Yogyakarta Royal Wedding – Pawiwahan Ageng: Panggih dan Kirab


ngsun dhaupake putraningsun Nini Gusti Kanjneg Ratu Bendara, marang sira Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara, kanthi maskawin….dst. Kurang lebih begitulah sabda Sang Raja saat menikahkan putrinya. Ingsun adalah kata ganti orang I dalam bahasa Jawa, khusus untuk raja.

Kula tampi dhaupipun Gusti Kanjeng Ratu Bendara, kanthi maskawin…dst, itu juga kurang lebih jawab sang Pangeran dalam  logat yang tidak biasa,  dan dengan tangan terjabat dalam genggaman Sultan HB X. Sang Putri tidak berada di sana, di masjid Panepen. Masjid di lingkungan keraton yang berkali-kali turut menjadi saksi janji suci pasangan pengantin keraton Yogyakarta. Meski awalnya masjid itu merupakan tempat Sultan-Sultan terdahulu melakukan i’tikaf.

Sang Putri akan bertemu suaminya, beberapa saat kemudian pada upacara adat panggih, kata panggih sendiri artinya temu/ ketemu. Pada saat upacara panggih, pasangan pengantin bersama penganthi dan pengirid yang merupakan kerabat dekat pengantin. Berjalan paling depan dua pasang edan-edanan, sebagai tolak bala, penolak bala, dengan dandanan yang ‘aduhai’. Membawa payung dan menggendong tenggok, sedang yang laki-laki menunggang ‘jaran kepang’.

Diawali dengan melempar sirih, yang merupakan symbol bahwa suami istri saling membagi kebahagiaan. Sirih dimakan sebagai sirih amat tidak enak, ketika bersama ramuan lainnya menjadi enak dan ‘berwarna’, sebagaimana kehidupan yang diharapkan lebih berwarna setelah memliki pasangan. Selama ini, ada anggapan bahwa yang lebih dahulu melempar sirih, akan ‘menang’ pengaruh dalam rumah tangga. Ternyata maknanya berbeda , apalagi jumlah sirihnya juga tidak sama, mempelai pria 4 gulung daun sirih, sementara mempelai perempuan hanya 3 gulungan daun sirih. Lalu wiji dadi, memecah telur dengan diinjak,nyawiji, menyatu tekad membina rumah tangga.

Berikutnya adalah mijiki, basanya mijiki dianggap sebagai simbol bakti seorang istri, ternyata dari narasumber Jogja TV, mijiki itu bermakna bahwa memasuki kediaman orang (istri/ mertua)  haruslah dengan niat dan hati yang suci, dengan diwijiki/ dicuci kakinya.

Setelah itu adalah upacara ‘pondhongan’, mempelai putri dipondong KPH Yudanegara dibantu Paman penganten putri. Pondhongan adalah symbol tanggung jawab suami.

Biasanya setelah pondhongan dilanjutkan dengan upacara kacar-kucur, dhahar klimah, dan sungkeman. Kali ini sesudah pondhongan, penganten bersama orangtua penganten menerima ucapan selamat dari tetamu. Didahului oleh RI I, disusul yang lain. Mungkin ini yang membuat upacara sedikit beda.

Upacara dilanjutkan di ruang lain. Ada yang menarik dan tidak lazim, yakni pengantin pria spontan mencium kening pengantin wanita, usai memasangkan  cincin masing-masing. Meski GKR sudah mengingatkan dengan dua tangan mengisyaratkan ‘larangan’, tetapi tetap saja ada ciuman mendarat di kening GKR Bendara. Yang melihat hanya senyum-senyum, maklum.

Sorenya, acara yang ditunggu pun tiba. KIRAB! Semua perhatian tertumpah ke sana. Akses jalan menuju pusat kota macet. Banyak pengunjung dari luar Yogya. Beberapa sekolah pulang sedikit lebih awal, agar siswanya bisa berapresiasi prosesi yang sangat langka ini. Saya sendiri agak menyayangkan banyak sekolah yang tidak member kesempatan siswanya (dan gurunya) untuk melihat kirab dari dekat. Mungkin karena tidak memilik sense of culture ya?

Tidak mudah mencari pemimpin yang memiliki sense of art, karenanya tidak banyak sekolah yang memilik tim kesenian yang solid. Pimpinan yang meiliki  dan sense of culture juga susah didapat, jadi jarang yang mengapresiasi peristiwa adat yang gemanya mendunia macam pawiwahan Ageng ini. Tidak usah meliburkan pelajaran pagi hari, mungkin dengan meniadakan les cukup memberi kesempatan masuk kota, bagi penduduk luar kota.

Saya pun urung melihat langsung, karena sampai rumah pukul setengah empat, semua akses jalan masuk ke arena kirab sudah tertutup. Akhirnya harus ‘terima nasib’ dengan menonton siaran langsung Jogja TV. Beruntung atau tidak, bergantung dari sudut mana memandangnya. Tidak capek, berimpitan, memang, juga melihat lebih jelas.  Tapi tidak tahu kemeriahan yang sebenarnya. Tidak tahu suasana sesungguhnya. Juga tidak bisa melihat warga yang berebut makanan dari 200 angkringan.

Kirab

Mengendarai kereta Kanjeng Kyai Jong Wiyat  yang terbuka, pasangan penganten ini  sangat ramah, selalu  tersenyum, bahkan GKR Bendara sempat menyapa kawula yang berada di dekatnya, seorang bapak, sebelum kirab diberangkatkan. Pastilah si bapak serasa mendapat durian runtuh,  amat beruntung bisa berdialog langsung dengan pengantin dalam jarak yang amat dekat. Kereta paling belakang adalah Kanjeng Kyai Permili yang memuat penari bedaya. Di barisan paling belakang adalah penari lawung yang naik kuda dengan gagahnya. Terbayang dulu, betapa berwibawanya saat prajurit berkuda sambil membawa tombak sedang berlatih perang.

Sepanjang jalan, pasangan ini tak henti melambaikan tangan dan melempar senyum bahagia pada penonton yang memadati jalan menuju Kepatihan. Benar-benar tumplek bleg, tak tersibak. Bahkan mobil polisi sebagai ‘cucuk lampah’ harus berjalan amat sangat lambat. Sayang sekali suami tidak bisa motret karena terjebak, tak bisa menuju tempat yang sudah disediakan untuk wartawan foto.

Meski begitu ada foto resepsi di Kepatihan yang bisa dinikmati, Pengantin berbusana jangan menir warna merah marun dengan  paes ageng. Juga sajian bedaya Wiwaha Sangaskara dan Beksan Lawung Ageng.

Selamat menikmati foto pemberdayaan atau pemerdayaan suami…..(merasa diperdaya atau diberdayakan ya?)

Saya masih ingin bercerita sedikit lagi yang terkait dengan acara ini…..

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *