Pilpres 2014, Bukan Lagi Zamannya Golput


Dalam beberapa bulan kedepan, Indonesia akan menghadapi salah satu pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah tanah air. Dikatakan terbesar karena pesta demokrasi ini hanyak dilakukan selama 5 tahun sekali, dan sekaligus menjadi kali ke-4 bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan megahnya atmosfir suasana politik. Pesta demokrasi tersebut adalah Pilpres 2014. Sebelumnya, Indonesia telah berhasil menghelat pesta demokrasi legislatif yaitu Pemilihan Umum Legislatif yang mampu berjalan dengan sangat baik.

 

Apa itu demokrasi?

Demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan yang semua rakyatnya terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan) dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Syarat penting dalam demokrasi yaitu masyarakatnya dituntut terlibat dalam pemilu, karena pemilu dapat dijadikan acuan untuk menunjukan tingkat partisipasi politik dalam suatu negara. Dengan pemilu, rakyat dapat menyuarakan suaranya secara bebas tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Sehingga pada akhirnya mereka tidak merasa bersalah atas hasil dari pemilu. Rakyatlah yang menjadi pemeran utama dalam sistem pemerintahan ini. Sementara Pemerintah hanyalah sebagai figuran yang membantu menyalurkan aspirasi pemeran utama.

 

 

Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara demokrasi terbesar di dunia

Presiden Federal Jerman, Christian Wulff mengatakan, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga didunia karena berhasil menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis setelah India dan Amerika. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga didunia, Indonesia diagung-agungkan sebagai negara yang hebat karena berhasil melakukan demokratisasi dengan baik. Namun, menurut saya Indonesia masih gagal dalam menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis. Kenapa? Karena tingkat partisipasi politik di Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya partisipasi politik Indonesia tersebut dilihat dari tingginya angka golongan putih.

Golongan putih adalah golongan masyarakat yang tidak menggunakan surat suaranya dalam memilih, sehingga surat suara tersebut menjadi terbengkalai tidak berguna. Tingginya angka golongan putih inilah  yang menunjukan sistem pemerintahan demokrasi yang berjalan di Indonesia selama ini belum berjalan dengan baik.

 

 

Golongan Putih? Masih jaman?

LSI mencatat bahwa, sejak tahun 1999 hingga tahun 2009, angka golongan putih terus meningkat dimulai dengan persentase 6,3%, 16%, hingga 30% pada tahun 2009. Fluktuasi tersebut menunjukan bahwa angka golput dalam setiap perhelatan pemilu selalu merangkak naik dengan persentase setiap periodenya mencapai 10%. Tingginya angka golongan putih ini dapat disebabkan karena tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap elit politik yang terus menurun, dengan menjamurnya kasus korupsi dan juga permasalahan lainnya. Ibaratnya, para kaum golongan putih menganggap bahwa untuk apa memilih apabila tidak ada calon yang pantas untuk dipilih. Pemikiran seperti ini ibarat “tong kosong yang tidak berbunyi” dan sudah sepatutnya diubah sejak dini. Kenapa?

 

 

Golongan Putih menyumbang 3T terhadap kerugian negara

Golongan putih justru dapat menjadi boomerang bagi proses demokrasi dan negara itu sendiri. Negara dapat merugi hingga mencapai 3 Triliun Rupiah akibat golput. Timbul pertanyaan, “Bagaimana bisa negara mengalami kerugian triliunan rupiah hanya dengan golput?”. Pada umumnya, setiap pemilih dianggarkan oleh negara sebesar 60 ribu rupiah. Misalnya, Pemilu pada tahun 2009. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu 2009 adalah 171.265.442 orang dan yang menggunakan hak suaranya hanya 121.588.366 orang. Berarti ada sekitar 50 juta pemilih yang menjadi anggota golput. Apabila dikalikan dengan besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah bagi setiap pemilih, maka negara telah mengalami kerugian hingga 3 Triliun Rupiah.

Tiga triliun bukanlah angka yang sedikit. Kasarnya, dengan angka sebesar itu Pemerintah Indonesia mampu menghidupi ribuan rakyat miskin dari lahir hingga meninggal. Itu adalah kerugian yang dialami oleh Indonesia dalam Pemilu 2009. Berdasarkan track record Pemilu yang berjalan di Indonesia semenjak 1999, angka golput di Indonesia selalu merangkak naik hingga 10%. Sehingga, dapat diprediksi bahwa angka golput di Indonesia pada Pemilu 2014 akan mencapai 40% dan dapat diprediksi pula berapa kerugian yang akan kembali diderita Indonesia pada pemilu 2014 nantinya. Perlukah kita menghamburkan-hamburkan uang negara dengan percuma sementara saudara-saudara kita diluar sana mati kelaparan karena tidak mampu membeli sesuap nasi?

 

 

Golongan Putih sebagai “Tunggangan” para elit politik untuk memenangkan pemilu

Selain ancaman kerugian tersebut, tingginya angka golput dapat dimanfaatkan oleh kalangan elit politik. Bagaimana caranya? Sangat mudah, yaitu dengan sistem money politics. Pada dasarnya, masyarakat tidak mengetahui secara pasti jumlah anggota golongan putih yang sebenarnya. Angka golput yang selama ini diperlihatkan tidak menjamin angka golput yang sebenarnya karena angka tersebut merupakan jumlah suara yang terlihat pada data yang telah dimasukkan kedalam kotak suara. Sementara itu, bisa saja surat suara lainnya “yang tidak digunakan” dapat dilimpahkan kepada kalangan elit politik. Ada permainan politik yang dapat terjadi disini. Misalnya, Pemilu pada tahun 2009. Persentase golput adalah 30%. Persentase tersebut menunjukkan jumlah surat suara yang tidak digunakan pada saat proses pemilu dilakukan. Persentase golput yang sebenarnya bisa saja lebih tinggi. Namun surat suara tersebut telah digunakan oleh pihak lain atas nama si pemilih golput. Kita tidak mengetahui secara pasti bahwa akan ada pihak-pihak yang mampu menggunakan surat suara yang tidak kita digunakan dan memilih kalangan elit politik tertentu.

Cara ini dapat digunakan oleh mereka untuk mampu memenangkan pemilu. Hal ini dapat terjadi, dan pihak-pihak tertentu tersebut akan tertawa bahagia apabila angka golput semakin meningkat, karena dengan begitu peluang mereka untuk menggunakan surat suara yang tidak digunakan tersebut akan semakin besar dan semakin banyak.

Namun, kita perlu berbangga hati karena tingkat partisipasi politik masyarakat Indonesia sudah mulai membaik. Hal ini terlihat pada proses pemilihan umum legislatif yang baru saja dilaksanakan 9 April lalu, dengan tingkat partisipasi politik yang cukup tinggi. Semoga hal ini masih tetap bertahan hingga pemilihan umum Presiden dalam beberapa bulan kedepan.

 

 

Say No To “GOLPUT”!

Inilah pemikiran yang harus kita tanamkan dan harus kita budayakan sejak dini. Say no to “Golput”!

Dalam penjabaran seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat kita bayangkan bagaimana ancaman laten yang bersembunyi dibalik budaya golput yang kita puja-puja selama ini. Apabila kita tidak lagi mempercayai pemerintah secara penuh, maka kita hanya perlu berusaha untuk mendalami mereka, carilah mereka yang paling pantas untuk dipilih. Tidak semua dari mereka itu adalah busuk.

Mengintip sejarah, apakah kita menginginkan sistem yang otoriter menguasai Indonesia, tanpa melibatkan rakyat? Saya rasa seluruh masyarakat di Indonesia akan menjawab “tidak”. Oleh karena itu, berpartisipasilah dalam Pemilu 2014 dengan menggunakan surat suara yang telah dipercayakan kepada kita. Siapa lagi yang akan menjalankan pemerintahan di Indonesia, kalau bukan mereka? Dan siapa lagi yang akan memilih mereka kalau bukan kita?. Saya rasa, kita tidak akan mau menghamburkan-hamburkan uang sebanyak 3T untuk dijadikan kertas sampah. Dan saya yakin, kita tidak akan mau melihat salah satu elit partai memenangkan pemilu dengan memanfaatkan surat suara kita yang tidak digunakan. Oleh karena itu, gunakanlah surat suara kita secara bijak, pilihlah mereka yang pantas untuk dipilih, dan bongkarlah budaya golput!

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *