Dilema Pemberantasan Korupsi


Tarik ulur antara DPR dan KPK beberapa waktu ini merupakan cermin semakin kaburnya arah pemberantasan korupsi di negeri ini. Ada yang merasa lebih kuat dan superbody di satu sisi, dan tanpa disadari pertunjukan itu menampilkan semakin kaburnya arah pemberantasan korupsi.

Ini karena tidak adanya kesamaan arah dan persepsi. Bahkan muncul sinyalemen adanya kepentingan politis tertentu yang ikut menggembosi proses pemberantasan korupsi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari pola tarik ulur yang terjadi yang semakin melahirkan sikap pesimistis.

Akibatnya, visi pemberantasan korupsi hanya keras dalam celoteh dan sangat lemah dalam tindakan. Dalam situasi seperti ini, yang tumbuh semakin kuat adalah pesimisme di kalangan masyarakat akan keseriusan para pemimpin negeri kita dalam memberantas korupsi.

Begitu banyak kepentingan yang “bermain” sekaligus ingin menyelamatkan diri dengan berbagai cara, termasuk berlindung dalam ruang-ruang yang dianggap aman.

Kehidupan politik semakin tidak sehat karena di dalamnya penuh dengan pertarungan yang saling menjebak, menjegal, dan bahkan menghancurkan. Kenyataan ini tentu saja merupakan langkah mundur bagi pemberantasan korupsi, bahkan dikhawatirkan justru semakin menyuburkan praktik korupsi dalam berbagai level dan model.

Korupsi terjadi dalam berbagai level dan bentuk, seolah semakin kuat menjadi budaya bangsa ini. Harus disadari oleh semua pihak bahwa korupsi merupakan penyakit kronis paling berbahaya bagi perkembangan umat.

Pemberantasan korupsi akan minim hasilnya tanpa dukungan semua kalangan. Pemberantasan korupsi seharusnya menjadi gerakan bersama seluruh komponen yang mendapatkan dukungan dari para elite.

Sinyalemen adanya pelemahan dalam pemberantasan korupsi saat ini merupakan tantangan untuk melihat sejauh mana elite bersungguh-sungguh memberantas korupsi.

Tindakan Tegas

Pihak yang paling dirugikan dalam setiap korupsi adalah masyarakat luas, maka sudah sepatutnya publik terus mengontrol dan mengingatkan penyelenggara negara atas tugasnya memberantas korupsi dan menegakkan hukum. Memberantas korupsi ibarat memeriksa kerusakan-kerusakan parah dalam diri kita.

Ketika mengobati salah satu bagian, atau bahkan mengamputasinya, bisa jadi bagian lain terasa sakit. Tapi itulah risiko agar badan tetap sehat. Ini karena bila kita tidak mampu dan mau mengobati diri dengan cara seperti itu, dan merasakan sakit dalam jangka pendek, dalam jangka panjang hal tersebut justru akan merusak bagian tubuh lainnya.

Dengan demikian, tanpa tindakan yang tegas dan penuh rasa keadilan, mustahil pemberantasan korupsi bisa ditegakkan, kecuali hanya dalam pidato. Aparatur negara, yang umumnya dikaitkan dengan tindakan korupsi, seharusnya justru berada di depan untuk memelopori kesadaran masyarakat untuk bersama-sama antikorupsi, dari lingkup paling kecil sampai paling besar.

Ada harapan bahwa demokrasi bisa ditegakkan dengan membangun sistem yang transparan, kredibel, dan membawa efek jera kepada para koruptor. Tanda bangsa yang beradab adalah bila dana-dana publik bisa dikelola demi kesejahteraan masyarakatnya, dan ini merupakan cita-cita pendiri bangsa.

Kekuasaan berperan sangat vital. Bila tidak, justru komponen rakyat dengan berbagai pola gerakannya yang akan melampiaskan dalam berbagai ketidakpuasan.

Sangat jelas dan terang bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan dukungan kekuasaan. Tanpanya, pemberantasan korupsi akan berjalan di tempat. Itu semua terjadi karena begitu dekatnya aroma korupsi dalam kekuasaan.

Politik Citra

Akhir-akhir ini muncul berbagai pertanyaan dari kalangan publik: masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh? Perlu ditegaskan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan.

Pemerintahan yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut substansi, dan kita belum sampai pada proses inti “pemerintahan yang bersih” itu sendiri.

Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi berarti juga mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya tercantum cita-cita masyarakat yang adil dan makmur, serta cerdas.

Cita-cita itu merupakan dasar untuk memerangi korupsi karena korupsi membawa kebangkrutan bangsa. Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran karena korupsi.

Dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging, selalu terdapat tarik-menarik, khususnya dari aspek penegakan hukum berhadapan dengan kekuasaan. Hukum yang sering diintervensi dengan pola-pola barter politik pada akhirnya tidak akan pernah bisa memberantas korupsi secara sungguh-sungguh.

Korupsi begitu dekat dengan politik. Bahkan karena korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan pribadi, maka korupsi paling sering dilakukan karena adanya dukungan kekuasaan politik yang dimiliki pelaku.

Karena itulah, sudah seharusnya penanganan kasus-kasus korupsi dijauhkan dari intervensi politik agar ia menghasilkan keputusan hukum yang netral dan tidak memihak.

Karenanya, aparat penegak hukum tidak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan kepada pihak manapun, terutama penguasa. Namun idealitas semacam di atas bukan merupakan sesuatu yang mudah dilaksanakan. Bahkan boleh dikatakan idealitas semacam itu hanyalah mimpi.

Karena korupsi dilakukan di aras politik dan hukum kerap tunduk pada penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan sering kali tidak berimbang. Intinya, mereka yang berada dan memiliki jalur atau akses kekuasaan kerap kali mendapatkan situasi menguntungkan dari proses hukum yang terjadi. Ada yang mengatakan penegakan hukum model “belah bambu”, satu diangkat satu diinjak.

Kembali pada upaya pelemahan pemberantasan korupsi, harus dingatkan kepada semua pihak agar tidak main-main dalam agenda ini, sebab rakyat sudah begitu muak dengan korupsi. Kerisauan seperti ini sudah semestinya mendapatkan respons aktif pemerintah, bukan dalam bentuk pencitraan semata.

Rakyat membutuhkan realisasi dari janji-janji manis pemberantasan korupsi. Ini karena korupsi hanya bisa ditangani dengan baik, apabila terdapat komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata.

*Penulis adalah pemerhati masalah sosial.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *