Rakyat Miskin Topang Orang Kaya


JAKARTA — Strategi pembiayaan ekonomi pemerintah selama ini ternyata cuma memunculkan ketidakadilan karena hanya menguntungkan segelintir orang kaya. Alokasi kredit perbankan tercatat lebih banyak untuk kepentingan pengusaha ketimbang mengangkat kehidupan rakyat miskin.

Padahal, sebagai pembayar pajak, rakyat miskin menyumbang penerimaan APBN yang sebagian dialokasikan untuk membayar utang bunga obligasi rekapitalisasi perbankan dan akhirnya dimanfaatkan bank untuk kredit bagi segelintir pengusaha.
Itu berarti secara tidak langsung rakyat miskin yang tidak menikmati pertumbuhan ekonomi dipaksa untuk berbagi menanggung utang pengusaha hitam obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

“Dana publik selama ini hanya beredar di antara pengusaha besar dan sama sekali tidak berpihak kepada ekonomi rakyat. Uang hanya beredar di antara mereka yang punya modal saja. Mereka juga lebih memilih investasi ke pasar obligasi dan properti daripada mengembangkan usaha kecil dan menengah,” kata peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM Revrisond Baswir kepada Koran Jakarta, Kamis (26/5).

Menurut dia, para pengusaha itu mendapatkan akses modal dari bank yang selama ini menikmati keuntungan hanya dari hasil bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang mencapai lebih dari 600 triliun rupiah.

“Padahal, bunga obligasi itu berasal dari pemerintah yang sumbernya dari pajak rakyat. Jadi, rakyat dibebani bayar pajak untuk dinikmati segelintir pengusaha,” kata Revrisond.

Sampai saat ini, pemerintah per tahunnya rata-rata harus membayar 60 triliun rupiah untuk bunga obligasi yang diterbitkan guna mem-bailout bank pengusaha hitam. Sebagian bank yang kolaps pada 1998 itu karena dimanipulasi oleh pemiliknya sendiri.

Revrisond menambahkan beban anggaran yang sangat besar harus ditanggung oleh rakyat pembayar pajak dan masyarakat luas.

“Paling tidak obligasi rekapitalisasi yang ratusan triliun rupiah itu harus membebani APBN setiap tahun yang berakibat peningkatan pajak, pencabutan subsidi, pengurangan pos-pos anggaran lainnya seperti pendidikan, kesehatan,” jelas dia.

Senada dengan Revrisond, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ahmad Ma’ruf, menegaskan perbankan yang semestinya berfungsi sebagai penyalur modal untuk sektor ekonomi rakyat, justru lebih suka mengalirkan dana kepada grup mereka sendiri atau kepada instrumen-instrumen yang hanya mengabdi pada sebesar-besarnya keuntungan pemilik bank.

“Polanya, dana dari masyarakat tidak dikembalikan ke masyarakat, tapi ke instrumen SBI atau obligasi rekap, bunganya yang bayar pemerintah dari pajak rakyat, atau disalurkan ke pengusaha besar bagian dari grupnya. Kalau pengsuaha bangkrut, bank bangkrut, muncul pola BLBI, apa namanya kalau tidak menyandera?” tukas Ma’ruf.

Kredit Properti

Pengamat ekonomi Universitas Airlangga, Soebagyo, menyatakan gejala meningkatnya kredit ke sektor properti bukannya tanpa risiko. Pengalaman Jepang, sektor perbankannya nyaris ambruk karena kredit properti macet. Apalagi konsentrasi pengembang properti saat ini lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi strata mapan. “Para pembeli properti itu adalah mereka yang berada di strata pendapatan tinggi. Propertinya juga properti mewah, bukan rumah sederhana,” kata dia.

Perbankan, lanjut dia, getol menyalurkan kredit ke properti karena perlu menyalurkan kelebihan likuditas dan berkepentingan mendapatkan pendapatan bunga memadai. Hal inilah yang mengakibatkan gelembung harga properti yang sewaktu-waktu bisa pecah.

Pengajar Lemhanas, John Palinggi, mengatakan kenaikan harga tanah dipicu oleh penguasaan lahan properti oleh pengusaha besar. Bahkan, 4 persen pengusaha properti menguasai hampir 70 persen lahan di Jakarta. Ini pertanda bahwa kekuatan ekonomi Indonesia berada di pengusaha kaya ini.

“Tidak heran jika sekarang ini ada pemusatan kue ekonomi pada sekelompok pengusaha. Dan ini sangat berbahaya bagi masa depan ekonomi Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, pemusatan kue ekonomi pada segelintir pengusaha membuat ketimpangan kesejahteraan. Jurang antara kaya dan miskin begitu menganga di Indonesia saat ini. “Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Lapangan kerja terbatas dan sumber daya ekonomi dikuasai segelintir orang. Ini tidak baik bagi masa depan ekonomi Indonesia,” imbuh John.

Pemusatan kue ekonomi pada segelintir pengusaha ini menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Jika situasi ini tidak ditata dengan baik, bisa menimbulkan keguncangan ekonomi. “Mereka yang kaya ini sangat menentukan ekonomi kita ke depan dan ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Peneliti ekonomi LIPI Latif Adam mengaku tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki ketimpangan sosial ini karena hal itu perlu dilakukan secara gradual dengan mengembangkan sektor tradable, baik dari sisi pertanian maupun industri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan lebih banyak pada sektor pertanian.

“Harus ada yang pro terhadap sektor UKM (usaha kecil menengah) dan itu obat mujarab untuk mengurangi ketimpangan sosial. Kalau tidak ada komitmen pada sektor ini, permasalahan ketimpangan sosial masih akan terjadi,” tegas dia.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *