasi religius semacam ini menjadi peluang bisnis pemerintah Israel untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dan menjadi pendapatan terbesarnya. Lebih dari 2,7 juta turis asing mengunjungi Israel pada 2009.
Bila mendasarkan pada tafsir Islam dan Kristen di atas, Jerusalem sekarang ini dengan luas 123 km persegi, yang dirindukankan banyak orang Kristen lainnya, benarkah Tanah Suci? Kecuali kalau penghuni Jerusalem kini sudah bertobat dan bertakwa kepada Allah, hidup suci di hadapan-Nya dan mengasihi sesama manusia.
Hati kita teriris ketika mendengar peziarah-peziarah Kristen mau saja menghabiskan puluhan juta rupiah untuk pergi ke negeri yang sedang digenangi darah dan air mata para martir Palestina. Sebagian peziarah terpaksa berutang untuk ke sana.
Sementara itu di NTT, di bumi Flobamora, kemiskinan merajalela, hantu KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) bergentayangan, busung lapar menjadi penyakit akut, kematian ibu-ibu hamil meningkat, mutu pendidikan sangat rendah, pengangguran di mana-mana, dan masih banyak masalah sosial lainnya.
Bukankah ini keadaan riil negeri kita dan menjadi tugas Anda dan saya untuk menjadikannya sebagai “Jerusalem”, negeri adil dan makmur atau Tanah Suci?
Tugas kita seharusnya menjadikan “Jerusalem” ideal itu nyata di bumi Flobamora dengan cara mengentaskan kemiskinan, memberantas KKN, meningkatkan dan menyediakan layanan kesehatan memadai bagi masyarakat, meningkatkan mutu pendidikan, dan menyediakan lapangan pekerjaan. Selama tugas-tugas tersebut kita tunaikan maka selama itu pula kita menjadi peziarah yang mabr?r.
*Penulis adalah pengajar Islamologi dan Teologi Agama-agama pada Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang.