Kasihan, Para Duta Bangsa di Acara UNESCO Itu Akan Terpesona dengan Pidato SBY


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bangga bisa dipilih oleh lembaga internasional yang bergerak di bidang kebudayaan dan pendidikan, UNESCO, untuk menyampaikan pidato utama di Paris, Perancis, 2 November 2011.

“Saya dan delegasi bertolak ke Paris. Tanggal 2 November nanti saya akan sampaikan pidato kunci di depan UNESCO dan hari itu juga bertolak ke Canes untuk ikuti pertemuan G-20. Khusus untuk kegiatan di UNESCO, Indonesia diundang untuk mengisi acara yang penting itu di samping konferensi umum juga tentang culture university,” kata Presiden dalam keterangan pers sebelum bertolak menuju Perancis dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (31/10/2011) pagi.

Kunjungan kerja Presiden berlangsung hingga 4 November 2011. Presiden pun memberikan alasan mengapa Indonesia dipilih menyampaikan pidato utama di UNESCO.

“Karena mereka (UNESCO) menilai Indonesia punya contoh budaya yang amat beragam dan dalam membangun bangsanya, dan pada akhirnya itu jadi kekuatan,” kata Presiden.

Selain itu, menurut Kepala Negara, UNESCO tahu pengelolaan kebinekaan yang dipraktikkan Indonesia bukan sesuatu yang mudah, dan apa saja yang dilakukan dalam kaitan itu.

“Tentu saja yang akan saya sampaikan bukan saja tentang itu. Namun pandangan saya, usulan saya, bagaimana dunia ini lebih bisa bersatu menghormati perbedaan budaya dan peradaban sehingga bisa mengatasi persoalan global dengan baik,” kata Presiden.

 

Demikian berita yang dikutip dari Kompas.com, Senin 31 Oktober 2011

SBY merasa bangga karena mendapat kehormatan untuk menyampaikan pidato utama di acara UNESCO dengan thema pokok tentang kebudayaan dunia, perbedaan-perbedaannya yang ada di setiap bangsa, dan yang harus dihormati, agar dapat mengatasi setiap persoalan global dengan baik.

 Pertanyaannya: Apakah sudah pantas SBY merasa bangga untuk hal itu? Apakah Anda bangga punya presiden mendapat kehormatan sedemikian besar dari UNESCO?

Orang itu layak bangga kalau dia mendapat suatu kehormatan, atau suatu penghargaan yang memang dia layak menerimanya. Misalnya, dalam konteks ini, karena prestasinya mempersatukan rakyatnya yangsebelumnya banyak konflik karena perbedaan budaya, adat-istiadat dan atau agama.

 

Apakah SBY telah mempunyai prestasi seperti itu?

Kita jangan lupa dengan janji SBY bahwa setelah perombakan kabinetnya, yang telah dilakukan pada 18 Oktober lalu, dia akan mengubah gaya kepimpinannya.

Gaya kepimpinan SBY yang paling banyak dikritik adalah dia sangat suka mengandalkan politik pencitraannya. Selalu ingin dan senang dihargai, dan mendapat pujian, sebagai seorang presiden yang jujur, hebat, pintar, tegas, pemberantasan korupsi sejati, pemersatu bangsa, dan seterusnya.

Namun dari ungkapan perasaan bangga yang dia sampaikan karena mendapat kehormatan dari UNESCO untuk menyampaikan pidato utama di kegiatan UNESCO di Paris itu, terlihat bahwa SBY belum juga memenuhi janjinya itu. Dia terlihat sangat senang mendapat kehormatan tersebut. Dalam hatinya, dirinya sedemikian hebat, sehingga bisa dihargai seperti itu. Citra dirinya telah naik karena itu. Tapi seolah lupa dengan faktanya.

 

Untuk apa sampai harus membangga-banggakan diri seperti itu? Masih mendingan kalau apa yang hendak dia sampaikan dalam pidatonya itu sejalan denganprestasinya yang telah berhasil dia ciptakan selama menjadi presiden NKRI ini.

 

Semakin menjadi kenyataan apa yang pernah saya tulis dalam tulisan saya yang berjudul Pemimpin yang Bergaya atau Bergaya Seperti Pemimpin, bahwa kelihatannya SBY tidak akan memenuhi janjinya itu.

 

SBY bukan hanya menjadi presiden yang lebih mementingkan gaya, tetapi juga saking suka bergayanya, dia menjadi seseorang yang sebenarnya tidak layak menjadi seorang pemimpin, tetapi bergaya seolah-olah telah menjadi seorang pemimpin yang baik.

 

Berkali-kali sudah SBY menyampaikan tentang betapa pentingnya menghargai perbedaan dalam kehidupan manusia. Apakah itu perbedaan agama, keyakinan, budaya, adat-istiadat, dan sejenisnya.

Dan, berkali-kali pula dia membuktikan bahwa semua itu tidak lebih dari pemanis bibirnya demi tampilannya kelihatan sebagai seorang pemimpin bangsa yang elegan.

Dalam perbedaan budaya bangsa Indonesia yang berbhineka ini, apa sikapnya terhadap UU Pornografi yang isinya banyak mengnisbikan perbedaan dan penghargaan terhadap adanya perbedaan budaya di antara suatu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya itu?

 

Dalam perbedaan agama dan keyakinan SBY juga sudah entah berapakali banyaknya selalu mengatakan bahwa perbedaan agama dan keyakinan itu harus mutlak dihormati oleh seluruh warganegara Indonesia. Dalam bentuk saling menghargai dan toleransi. Tidak boleh ada penindasan, kekerasan, anarkisme atas nama agama yang mengganggu, apalagi sampai meneror orang lain dalam menyalurkan kebebasan menjalankan agamanya.

 

Negara ini berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin semuanya itu. Oleh karena itu negara akan selalu harus menjalankan kewajibannya untuk mengayomi semua WNI agar amanat di dalam dasar negara dan konstitusi itu selalu berjalan dan terjaga dengan baik.

Pernyataan bernada seperti ini, yang sudah entah berapa kali dia sampaikan di dalam negeri, kemungkinan besar akan dia sampaikan lagi dalam pidato utamanya di kegiatan UNESCO di Paris itu.

Orang-orang di UNESCO akan terkagum-kagum dengan pidatonya itu, dan SBY akan semakin senang mendapat pencitraan internasional yang sedemikian hebatnya.

 

Tetapi bagaimana dengan di Indonesia sendiri?

Ibarat dalam kehidupan berkeluarga, ada seorang bapak kepala rumah tangga yang di mata banyak orang di tempatnya bekerja, di antara tetangganya, terlihat seperti seorang bapak rumahtangga yang baik. Namun dalam kenyataannya rumah tangganya itu sebenarnya penuh dengan konflik, perselingkuhan, anak-anak yang berandalan, berkelahi satu dengan yang lain. Dan, sang Bapak tidak becus mengatasinya. Karena dia tidak bisa tegas dantidak punya wibawa di mata anggota keluarga yang lain. Malah menjadi salah satu sumber dari konflik-konflik tersebut.

Untuk menutup aibnya itu, kalau berada di tempat-tempat umum, dia pun berusaha tampil seperti seorang yang jujur, sabar, tegas, dan bijaksana. Singkatnya ketidakbecusannya menjadi seorang bapak rumahtangga yang baik itu ditutupi-tutupi dengan pencitraan seperti itu.

SBY seperti bapak rumahtangga itu. Dia adalah seorang bapak rumahtangga yang sangat besar, bernama NKRI. Yang di dalamnya penuh konflik karena adanya perbedaan budaya, agama, dan lain-lain. Tetapi dia tidak pernah tegas, dan serius dalam mengatasi setiap konflik yang ada. Selama ini upaya-upayanya itu hanya sebatas dari pidato yang satu ke pidato yang lain. Oleh karena itu tidak punya wibawa di mata para pembantunya sendiri. Apalagi di mata rakyatnya.

 

SBY mengatakan bahwa dalam pidatonya di kegiatan UNESCO di Paris itu, dia akan menyampaikan pandangan bahwa dunia ini bisa bersatu kalau ada semangat saling menghormati perbedaan-perbedaan budaya dan peradaban yang ada. Dengan demikianlah setiap persoalan global dapat diatasi dengan baik.

 

Kasihan nanti para duta bangsa yang hadir dalam acara yang diadakan UNESCO itu. Mereka akan terpesona mendengar pidato yang sangat bagus itu. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana buruknya sinkronisasi antara pidato dan realita yang terjadi di negara yang punya pidato itu.

Kasus dalam kontroversi UU Pornografi, perusakan patung-patung dan karya seni lainnya, pelarangan terhadap seni tari-seni tari tertentu, intoleransi, anarksime, dan kekekerasan atas nama agama, yang meneror kebebasan umat agama minoritas menjalankan ibadahnya, yang meninjak-injak Pancasila dan UUD 1945, pembangkangan terhadap hukum oleh pejabat kepala daerah tertentu berkaitan dengan masalah kebebasan beragama, dan masih banyak lagi. Yang kemudian menjelma menjadi aneka konflik antar suku bangsa, dan antar sesama warganegara, merupakan bukti nyata betapa tidak sinkronnya, dan betapa tidak kosekuennya, antara pidato-pidato SBY dengan gaya kepimpinannnya dalam menghadapi konflik-konflik tersebut.

 

Salah satu fakta dan contoh konkritnya adalah kasus GKI Yasmin yang sudah lebih dari tahun ini belum juga tuntas. Padahal semua proses hukum sudah dilewati. Mahkamah Agung sudah memutuskan dalam putusan kasasinya, dan kemudian diikuti dengan keputusan PK-nya, rekomendasi dari lembaga Ombudsman,*) serta seruan dari para tokoh agama dan masyarakat, sampai dari DPR, yang pada intinya memenangkan/membenarkan hak yang ada pada jemaat GKI Yasmin itu untuk bebas beribadah di gereja yang mereka bangun di atas tanahnya sendiri. Tetapi semua itu dianggap angin lalu saja oleh Walikota Bogor, Diani Budiarto, tetap saja ngotot untuk membangkang hukum. Dan, aneh bin ajaib, tidak ada sanksi apapun yang dijatuhkan kepadanya.

 

Bahkan di hari Minggu kemarin (30/10/2011) secara tersamar polisi pun membantu menggusur jemaat GKI itu, dengan sengaja melonggarkan penjagaannya, sehingga memungkinkan massa yang menamakan dirinya Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) bisa mencapai jemaat yang sedang beribadah, dan dengan rotan membubarkan secara paksa dan mengusir jemaat seperti mengusir binatang saja.

 

Walikotanya berani melakukan semua itu karena dia mempunyai paham radikal yang picik yang sama dengan massa yang terus-menerus meneror kebebasan menjalankan ibadah dari jemaat GKI Yasmin itu. Dengan alasan yang di luar nalar: Tidak sudi ada bangunan gereja berdiri di atas jalan yang diberi nama jalan tokoh agama Islam yang dihormati: Jalan Abdullah bin Nuh. Yang dikamuflasekan dengan alasan permasalahan IMB, dan kemudian pemalsuan tanda tangan. Ketika semua tuduhan itu dipatahkan di pengadilan dan Mahkamah Agung. Kini, rupanya mereka sudah akan mengambil langkah berikutnya: serangan fisik. Sepert yang mulai terlihat pada kejadian di hari Minggu kemarin, sebagaimana dapat dibaca di berita yang dilaporkan Kompas.com, 31 Oktober 2011 ini.

 

Walikota Bogor dengan segenap aparat pendukungnya (baik yang secara diam-diam, maupun terang-terangan, baik secara langsung, maupun tidak langsung) berani membangkang terhadap hukum sekaligus menginjak-injak Pancasila dan UUD 1945 secara sedemikian terang-terangan itu adalah karena ketidakadaan ketegasan, ketidakadaannya wibawa dari seorang pimpinan bangsa yang bernama SBY. Yang ketika mengangkat kembali Suryadharma Ali sebagai Menteri Agama berpesan: “Saya ingin Kementerian Agama bekerja sekuat tenaga, untuk betul-betul menciptakan kehidupan yang harmonis, rukun. Negara kita majemuk, …”

Orang yang sama inilah yang dengan perasaan bangga mengumumkan kepada kita bahwa dia akan menyampaikan pidato utama di acara yang diadakan UNESCO di Paris, Perancis,pada 2 November 2011. Pada kesempatan itu orang ini bilang akan menyampaikan pesan-pesannya kepada dunia bahwa betapa pentingnya umat manusia itu menghormati perbedaan-perbedaan budaya yang ada di antara sesamanya. Agar permasalahan-permasalahan global antar umat manusia dapat diatasi. ***

 

 

*) GKI Yasmin Bogor telah mengantongi keputusan Mahkamah Agung nomor 127 PK/TUN/2009 pada 9 Desember 2010. MA menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Pemkot Bogor berkait dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja GKI Yasmin Bogor.

Sementara itu, Ombudsman RI telah mengeluarkan rekomendasi dengan nomor 0011/REK/0259.2010/BS-15/VII/2011 pada 8 Juli 2011 tentang pencabutan keputusan Wali Kota Bogor tentang IMB GKI Yasmin.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *