Salah satu kesenangan saya ketika berada di kota lain adalah berjalan
kaki. Selain baik untuk mengendorkan otot otot yang seakan terpelintir
mengejang setelah duduk terpenjara di pesawat belasan jam tidak
leluasa bergerak semaunya takut terbentur kaki orang sebelah yang
menjalar bagaikan pohon rebah tidak memilih jurusan, berjalan santai
berupa cara terbaik mengenal dari dekat dan menyerap suasana
kehidupan sekeliling. Dapat merasakan detik nyali kota sebenarnya.
Apakah sebuah kota itu hidup, bersemangat, dinamis atau lesu merintih
kesakitan, semua ini dapat dirasakan, dapat disentuh ketika berjalan
kaki. Untuk ini tentunya diperlukan adanya trotoar yang memadai.
Trotoar dalam Bahasa Hokkien Singapura disebut Go Kha Ki atau
Bahasa Melayunya Kaki Lima yang berasal dari Bahasa Inggeris Five
Foot Way peninggalan dari jaman colonial dulu ketika menentukan jarak
antara pintu toko atau rumah dan jalan raya perlu seluas five foot. Dan
Five Foot Way itu milik umum, tidak boleh digunakan untuk kepentingan
pribadi. Sebuah city planning yang sangat bijak, bahkan dapat dikatakan
merakyat, karena yang berjalan kaki kebanyakan adalah rakyat
jelata. Prasarana umum tidak sekedar menguntungkan yang memiliki
kendaraan. Sarana umum trotoar sangatl kurang di Jakarta, kalaupun
ada, sempit sekali, dan keadaannya sangat buruk, jika tidak hati hati
akan terjerumus jatuh ke dalam lobang saluran got. Selain itu, banyak
bagian trotoar yang diambil alih oleh penjual makanan, menggunakan
trotoar sebagai milik pribadi, menempatkan gerobak jualan sepanjang
hari dan malam.
Lain halnya dengan naik bus atau yang biasa disebut on off city tour di
kota kota besar di negeri Barat. Seperti juga acara guided tour dimana
pun, mereka lah yang memilih apa yang hendak ditunjukan kepada para
turis, dan ini sudah diperhitungkan dengan teliti apa yang umumnya
dianggap menarik bagi kebanyakan turis, tentunya tanpa mengabaikan
kepentingan perusahaan tourist board. Jalur perjalanan sudah
ditentukan, biasanya area dimana terdapat gedung gedung sejarah,
gedung pemerintah, monument dan gedung kesenian, tentunya tidak
lupa gereja dan cathedral, semua sudah dirancangkan sebelumnya.
Lalu para turis sibuk menggambil foto tak henti hentinya melalui jendela
kaca bus demi membanggakan kepada sanak saudara bahwa mereka
sudah pernah mengunjungi kota kota yang tadinya hanya didengarnya
dari orang lain. Tapi semua ini sudah dapat kita lihat di buku dan
catalogue yang dibuat special untuk turis, dan foto foto yang terdapat di
dalamnya jauh lebih indah dari foto yang kita ambil sendiri. Maklum foto
foto itu dibuat oleh professional photographers.
Turis bus tidak melewati jalan jalan kecil berkelikir karena jalan itu terlalu
sempit dan kendaraan bermotor dilarang masuk.
Disini letaknya keindahan yang terdapat disekitar jalan jalan kecil yang
tidak terjangkau oleh kendaraan bermotor. Jika kita perhatikan, disekitar
daerah ini, di sebuah pojok yang tadinya tidak disangka sangka,
terdapat sebuah rumah tua besar tapi terawat, megah bertingkat
dua, bangungan klasik bekas milik keluarga saudagar kaya raya atau
keturunan raja raja setempat pada masanya. Didepan pekarangan
rumah, bersebelahan dengan tempat simpan kereta dan kandang
kuda terdapat air mancur dan patung marmer bidadari berwarna
putih berwajah suci lengkap dengan sepasang sayap dan sebuah
harp ditangan mendendangkan lagu sorga dimana tidak ada orang
sengsara, tidak ada kemiskinan, tidak ada pertarungan caleg maupun
capres dan tentunya tidak ada banjir maupun kemacetan lalu lintas.
Bidadari itu berdiri ditengah kolam buatan dan tetanaman hiasan jauh
dari kesibukan orang berjual beli di toko toko sepanjang jalan raya.
Memandang semua ini kita terbawa oleh arus sejarah, jaman keemasan
ketika raja raja dan pimpinan gereja sangat berkuasa. Semar semar
seakan terdengar suara kereta kuda melewati jalan kerikil datang
menghampir, akupun melangkah keluar dari pekarangan rumah.
Berjalan dan berjalan dengan harapan ada lagi sesuatu kejadian yang
tidak disangka sangka, keindahan yang tidak direncana.
Sebagai kota kelahiran, Jakarta memiliki daya tarik tersendiri bagiku.
Tapi Jakarta sudah banyak berobah, gedung apartment bertiingkat,
gedung shopping centre menjamur, nama nama jalan yang sering saya
lewati dulu telah banyak ditukar dengan nama para Jenderal tentara
yang dimakamkan di Makam Pahlawan Kali Bata bersama dengan
beberapa tokoh koruptor lainnya. Kesan pertama ketika kembali setelah
banyak tahun meninggalkan Jakarta, terasa padat dengan manusia,
dan tentunya kemacetan lalu lintas yang sungguh luar biasa parah.
Jarak antara dua mobil dalam perjalanan sering kali hanya satu, dua
cm. dan itupun kabarnya akan ada tambah mobil murah dengan alasan
agar harga mobil lebih terjangkau bagi warga. OMG! Logika jungkir
balik ini sudah tentu berdasarkan pada kepentingan. Kepentingan
pribadi / kelompok yang sama sekali tidak peduli dengan kepentingan
masyarakat pengguna jalan raya. Demikian juga dengan speda motor
yang tak terhitung jumlah angkanya. Mereka datang bersamaann di
jalan raya bagaikan ratus ribuan tawon terbang menutupi langit. Apa
mau dikata, speda motor adalah kendaraan yang termurah dibanding
harga mobil, banyak warga terlebih lagi anak muda pulang pergi kerja
naik speda motor. Teman kami seorang pengacara memiliki dua mobil;
satu untuk dirinya satu lagi untuk isteri. Tapi sering kali kalau ada
keperluan mendatangi tempat yang terkenal macet, sebenarnya, di
Jakarta kemacetan itu terdapat dimana mana, baik jalan toll mau pun
jalan jalan kecil yang biasa disebut “jalan tikus”, dan pada waktu apa
saja, baik siang maupun malam, maka ia sering menggunakan speda
motor, “Agar dapat tiba ditempat pada waktunya,” ujarnya.
Seperti yang ditegaskan oleh pasangan Gubernur DKI Jakowi/Ahok,
solusi yang terbaik adalah menambah angka jumlah kendaraan umum,
khususnya MRT, dengan perhitungan pengguna jalan bersedia naik
kendaraan umum dan meningggalkan kebiasaan pakai mobil pribadi.
Dalam teori memang baik, tapi masalahnya bertubi tubi. Pertama, kita
ambil MRT sebagai contoh, apakah stasionnya mencukupi permintaan,
dan apakah berdekatan dengan penghuni rumah dan tempat kerja yang
dituju? Kedua, apakah suasana dalam train bersih, teratur, nyaman
dan keselamatan penumpang terjamin? Apakah penumpang boleh
seenaknya membuang, menempelkan bekas permen karet (chewing
gum) baik di lantai atau lebih parah lagi dibangku bangku yang akan
menjadi perangkap bagi penumpang lainnya? Jangan ketawa, semua
ini nampak masalah kecil, tapi sangat menentukan bagi para pengguna
mobil dalam menentukan bersedia tidaknya menggunakan MRT
sebagai alat transportasi menggantikan mobil pribadi dan mengurangi
kemacetan lalu lintas. Bukankah ini tujuan pokok menyediakan jaringan
kendaraan umum termasuk MRT?
May Swan. 13 March 2014, Singapore.