dilaporkan: Setiawan Liu
Jakarta, 28 Desember 2021/Indonesia Media – Pelaku usaha mengaku masih bingung dengan ketentuan perdagangan dan ekspor koral, karang hias terutama kewajiban Surat Keterangan Ketertelusuran (SKK) yang otoritas penerbitan dan pemeriksaan saling tumpang tindih. “Kami pusing karena barangnya (komoditas) satu jenis, diperiksa oleh dua kementerian,” kata exporter koral, karang hias di Jakarta tanpa menyebutkan namanya.
Surat Keterangan Ketertelusuran (SKK) Koral/Karang diterbitkan untuk pelaku usaha dengan adanya penghitungan stock opname terlebih dahulu. Jenis dan jumlah karang hias yang diperbolehkan diperdagangkan oleh masing-masing perusahaan mengacu pada hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) stock opname sebelumnya. Tahun 1970-1980 an, tidak ada pembatasan perdagangan koral, karang hias sampai ada perjanjian negara-negara mengenai Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Indonesia merupakan salah satu dari negara yang menyepakati CITES yang disahkan pada 3 Maret 1973 dan telah diubah pada 22 Juni 1979 dan 30 April 1983. CITES bertujuan melindungi flora dan fauna liar dari perdagangan internasional agar keberadaan mereka terjamin hingga di masa mendatang. “(Sebelum ada CITES), kami mengirim dengan mudah. Indonesia ikut meratifikasi sehingga pak Harto (Presiden ke 2 RI, Soeharto/27 Maret 1968 – 21 Mei 1998) menunjuk Kementerian Kehutanan untuk otoritas (pengawasan perdagangan koral, karang hias),” kata sumber tersebut.
Rentang waktu 2011–2014, Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden ke 6 RI) menandatangani pembentukan management authority (MA) perdagangan koral, kaang hias. Dengan demikian, pengalihan otoritas dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Tapi pelaksanaan di lapangan, KKP sepertinya kesulitan. Karena masalah flora fauna, khususnya koral dan karang hias sangat kompleks,” kata exporter yang berpangkalan di Kec. Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten.
KKP sempat membenahi, bahkan meningkatkan perangkat termasuk aparatur, petugas pelayanan kegiatan perdagangan koral, karang hias. Bahkan Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan, 2014 – 2019) mengebut upaya peningkatan perangkat dan system perdagangan. Susi berdalih ketertelusuran ekspor koral dan karang hias dalam system perdagangan mutlak dilengkapi dengan SKK. Pengangkutan Koral/Karang Hias diterbitkan oleh Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL). “Dia minta, (aparatur/petugas) bisa trace (telusuri) asalnya (koral didapat/dibeli), dia mau ikut. Padahal, kami juga sudah diperlakukan, serupa tapi tak sama (dengan Kementerian Kehutanan, yang sekarang menjadi Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK di Gedung Manggala Wanabakti, Jl. Gatot Subroto Jakarta). Ada ketentuan surat izin angkut (dibuat LHK). Sekarang, ada dua kementerian rebutan (otoritas). Izin angkut diterbitkan LHK, karena (LHK) sudah lama mengatur,” kata sumber tersebut. (sl/IM)