Peletakan SINCI ALM. ITA MARTADINATA HARYONO


Peletakan SINCI ALM. ITA MARTADINATA HARYONO

Semarang May 13, 2021 / Indonesia Media

Di Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong, Semarang 13 Mei 2021.

Dalam budaya Tionghoa Sinci adalah papan bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan diatas altar sebagai penghormatan tertinggi pada leluhur.

Sinci ITA MARTADINATA untuk mengenang Tragedi Mei 1998 dan menjadi simbol untuk melawan lupa

Aktivis pro demokrasi Indonesia, dan sukarelawan berbagai peristiwa kekerasan pada masa pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998), Ita Fatia Nadia menginformasikan rencana peringatan peristiwa Mei berdarah 1998. berikut kutipan yang ditranscript Redaksi, Setiawan Liu melalui sambungan telpon (10 Mei 2021, jam 15.00 WIB)

“ … Itu (peletakan Sinci alm. Ita Martadinata Haryono) atas inisiatif persaudaraan klenteng Boen Hian Tong, Semarang. Ide tersebut sebetulnya, saya kasih nomor Haryanto Halim untuk bisa wawancara. Karena ide awal dari pak Haryanto dan tim, menghubungi aku untuk mencari tahu tentang kematian Ita dulu bagaimana (kronologisnya)?, prosesnya bagaimana? Dimana kejadiannya?. Nomor satu, ide pembuatan Sinci, adalah ide yang menurut saya, sangat mulia, sangat bagus karena (kegiatan) menggunakan perspektif kebudayaan.

Peletakan Since untuk melawan kekerasan negara, dan melawan lupa yang terjadi pada Mei 1998. Peristiwa kekerasan yang selalu disangkal, dan selalu tidak dianggap bahwa itu ada. Kematian Ita Martadinata adalah sebuah tanda, bagaimana seorang korban yang akan bersaksi di forum internasional, (tapi) dihabiskan. Itu (pembunuhan terhadap Ita) merupakan pembungkaman suara korban untuk bersaksi.

Dampaknya sampai sekarang. Bahwa, dampaknya terjadi pengingkaran, penyangkalan bahwa perkosaan Mei tidak ada. Pembunuhan terhadap Ita Martadinata, membunuh orang-orang, saksi korban melalui pembunuhan Ita Martadinata. Pembunuhan saksi korban sangat berarti, sangat politis karena disitulah kekuatan di balik semuanya, caranya membunuh saksi korban. Satu saja saksi korban dibunuh untuk menutup saksi korban yang lain.

Ide peletakan Sinci, pendekatan budaya Tionghoa dimana altar atau Sinci untuk menghormati para leluhur yang sudah meninggal. Itu adalah satu monumen melawan lupa yang dibuat oleh komunitas Tionghoa. Bahwa Sinci itu di Semarang, dimana-mana, sinci sudah dibuat untuk generasi yang akan datang, ini menurut saya luar biasa. Sudah ada gerakan yang sama, Komnas (Komisi Nasional) Perempuan di Pondok Ranggon, Jakarta Timur membangun monumen yang dibangun Ahok (mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama). Komnas Perempuan bekerjasama dengan Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan Napak Reformasi 2013 pada saat itu. Peristiwa memorialisasi Mei 1998 di Pondok Ranggon berlangsung pada Maret 2014.

Tapi itu monumen 1998 secara keseluruhan, tidak untuk (memorialisasi) korban perkosaan Mei 1998. Karena perkosaan ini sangat politis dan luar biasa sehingga terus disangkal. Ini perkosaan nyata ada, dan itu yang digunakan sebagai teror kepada Bangsa ini. Caranya, upaya perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa yang selama ini didiskriminasi, dinomor-duakan, apalagi perempuan. Perempuan sebagai warga kelas nomor dua tapi bahwa memperkosa perempuan etnis Tionghoa oleh penguasa orde baru, seperti pembiaran. ‘biar saja…’. Sama saja ketika orde baru muncul, memperkosa Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), itu juga pembiaran ‘biar saja…’ itu yang harus dilawan, sampai sekarang. Saya pribadi, tidak akan berhenti sampai hidup saya mengungkap isu perkosaan 1998. ini kan kriminal, genocide. Tapi orang mengatakan ‘ini bukan genocide….’  ini pembunuhan melalui perkosaan. Etnis nya, Tionghoa. saya selalu mengingatkan bahwa reformasi, kalau (peran) mahasiswa demo, itu omong kosong. Tetapi yang paling penting, yakni tindak pemerkosaan perempuan etnis Tionghoa, dijadikan alat untuk menghancurkan, aksi teror lewat penghancuran seksualitas perempuan etnis Tionghoa. Orang tidak memberi perhatian, disangkal terus saja. Gerakan di Semarang besok (12/5), menurut saya, gerakan yang sangat bagus.

Dan memang, perlawanan dengan politik, tidak bisa!. karena kondisi politik, pemerintah seperti ini, yang menjadi pelaku kerusuhan Mei 98 masih berkuasa. Sehingga perlawanan lewat kebudayaan, untuk orang Tionghoa, masyarakat Tionghoa harus terus mengingat ini. karena orang Tionghoa seperti mau melupakan ‘kita sudah hidup enak….’ ini nggak bisa!, karena (kerusuhan dan teror perkosaan) bisa terjadi lagi.

Komunitas Tionghoa bisa dijadikan objek kekerasan lagi karena mereka toh tetap dianggap sebagai warga negara kelas dua, tetap didiskriminasi. Walaupun secara KTP, etnis Tionghoa tidak, tapi secara budaya tetap didiskriminasi. Seperti kondisi sekarang, virus (pandemi covid) dianggap ‘ini virus dari China….’ ini menandakan, terutama kaum fundamentalis yang intoleran selalu menggunakan isu China, PKI terus menerus. Ini harus dilawan, dilawan lewat kebudayaan.

Acara peletakan Sinci besok, mereka (Haryanto Halim dan tim kerja), ada Gus Dur (mantan presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid) dan Ita Martadinata pada Sinci. Untuk 1998, kita harus terus berjuang. walaupun saya tetap dihina, saya tetap berdiri melawan perkosaan 98. karena saya melihat sendiri, menolong Ita Martadinata. (peristiwa pembunuhan terhadap Ita Martadinata), satu jam setelah dia meninggal, saya melihat darah masih hangat. Korban lain, Fransisca meninggal di tanganku. Belum korban lain yang di Glodok, dan lain sebagainya. (korban) banyak sekali, nggak bisa dilupakan sepanjang hidup. Itu (pengungkapan tindakan kekerasan perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa) merupakan prioritas perjuangan hidup. Ibaratnya, itu ibadah kemanusiaan saya untuk 1998 ( SL / IM ) …”

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *