Perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat dilegalkan


Perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat dilegalkan

dilaporkan: Setiawan Liu

Jakarta, 10 Agustus 2021/Indonesia Media – Pemerintah Indonesia berupaya melegalkan sistem perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia dengan pengukuhan peraturan bupati/walikota. Pengelolaan laut, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak boleh sampai mengusir, menghilangkan budaya, merendahkan bahasa ataupun meminggirkan masyarakat hukum adat (MHA). “Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melihat bahwa MHA di beberapa negara disepelekan. Tapi kalau di Indonesia, ada kontrak social (pemerintah) dengan MHA, bahkan diformalkan,” Muhammad Yusuf, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Dit. P4K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen. PRL) KKP juga menilai berbagai peraturan akomodatif terhadap upaya perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Peraturan bupati/walikota juga parallel dengan peraturan tingkat pemerintah pusat pada penentuan lokasi, batas-batas laut. “Setiap tempat (daerah) agak beda-beda untuk pelarangan. Misalkan pada musim tertentu di satu daerah, ada pelarangan penangkapan ikan. Mereka tutup dan menerapkan sanksi sesuai hukum adatnya. Ada juga jenis tertentu misalkan ikan teripang, terubuk dilarang untuk ditangkap. Setelah masa tertentu (pelarangan), laut dibuka kembali untuk penangkapan (teripang, terubuk). Ternyata hasil penangkapan ikannya lumayan. Hasil keuntungan bisa untuk bangun rumah-rumah ibadah,” kata Yusuf. Resolusi PBB mendorong seluruh dunia untuk menyebarkan pesan perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat. Pada tahun 2021 ini, PBB mengusung tema yaitu ‘Leaving no one behind: Indigenous peoples and the call for a new social contract’. PBB menyatakan bahwa kontrak sosial baru didasarkan pada partisipasi dan kemitraan dimana ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan dan pembangunan demi keuntungan dan kesejahteraan bersama. “Di bagian timur Indonesia, lebih banyak MHA dibanding barat. Ada perbedaan masyarakat adat dan MHA. Ada regulasi yang mensyaratkan empat kriteria penentuan MHA. sebaliknya, kalau tidak memenuhi empat kriteria tersebut, tidak bisa dikategorikan MHA. Misalkan Panglima Laot di Aceh, menurut kami, bukan MHA, tapi adat yang berlaku. Panglima Laot merupakan struktur adat yang hidup di tengah masyarakat nelayan di Provinsi Aceh. Keberadaannya sudah dikenal lebih dari empat abad lalu,” kata Yusuf.

 

Pengakuan terhadap keberadaan MHA di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat, tertuang dalam pasal 18B ayat 2 pada Amandemen UUD 1945 kedua yang disahkan pada Agustus 2000. Dalam UUD dinyatakan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sejak dua dekade pelaksanaannya, pemerintah terus menyusun dan mengembangkan berbagai perundangan dan peraturan demi terwujudnya pengakuan dan perlindungan MHA. (sl/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *