Petani Milenial Berkutat pada Hukum Ekonomi


Petani Milenial Berkutat pada Hukum Ekonomi

dilaporkan: Setiawan Liu

Pandeglang, 5 Agustus 2020/Indonesia Media – Peran penting petani milenial atau yang berusia 19 – 39 tahun terutama untuk kelanjutan pembangunan tidak lepas dari dukungan SDM yang progresif dan mandiri, kendatipun tantangan masih berkutat pada hukum ekonomi. “Mulai dari ongkos produksi sampai dengan masalah kerusakan tanaman. Sehingga (kerusakan tanaman) bisa membuat petani rugi,” field assistant perusahaan obat dan nutrisi pertanian PT Menara Dwikarya Prima, Juhadi mengatakan kepada Redaksi.

Pemerintah berencana bentuk petani milenial, mengingat potensinya untuk meningkatkan perekonomian Bangsa. Program tersebut juga parallel dengan pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) muda pertanian di Indonesia. Petani milenial berjiwa adaptif pada pemahaman teknologi digital, serta flexible mengidentifikasi modernitas. “Tapi jumlah petani milenial masih sangat sedikit. Ketika mereka mulai melirik usaha tanam padi, (proses) tiga bulan baru berhasil (panen). Setelah tiga bulan, ada permasalahan pada harga buruk. Ada juga masalah kerusakan tanaman. Selain tanaman padi, milenial juga belum berpaling pada hortikultura (budidaya tanaman kebun),” tegas Juhadi yang sehari-harinya disapa Ustad di Pandeglang

Di tempat yang sama, pengurus Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Cikeusik melihat kepemilikan lahan pertanian di Pandeglang masih sangat minim, yakni sekitar 20 persen. Sehingga banyak petani yang masih sebatas menyewa lahan pertanian. Sementara pemiliknya berasal dari Jakarta, Malimping, Lebak dan lain sebagainya. “Petani kami masih sewa lahan. Sistem sewa per petak sawah dengan hasil panen dua kuintal per tahun. Nilainya sekitar Rp 12 juta per tahun atau satu kali musim. Ini adalah tantangan,” kata Haji Maya dari Gapoktan Cikeusik.

Kendala usaha pertanian yakni pengaturan jadual tanam. Musim pertama lebih berat ketimbang musim kedua. Sawah juga masih dengan tadah hujan. Tetapi hal tersebut tidak menurunkan semangat para petani di Cikeusik. “Tetapi kami berharap, Pemerintah melalui Perum Bulog (Badan Usaha Logistik) tidak tutup. Kalau tidak ada yang menyerap gabah kami, harga bisa hancur karena jauh dari harga acuan pemerintah. Kami berharap ada sinkronisasi petani dengan Bulog sehingga harga bisa terus meningkat,” kata Haji Maya. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *