Partogi Samosir menjadi Ambassador for Peace di Washington DC


Partogi Samosir, Counselor KBRI Washington, D.C. telah diangkat sebagai ”Ambassador for Peace” bertempat di Conference Room, surat kabar Washington Times (8/3). Award tersebut dianugerahkan oleh Universal Peace Federation (UPF). UPF adalah NGO in Special Consultative Status with the Economic and Social Council of the United Nations.

Partogi Samosir yang juga merupakan orang Indonesia pertama yang menjadi Dean (2011-2013) Consular Corps College, the National Association of Foreign Consuls in the United States tersebut, dianugerahi ”Ambassador for Peace” atas karya baktinya dalam melayani homeless Amerika, serta atas komitmennya terhadap nilai-nilai multikultur, meritokrasi, non-diskriminasi, dan kerjasama di tataran praksis.

Duta Besar Botswana – Tebelelo Mazile Seretse, Direktur International Center for Religion and Diplomacy – Suzan Pausky, dan Presiden Congressional Wives – Nancy Schulze juga dianugerahi award sebagai Ambassador for Peace bersama-sama Partogi Samosir pada hari dan di tempat yang sama.

Partogi memulai Pidato pertamanya selaku Ambassador for Peace, dengan kalimat ”Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”.

Menurut Partogi, selama ini satu-satunya alternatif yang tersedia, bila orang tidak menerima perlakuan orang lain, adalah membalas. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa.

Membalas adalah sikap kodrati manusia. Malah salah satu nilai yang terpuji! Misalnya, dari beberapa jenis ”keadilan” yang ada, ada satu yang disebut ”keadilan retributif”. Apa ini? Menurut konsep keadilan retributif, adil itu artinya ialah, membalas orang setimpal dengan apa yang dilakukannya. Jadi, orang yang berbuat baik diberikan pahala. Sedangkan orang bagi yang berlaku jahat diberikan hukuman.

Partogi menegaskan bahwa ia tidak menafikan perlunya hukuman sebagai bentuk dari pendisiplinan. Tapi Partogi menawarkan alternatif lain yang lebih luhur, yang lebih mulia. Yaitu, bukan membalas dendam melainkan mengampuni. Bukan membalas dendam tetapi mengasihi.

Mengapa lebih luhur? Sebab ketika kita mampu mengendalikan kecenderungan kodrati kita untuk membalas dendam, itu berarti kita telah membuktikan kemampuan kita mengendalikan diri sendiri.

Adakah yang lebih mulia daripada mengontrol hawa nafsu kita? Sekaligus dengan itu kita menunjukkan kepada dunia, bagaimana kita memaksimalkan kekuatan yang kita miliki.

Bukan untuk melestarikan permusuhan, tapi mendatangkan perdamaian. Bukan untuk melukai, tapi menyembuhkan, simpul Partogi.

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *