Tanah Papua ‘Sarang’ Korupsi (1)


RUANG penjagaan di Lembaga Pemasyarakataan (LP) Abepura Jayapura, tertera data penghuninya, berjumlah sekitar 350 orang. Tercatat, ada 25 narapidana tindak pidana korupsi (tipikor) dan ada 26 tahanan kasus tipikor sehingga total untuk kasus tipikor berjumlah 51 orang. Jumlah itu jauh lebih besar dari jumlah penghuni untuk kasus makar, yakni sekitar 14 orang.

Jumlah itu belum termasuk beberapa orang yang sudah berstatus sebagai tersangka, yang prosesnya masih tersendat-sendat di tingkat penyidikan atau terpidana Tipikor yang sudah diputus bersalah namun tidak ditahan, dengan alasan masih mengajukan banding. Belum lagi ditambah kasus tipikor pada LP lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat atau kasus tipikor yang masih pada tahap penyelidikan.

Penanganan kasus korupsi di Papua dan Papua Barat mengalami peningkatan dari tahun 2012-2014. Pada tahun 2012, jumlah kasus korupsi berkisar 14 kasus, sedangkan tahun 2013 meningkat menjadi 59 kasus korupsi. Tahun 2014 akan lebih tinggi lagi kasus korupsi yang akan ditangani kejaksaan Tinggi Papua.

Kecenderungan naiknya angka pelaku tipikor masih sangat mungkin, masih banyak kasus yang sedang ditaksir Kejaksaan Tinggi Papua, baik kasus-kasus lama yang sempat diredakan karena pertimbangan politis, pemilu ataupun kasus-kasus baru yang melibatkan petinggi di pemerintahan dan kroni-kroninya.

Korupsi di Tanah Papua adalah sebuah ironi. Ketika orang Papua diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintah, disertai aturan yang mengikat dan membatasi, namun kasus korupsi bertumbuh subur. Hal itu, tak lepas dari pengaruh orang-orang sekitar dan relasi-relasi yang makin terbuka dan kompleks, yang awalnya bernilai positif dari kekerabatan adat, malah berubah menjadi petaka. Secara sadar dan sengaja, korupsi jelas-jelas untuk memperkaya diri sendiri.

Ironisnya, makin banyak dana yang mengalir ke Papua dan Papua Barat, dan meningkatnya perhatian dan dukungan untuk tata kelola pemerintahan yang bersih dari berbagai pihak, mulai dari menyediakan pelatihan dan fasilitas, korupsi malah makin  tumbuh subur. Tak terhitung berapa total kerugian negara yang ditimbulkan akibat perilaku yang memilukan dan memalukan itu.

Perubahan signifikasi terhadap kesejahteraan rakyat dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel, hanya laporan imajiner untuk menyenangkan hati pemberi bantuan.

Direktur Eksekutif Papua Coruption Watch (PCW) Muhammad Rifai Darus SH menilai,  kasus yang saat ini dihadapi oleh Mantan Gubernur Papua Barnabas Suebu akan berkembang seperti kasus yang dialami oleh Gubernur Provinsi Banten Ratu Atut Chosiyah.

“Catatan kami, kasus Barnabas Suebu tidak hanya itu, akan sama dengan Gubernur Banten, pasalnya berlapis. Banyak pihak yang bisa terseret, jadi kita minta persidangan jangan digelar di Jayapura. Kami minta prosesnya dilakukan di pengadilan Tipikor Jakarta,” kata Rifai.

Terungkapnya kasus ini juga bisa menjadi celah bagi para penegak hukum untuk bisa mengorek kasus mantan pejabat Papua lainnya, yang diduga memiliki kaitan dengan Barnabas Suebu.

“Kami minta juga yang sudah terproses jangan tutup mulut, buka saja sudah. Karena, tak akan ada yang rugi jika  penegak hukum lebih terbuka, supaya semua bisa terang benderang,” ujarnya.

Menurut catatan dan analisa PCW, daftar koruptor di Papua dan Papua Barat akan bertambah lagi, ada bupati, wali kota, maupun pejabat lainnya. “Banyak kasus yang sedang dalam proses dan pendalaman oleh aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun yang masih antre di KPK. Semuanya melibatkan pejabat SKPD, termasuk bendaharawan proyek yang dijabat putra-putra Papua,” katanya.

Rp 36 Miliar

Menurut catatan PCW, mantan Gubernur Papua tersangka korupsi, terkait proyek detalling enggenering design PLTA di Sungai Memberamo, bersama dengan mantan Kadis Pertambangan dan energi Papua JJK, serta seorang pengusaha LD. Kerugian negara ditaksi Rp 36 milar.

Kasus Barnabas Suebu menambah panjang daftar korupsi oleh kepala daerah di Papua dan Papua Barat. Sebelumnya, ada Mantan Bupati Kepulauan Yapen, Supiori, Boven Digoel, Merauke, Jayawijaya, Biak Numfor, Meibrat, Fak-fak, dan lainnya. Melihat kasus-kasus tersebut, bahkan Rifai menyebut Papua menjadi daerah yang menjadi “sarang” korupsi.

“Logikanya, jika hasil korupsi itu dinikmati juga oleh bendahara proyek, Kepala Dinas, Bupati, dan Gubernur, jelas sekali hampir semua pejabat sudah terseret dalam kasus korupsi. Ini sejarah yang luar biasa, yang cukup membuat kita malu. Ini menjadi catatan penting, bahwa pusat korupsi di Indonesia ada di Papua dan Papua Barat. Karena mulai dari tingkat paling rendah hingga tingkat paling tinggi semuanya mulai diselidiki dan ditahan oleh KPK,” kata Rifai.

Dari analisa PCW, pola penggunaan keuangan negara yang bersifat bantuan (hibah) merupakan entry point korupsi, yang sedang semarak di Tanah Papua bahkan seluruh Indonesia. Rambu-rambu penggunaan keuangan negara, sudah saat jelas. Peraturan-peraturan terkait pun sudah memberikan arahan dan penjelasan penggunaannya, dengan  baik dan benar serta aman apabila dijalankan secara benar. 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

11 thoughts on “Tanah Papua ‘Sarang’ Korupsi (1)

  1. james
    September 27, 2014 at 5:24 am

    Ini Akibat dibawah Pemerintahan Indonesia

  2. pengamat
    September 28, 2014 at 12:50 am

    kalau mau kaya dalam waktu singkat, ya korupsi.

  3. james
    September 28, 2014 at 10:48 pm

    nah itu maka Indonesia adalah Negara Koruptor Abadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *