Masjid Agung, Bukan Sekadar Tempat Ibadah


Hal itu pun terjadi pada Masjid Agung Palembang yang telah dibangun sejak 1748 saat pemerintahan Kesultanan Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikramo.

Sebagai kota yang penduduknya mayoritas Islam, Masjid Agung Palembang memang merupakan sentral utama sebagai tempat ibadah. Terlebih, letaknya di pusat kota, berhadapan langsung dengan Jembatan Ampera, berseberangan dengan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) dan berdampingan dengan Air Mancur, yang merupakan titik nol Kota Palembang.

Karena itu, setiap tahun saat Idul Fitri maupun Idul Adha belasan ribu umat Islam memadati masjid dan jalan sekitarnya untuk melaksanakan salat Id. Bahkan, sampai ke atas Jembatan Ampera pun padat oleh umat Islam.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Sekretaris Yayasan Masjid Agung, Sukri Ibnu Soha, bangunan Masjid Agung Palembang pertama kali berukuran 30 x 36 m dengan bentuk empat persegi.

Keempat sisi bangunan ini terdapat empat penampilan yang berfungsi sebagai pintu masuk, kecuali di bagian barat yang merupakan mihrab. Atapnya tiga tingkat dengan ujungnya berbentuk kelopak bunga.

Arsitektur masjid ini merupakan perpaduan barat dan timur. Setiap bagian ujung bawah atap tengah mencuat keluar menengadah ke atas, mirip dengan arsitektur pagoda bangunan China. Masjid ini memiliki serambi (teras depan) dengan arsitektur klasik Yunani-Dorik seperti yang terdapat di depan kuil Yunani, tetapi dengan hiasan kaligrafi Arab tentunya.

Masjid Sultan

Karena dibangun oleh sultan, Masjid Agung Palembang pada mulanya disebut Masjid Sultan. Peresmian pemakaian masjid ini dilakukan pada 28 Jumadil Awal 1151 H (26 Mei 1748). Masjid yang mempunyai arsitektur yang khas dengan atap limasnya ini, konon merupakan bangunan masjid yang terbesar di Nusantara kala itu.

Arsiteknya orang Eropa dan beberapa bahan bangunannya seperti marmer dan kacanya diimpor dari luar Nusantara. Kala itu daerah pengekspor marmer adalah Eropa. Pada awal pembangunannya (1738-1748), sebagaimana masjid-masjid tua di Indonesia, Masjid Sultan ini pada awalnya tidak mempunyai menara.

Baru pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin (1758-1774) dibangun menara yang letaknya agak terpisah di sebelah barat. Bentuk menaranya seperti pada menara bangunan kelenteng dengan atapnya berujung melengkung. Pada bagian luar badan menara terdapat teras berpagar yang mengelilingi bagian badan.

Bentuk yang sekarang ini telah mengalami berkali-kali perombakan dan perluasan. Pada mulanya perbaikan dilakukan oleh pemerintah Belanda setelah terjadi perang besar tahun 1819 dan 1821. Setelah dilakukan perbaikan kemudian penambahan/perluasan pada 1893, 1916, 1950-an, 1970-an, dan terakhir pada 1990-an.

Pada pekerjaan renovasi dan pembangunan tahun 1970-an oleh Pertamina, dilakukan juga pembangunan menara sehingga mencapai bentuknya yang sekarang. Menara asli dengan atapnya yang bergaya China tidak dirobohkan.

Perluasan kedua kali dilakukan pada 1930 dan di tahun 1952 dilakukan lagi perluasan oleh Yayasan Masjid Agung. Tahun 1966-1969 dibangun tambahan lantai kedua sehingga luas masjid menjadi 5.520 meter persegi dengan daya tampung 7.750 jemaah.

Pada 1999 dilakukan perombakan dan perluasan Masjid Agung saat pemerintahan Gubernur Sumsel H Rosihan Arsyad. Masjid ini mampu menampung 9.000 jemaah dengan ukuran masjid 42 x 54 meter. Bila ditambah dengan kapasitas halaman masjid maka secara keseluruhan Masjid Agung Palembang bisa menampung 15.000 jemaah.

Bangunan utama masjid ini merupakan tempat imam dan khotib menyampaikan khotbahnya. Di ruangan ini terdapat empat tiang penyangga besar dan 14 tiang penyangga kecil.

Sayang, mihrabnya kini telah berganti. Keberadaan mihrab aslinya tidak jelas. Begitu juga tempat azan dikumandangkan setinggi sekitar 2 meter tak digunakan lagi.

Alquran Raksasa

Wisatawan yang berkunjung ke masjid ini akan melihat tempat memberikan sumbangan peninggalan zaman Belanda, Brievenbus. Ada juga penunjuk waktu salat manual menggunakan matahari di bagian luar ruangan utama. Alatnya masih berdiri, meskipun tak digunakan lagi.

”Dahulu, waktu salat di masjid ini ditentukan para ulama dengan melihat jam manual tersebut. Namun sekarang sudah tersedia jam digital penunjuk waktu salat,” kata Sukri Ibnu Soha.

Di masjid ini, tepatnya di lantai III, terdapat Alquran raksasa dan perpustakaan Islam. Pembuatan Alquran raksasa ini digagas Sofwatillah Mozaib, saat ini menjadi anggota DPR.

Alquran ini terbuat dari kayu tembesu (fagraea.spp) ukurannya tidak main-main, tebal keseluruhannya termasuk cover mencapai 9 meter. Dengan ukuran halamannya, 177 x 140 x 2,5 cm.

Setidaknya 40 meter kubik kayu tembesu dihabiskan untuk membuat Alquran ini dan hampir Rp 1 miliar dihabiskan untuk menyelesaikan proyek ini. Setiap tepi lembar Alquran raksasa itu dihiasi dengan ukiran ornamen khas Palembang.

Tradisi yang Hilang

Dulu, di masjid ini ada tradisi unik, yakni penyediaan buka bersama. Buka bersama ini disajikan dalam dulang (nampan terbuat dari papan) lengkap dengan lauk-pauknya.

Masing-masing dulang dikelilingi 5-6 orang. Buka bersama pun benar-benar dinikmati secara bersama-sama dari satu dulang. ”Setiap harinya, disiapkan buka bersama untuk 500 orang. Makanannya dimasak oleh pengelola masjid ditambah sumbangan dari masyarakat lainnya,” tambah Sukri Ibnu Soha.

Namun, sekarang tradisi buka dengan dulang ini tidak ada lagi; yang ada adalah disiapkan buka bersama sebanyak 500 nasi bungkus. Biasanya, disiapkan 400 nasi bungkus ditambah sumbangan dari masyarakat lainnya.

Selain itu, siraman rohani selalu disampaikan seminggu dua kali oleh Al ustaz KH Zen Sukri saban Selasa. Hari-hari lainnya bergantian oleh ulama seperti KH A Nawawi Dencik Al Hafiz dan Abul Hasan Ali Umar Thayib.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *