Banalisasi Korupsi


Apa gunanya ada Komisi Pemberantasan Korupsi kalau korupsi bukannya makin berkurang justru makin mengganas? Bukankah kian hari Indonesia kian mendekati negara kleptokrat: negara yang pemerintahannya dikelola oleh para pemimpin yang sebagian besar di antaranya gemar mencuri tanpa merasa bersalah?

Lihatlah Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, yang ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta. Meski berstatus terdakwa korupsi, masih dilantik juga sebagai Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, di Kantor Menteri Dalam Negeri, 7 Januari lalu. Dari hotel prodeo itu ia kemudian melantik sejumlah staf di instansi pemerintah daerah yang dipimpinnya. Sungguh paradoks: melantik abdi negara di tempat di mana negara justru menjebloskan orang-orang yang bersalah ke dalamnya.

Saat ini juga Kementerian Dalam Negeri mencatat, terdapat 17 dari 33 gubernur yang berstatus tersangka korupsi. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, sejumlah kasus yang melibatkan kepala daerah masih terus bergulir hingga kini. Kasus terakhir yang baru saja diselesaikan adalah rencana penonaktifan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin, yang diduga terlibat korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) senilai Rp23 miliar. “Sekarang 155 kepala daerah merupakan tersangka,” ujar Gamawan. “Tapi saya kira masih ada lagi. Saya setiap minggu menerima tersangka baru. Baru tiga bulan menjabat jadi kepala daerah, jadi tersangka.”

Apa jadinya bangsa ini ke depan jika roda pemerintahan digerakkan oleh mereka yang tak dapat dipercaya? Mungkinkah semua ini terjadi karena sikap kita yang tak tepat terhadap koruptor? Bayangkan, misalnya, di Medan pernah terjadi kepulangan mantan Wali Kota Medan Abdillah di Bandara Polonia, 2 Juni 2010, disambut meriah oleh ratusan orang yang menjemputnya. Selain rakyat biasa, pejabat dan wakil rakyat setempat pun terlihat dalam arak-arakan penyambutan (mantan) koruptor yang baru saja keluar dari LP Sukamiskin, Bandung, sehari sebelumnya itu. Orang-orang terhormat itu, antara lain, sejumlah camat dan lurah di lingkungan Pemkot Medan, serta anggota DPRD setempat.

Negara ini juga terlalu bermurah hati kepada koruptor. Setiap menyambut hari raya keagamaan dan ulang tahun kemerdekaan, negara selalu memberikan remisi kepada mereka. Kalau “hadiah” potong masa tahanan itu begitu mudahnya diberikan, lantas apa artinya korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa?

Tak cuma “hadiah”, bahkan “anugerah” pun pernah diberikan kepada seorang koruptor. Adalah Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang sudah menikmatinya tahun 2010. Ia diberi grasi walau masa tahanan yang harus dijalaninya masih tiga tahun lagi. Alasannya, karena gurubesar ilmu ekonomi Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) itu menderita sakit parah. Setelah bebas, Syaukani langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur, untuk beristirahat di rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun kelapa sawit.

Inilah yang membuat kita bertanya miris: mampukah korupsi diperangi sampai ke akar-akarnya? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat pada kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan yang baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect.

Sementara Pascal Couchepin, Konsuler Federal sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss, memberi resep: jadikan korupsi musuh bersama dan jangan pernah berkompromi menghadapinya. Tak heran jika Swiss selalu dikategorikan Transparency International sebagai negara yang “bersih dari korupsi”.

Bagaimana dengan Indonesia? Di negeri yang religius ini, kekayaan lebih dihargai daripada kejujuran. Tak heran jika korupsi sepertinya telah membudaya di sini. Pertama, karena jumlah pelakunya kian lama kian banyak. Bukankah suatu kejahatan niscaya menjadi biasa jika yang melakukannya makin lama makin banyak? Kebiasaan itu pun akhirnya seakan melahirkan hak. Kalau dia melakukan, mengapa saya tidak? Kalau saya dituntut bertanggung jawab karena korupsi, mengapa yang lain tidak? Tapi kalau semua bertanggung jawab, bukankah sama saja dengan tak ada yang bertanggung jawab (Haryatmoko, 2003)? Karena, jika semua melakukan, bukankah itu seakan telah menjadi kepentingan umum? Persis seperti dalam aksi  penjarahan oleh sekelompok massa. Mana mungkin orang ramai dituntut bertanggung jawab? Begitulah, banalisasi (proses yang menjadikan biasa) korupsi telah dan sedang berlangsung di sini. Bukankah “setor dulu baru dilayani” atau “kasih uang semua lancar” seakan telah menjadi cara berpikir umum di sini?

Kedua, kejahatan yang telah terbiasa akhirnya berubah menjadi “seakan-akan kebaikan”. Nurani para pelakunya pun terbungkam. Maka benarlah kata Aristoteles, bahwa keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengetahuan, tetapi melalui kebiasaan. Ketika suatu kejahatan telah menjadi kebiasaan, maka makin mudahlah melakukannya. Apalagi jika kejahatan itu berbuah kenikmatan besar. Si koruptor, misalnya, dapat membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang lain, membantu orang-orang lain, dan melakukan kebaikan-kebaikan lainnya. Bukankah karena itu korupsi niscaya menemukan pembenarannya? Inilah yang disebut mekanisme silih, yang meringankan perasaan bersalah atas suatu kejahatan.

Ketiga, sanksi hukum yang lemah dan tak efektifnya pengawasan membuat korupsi begitu memesona. Sebab, seandainya tertangkap pun, proses hukum sulit berjalan lancar karena si tersangka berpotensi menyeret banyak orang lain, termasuk para pejabat di institusi-institusi penegakan hukum. Keempat, karena korupsi digolongkan sebagai white collar crime (kejahatan kerah putih) maupun extra ordinary crime (kejahatan luar biasa), maka citra elitis melekat pada pelakunya — sebuah euphemisme yang melegakan karena berarti tidak dilakukan oleh orang-orang kebanyakan yang kasar dan tak berpendidikan.

Kelima, siapa yang dirugikan oleh korupsi? Kalau negara, siapa itu negara? Negara tak bisa sedih dan tak pula bisa menangis. Sementara jika yang dirugikan rakyat, siapa itu rakyat? Orang banyak itu tak punya wajah, dan karena itu sama dengan anonim.

Inilah semua alasan yang membuat korupsi menjadi biasa (dan akhirnya menjadi budaya) di sini. Hanya saja, paradoksnya, umumnya orang Indonesia masih malu-malu untuk mengakui dirinya cinta uang. Dan itulah yang paling berbahaya, karena cinta uang adalah akar kejahatan.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *