Pasal 33 UUD 1945 Harus Kuatkan Kebijakan Pertambangan Indonesia


Bicara pemerintahan baru pasca Pemilu 2014, Indonesian Mining Association (IMA/asosiasi pertambangan Indonesia) berharap adanya penguatan dan pengerucutan mining policy (kebijakan pertambangan). Artinya, pasal 33 ayat 3 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” harus jelas dan tegas. Kesalahan yang paling kentara dari tafsir Pasal 33 ayat 3 yaitu ketimpangan ratio prosentase divestasi. Ketentuan divestasi sektor migas (minyak dan gas) hanya 10 persen, sementara minerba (mineral dan batubara) 51 persen. “Ini (ketimpangan) hanya satu dari sekian kesalahan dari penerapan Pasal 33 ayat 3 Undang Undang Dasar kita,” Tony Wenas dari IMA mengatakan kepada pers.
Ketimpangan prosentase divestasi migas dan minerba terjadi, karena belum ada mining policy yang baku. Ini merupakan tugas dari pemerintahan yang baru. Siapapun presidennya, hal ini harus menjadi perhatian semua pihak. Kegiatan investasi dan divestasi tidak boleh ‘tabrak’ UUD 1945. Kedua sektor tersebut sama-sama memiliki tingkat resiko yang tinggi. Keterlibatan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) serta kepemilikan saham negara pada kedua sektor juga sama. Bahkan BUMN sektor minerba seperti PT Antam terus berkembang, dan mendulang profit. “Dua-duanya (migas, minerba) sama-sama menguasai hajat hidup orang banyak. PT Antam juga menguasai beraneka produk tambang mineral. Bahkan sekarang (Antam) mengeksplorasi batubara. Tetapi divestasi mineral sampai 51 persen, sementara migas 10 persen. Perbedaan sangat besar.”
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 jelas mengandung pengertian semua sektor termasuk kehutanan, migas, minerba yang harus dikuasai oleh negara. Semua sektor juga harus memberi manfaat untuk kemakmuran rakyat. Tetapi sektor minerba seakan dibedakan dengan sektor kehutanan dan migas. Sektor minerba seakan bermuara pada kekuasaan di tingkat provinsi/kabupaten/kota. Sementara sektor kehutanan, migas tetap bermuara pada pemerintah pusat. “Kewenangan perizinan minerba dikuasai gubernur dan bupati. Tetapi kehutanan, migas ada di pemerintah pusat. Saya curiga, apakah karena ada ketakutan terhadap (penguasaan) asing untuk minerba. Sehingga kami berharap, ada mining policy yang lebih tegas, jelas dan terarah.”
IMA justru sebaliknya berharap tidak perlu ‘paranoid’ dengan pihak asing. Kalaupun ada ancaman gugatan pihak asing, seperti kasus gugatan Churchill Mining Plc terhadap pemerintah kabupaten Kalimantan Timur (Kaltim), selalu ada solusinya. “Undang Undang Investasi No. 25/2007 menjelaskan, bahwa perusahaan asing yang bersengketa, penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Kalau perusahaan dalam negeri berkontrak dengan asing, sesuai dengan acuan Undang Undang, penyelesaiannya di arbitrase. Lembaga yang dianggap paling netral. Jadi, kita nggak perlu takut dengan lembaga arbitrase. Semua proses, termasuk pembuktian sama seperti system hukum yang berlaku di Indonesia.”
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *