Pengamat hukum tata negara Universitas Airlangga (Unair) Surabaya M Syaiful Aris SH MH menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukan “musuh bersama”, karena institusi serupa juga masih ada di negara lain.
“Kalau ada masalah dengan oknum KPK, saya kira solusinya bukan dengan membubarkan KPK secara institusi, seperti kalau ada oknum DPR bermasalah, tentu bukan DPR-nya yang dibubarkan,” katanya kepada Antara di Surabaya, Sabtu (22/10).
Aris yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, mengemukakan hal itu menanggapi konflik kelembagaan antara KPK dengan DPR, dan sebelumnya KPK dengan aparat penegak hukum lainnya (kejaksaan dan kepolisian).
“Banyak negara memiliki institusi penangkal korupsi, karena korupsi itu kejahatan luar biasa, sehingga perlu banyak lembaga untuk menangkalnya, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga KPK,” paparnya.
Ia mengaku konflik kelembagaan antara KPK dengan DPR atau sebelumnya KPK dengan Kejakgung dan Polri itu, sesungguhnya bukan konflik kelembagaan, namun konflik personal.
“Konflik personal itu terjadi, akibat potensi korupsi di internal DPR, Polri, dan Kejakgung menjadi tersangka dalam kasus korupsi yang akhirnya ditangani KPK, sehingga mereka secara personal menjadi resisten terhadap KPK,” ujarnya, menegaskan.
Apalagi, katanya, posisi KPK yang bukan diatur UUD 1945 seperti Mahkamah Konstitusi (MK) atau Komisi Yudisial (KY) juga menjadi “sasaran empuk” dari lembaga lain untuk memberangus KPK.
“Namun, KPK memiliki sifat kekhususan yang dibentuk atas dukungan publik dan bisa ditiadakan bila lembaga lain seperti Polri, Kejakgung, dan aparat penegak hukum lainnya sudah mampu memberantas korupsi seperti KPK,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, keberadaan KPK seharusnya tidak dijadikan “musuh bersama”, melainkan posisi KPK justru dijadikan pendorong bagi lembaga lain untuk meningkatkan kualitas diri.
“Jadi, manfaatkan KPK untuk menjadikan diri semakin profesional. Tapi, saya setuju kalau ada oknum KPK yang menyimpang maka oknum itu harus ditindak, agar tidak mencemari KPK secara institusi,” katanya.
Tentang keberadaan “pengawas” KPK yang akan mendampingi KPK, ia mengemukakan keberadaan pengawas KPK juga dibutuhkan, namun pengawasan yang dilakukan sebatas kebijakan, bukan teknis.
“Kalau pengawasan secara teknis terkait kasus yang ditangani KPK, maka hal itu berarti intervensi dan hal itu tidak boleh, kecuali bila pengawasan yang terkait dengan masalah kebijakan institusi KPK,” ujarnya.