Partisipasi pemilih dalam tiga pemilu nasional terakhir yaitu pemilu 1999, pemilu 2004, dan pemilu 2009 cenderung menurun. Yang benar saja, pemilu 1999 tingkat partisipasinya sebesar 93,3 % sedangkan tahun 2009 penurunannya tidak tanggung – tanggung menjadi 70,9 %. Kebetulan penulis berlokasi di Kota Bogor, pemilih dalam pemilu Walikota dan Wakil Walikota Bogor tahun 2013 lalu hanya sekitar 60 %. Sungguh disayangkan angka golongan putih (golput) terus meningkat tiap periodenya.
Beribu alasan mengapa golput semakin meningkat. Bila dikelompokkan, terdapat dua kategori yaitu golput karena administratif dan golput karena internal individu tersebut. Bagaikan jamur, keduanya tumbuh dan berkembang ditiap daerah.
Masalah administratif merupakan persoalan yang cukup signifikan. Sejumlah masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) belum kunjung selesai. Banyaknya masyarakat yang belum terdata atau data pemilih bermasalah. Sehingga menjadi pekerjaan rumah Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga saat ini. Tidak hanya itu, mengaca pada pemilu sebelumnya, pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih tentu kehilangan hak suaranya. Hal itu dikarenakan kurang maksimalnya pelayanan dari panitia penyelenggara pemilu.
Kini kita melihat perspektif dari dalam diri si pemilih. Sejumlah alasan seperti ketidakpercayaan, ketidaktertarikan, ketidakpuasan terhadap partai, calon legislatif, calon Presiden atau pemilu itu sendiri menjadi dasar untuk golput. Atau kesibukan lainnya sehingga mengesampingkan untuk datang ke TPS. Kemudian semua alasan tersebut diperkuat dengan anggapan bahwa golput adalah suatu hak. Masalah golput kini semakin rumit.
Daerah Rawan Golput
Perkotaan – Sungguh menggelikan apabila daerah perkotaan memiliki angka golput karena masalah administrasi. Dengan segala sarana dan prasarana yang tersedia, kemungkinan kecil masalah muncul dari pelayanan administratifnya. Lalu apa penyebab golput ? tentu saja tingkat kesadaran individunya terhadap partisipasi politik. Pada umumnya masyarakat yang tinggal diperkotaan fokus pada perekonomian sehingga mementingkan pekerjaan daripada menunggu berjam – jam di TPS untuk memberikan satu suara. Contohnya pedagang atau buruh. Pengecualian apabila pegawai kantoran diliburkan. Teringat sengketa pemilukada Jawa Barat, Rieke Dyah Pitaloka mengajukan gugatan karena pemilukada dilakukan pada hari kerja. Saat itu Rieke diusung oleh PDIP dengan basis suara dari buruh.
Pedalaman – Mendengar katanya saja kita bisa memastikan dari mana masalah golput berasal. Eits, bisa keduanya, administrasi dan internal individu. Luasnya daerah Indonesia diperkirakan menyulitkan petugas mendata penduduk yang memenuhi syarat untuk memilih. Selain itu, namanya pedalaman, kemungkinan kecil pendidikan politik menjamahi wilayah ini. Sehingga ketertarikan untuk partisipasi memilih cenderung kecil.
Perbatasan – wilayah ini sangat kompleks. Dari pemberitaan media, wilayah perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah. Berapa banyak penduduk di wilayah perbatasan ? tidak ada keterangan pasti. Disinilah golput memiliki tingkatan sangat berbahaya.
Dari penjelasan sebelumnya, golput terkesan dibagi menjadi dua yaitu digolputkan dan menggolputkan. Bedanya, digolputkan karena tidak sengaja golput contohnya kesalahan dari panitia penyelenggara. Sedangkan menggolputkan yaitu golput murni yang sengaja memilih golput. Tetap saja yang namanya golput itu berbahaya.
Lumayan Berbahaya
Dikatakan lumayan berbahaya, karena golput itu masih mengancam kredibilitas penyelenggara pemilu. Penyebabnya adalah kesalahan – kesalahan yang menimbulkan banyak pihak ‘digolputkan’. Kemudian timbullah rasa kekecewaan dari pihak – pihak yang dirugikan lalu berujung dengan ketidak tertarikannya pada pemilu. Sehingga pihak yang digolputkan malah menggolputkan diri pada pemilu selanjutnya. Maka dari masalah ini akan menuju pada tingkatan bahaya selanjutnya. Masalah golput itu berantai dan menjadi semakin besar.
Menjadi Berbahaya
Berawal dari ketidaksengajaan menjadi golput murni, ditambah dengan individu yang konsekuen sejak awal menggolputkan diri, maka tingkat golput semakin tinggi. Menjadi berbahaya karena esensi demokrasi mulai luntur. Pemilu merupakan jantungnya demokrasi yang mana perwujudan dari kedaulatan rakyat yang akan memilih wakil – wakil mereka untuk menduduki jabatan – jabatan legislatif maupun eksekutif. Dengan tidak memilih, kepentingan – kepentingan mereka tidak akan tersalurkan.
Menjadi Sangat Berbahaya
Golput menjadi sangat berbahaya karena dapat digunakan pihak – pihak tertentu dalam memanipulasi suara. Sangat terkejut ketika Tantowi Yahya mengatakan indikasi dimanfaatkannya golput itu untuk kepentingan caleg terlihat dari adanya ungkapan bahwa election is not campaign, but account (pemilu bukan kampanye, tapi perhitungan). Dia menambahkan modus yang dilakukan untuk mengkonversi golput menjadi suara bisa dengan menyelipkan paku disela jari. Hal itu bisa saja terjadi, mengingat banyaknya daerah rawan golput.
Walaupun ada pengawas pemilu independent, apakah benar – benar independent ? kita boleh saja pesimis. Yang ditakutkan adalah apabila benar – benar ada pengawas pemilu yang memihak pada suatu kelompok atau golongan.
Suara yang seharusnya tidak ada, malah dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Maka calon – calon wakil rakyat yang menggunakan suara tersebut, dikhawatirkan lebih mementingkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan rakyat nantinya ketika sudah mendapatkan kedudukan atau kekuasaan. Sungguh menakutkan.
Banyak pihak terus meningkatkan sosialisasi pemilu. Berharap dapat mengurangi angka golput. Masyarakat secara umum masih belum sadar dampak dari golput itu. Tidak sedikit dari masyarakat masih apatis untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin – pemimpin rakyat.
Kita perlu memberikan apresiasi pada penggerak – penggerak anti golput. Seperti kelompok elektoral yang terus memberikan penyuluhan. Mahasiswa yang rela turun ke jalan menyuarakan betapa berharganya satu suara. Mereka sadar bahwa pentingnya demokrasi setelah runtuhnya zaman Orde Baru. Selain itu mereka berjasa dalam lahirnya demokrasi di Indonesia. Sudah banyak darah yang tumpah demi tegaknya demokrasi ini.
Kita berharap seluruh masyarakat Indonesia bisa menikmati pesta demokrasi tahun 2014 dengan tertib, lancar, jujur, adil, aman, dan demokratis. Masih ingin golput ? Think again !!!