Pak Anies! Dugaan Kerugian Pemprov DKI di Proyek Rehab Berat Sekolah 2017 Sudah Rp 21 Milliar


PEMERIKSAAN Inspektorat DKI Jakarta terkait kasus dugaan korupsi proyek rehab berat 119 sekolah 2017 terus bergulir. 

Inspektorat DKI Jakarta kini tengah terus menghitung nilai kerugian Pemprov DKI Jakarta di proyek rehab berat 119 sekolah tahun 2017.

Berdasarkan informasi yang diterima Warta Kota, hitungan Inspektorat DKI Jakarta, Pemprov DKI sudah merugi sebesar Rp 21 milliar dalam proyek rehab berat 119 sekolah 2017.

 

Kerugian Rp 21 milliar itu baru hitungan denda per mil yang seharusnya dibayarkan pihak kontraktor kepada Pemprov DKI Jakarta.

Diketahui bahwa PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI) sebagai kontraktor proyek rehab berat 119 sekolah hanya dihitung denda sampai dengan tanggal 31 Desember 2017.

Padahal diketahui di sejumlah lokasi sekolah banyak pekerjaan yang baru selesai pada Februari 2018.

 

Menurut sumber informasi Warta Kota, hal itulah yang membuat Inspektorat DKI Jakarta menilai denda per mil seharusnya dibayarkan sebesar Rp 21 milliar.

“Itu baru dari denda per mil saja ya, belum dari yang lain-lainnya,” kata sumber Warta Kota.

Inspektur DKI Jakarta, Michael Rolandi, masih terus dicoba untuk dikonfirmasi Warta Kota terkait informasi kerugian Pemprov DKI di proyek rehab berat 119 sekolah yang sudah mencapai Rp 21 milliar itu.

Sementara itu, pejabat pembuat komitmen perencanaan dan pengawasan proyek rehab berat 119 sekolah, Ida Subaedah, mengakui tak tahu mengenai hitungan tersebut.

“Saya belum tau mas. Minggu lalu saya dipanggil juga tapi belum tau hal itu,” kata Ida ketika dihubungi Warta Kota, Kamis (18/10/2018).

Direktur PT MKI, John Sahat Munte, juga masih dicoba diminta klarifikasinya terkait hal ini. Pesan singkat via whatsapp Warta Kota kepada John belum dibalas.

Polisi Periksa Fisik Bangunan

Dalam kasus dugaan korupsi di proyek rehab berat 119 sekolah di Jakarta, tak hanya inspektorat DKI saja yang memeriksa, tetapi Subdit Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya juga tengah melakukan penyelidikan.

Bahkan awal pekan ini polisi dijadwalkan mengecek fisik bangunan 119 sekolah hasil rehab berat di Jakarta yang pelaksanaannya diduga korupsi.

Kepastian penyidik dari Polda Metro Jaya bakal mengecek 119 sekolah itu terlihat dalam surat nomor B/7767/IX/RES.3.3.2018/Dit Reskrimsus dengan perihal permintaan pendampingan kepada Kepala Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Surat itu berisi permintaan bantuan agar Kadisdik DKI menunjuk beberapa stafnya untuk mendampingi penyelidik Subdit V Korupsi Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya dan tim ahli konstruksi dalam pemeriksaan material, spesifikasi teknis, dan bobot pekerjaan sesuai di lokasi pekerjaan.

Pengecekan 119 sekolah itu akan dilakukan pada Senin (15/10/2018) dimulai pukul 09.00.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono, mengatakan kasus itu kini masih dalam tahap penyelidikan.

“Itu masih penyelidikan,” ujar Argo ketika dihubungi Warta Kota, Rabu (10/10/2018).

Rehab berat sekolah di Jakarta yang diduga korupsi dikerjakan oleh PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI).

Inilah 10 fakta mengapa proyek rehab berat sekolah 2017 patut diduga korupsi :

1. Barang yang dipasang tak sesuai kontrak

Dalam proyek Rehab berat 119 sekolah tahun 2017 terdapat fakta barang yang dipasang tak sesuai dengan rencana anggaran biaya (RAB) di dokumen kontrak.

Salah satu yang paling berbahaya adalah dugaan keramik yang dipakai adalah keramik KW 2.

Padahal Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) perencanaan dan pengawasan, Ida Subaedah, menyebut dalam dokumen kontrak ditentukan seharusnya yang digunakan adalah keramik KW 1.

Dari hasil penelusuran Warta Kota, diketahui di beberapa sekolah ditemukan penggunaan keramik KW 2.

Antara lain di SDN Pinangsia 01/02, SMPN 225 Jakarta, SDN Duri Utara 05/06, dan SDN Rawa Buaya 09/10.

Di SDN Pinangsia 01/02 Jakarta Barat, pemborong pemasangan keramik, Alex, menduga keramik yang dipasangnya adalah KW 2.

Alex mengaku harus memasang nat berukuran 5 mm untuk men

“Setahu saya sih itu bukan KW 1. Sekitar KW 2 atau 3,” kata Alex ketika dihubungi Warta Kota, beberapa waktu lalu.

Alex menduga itu karena nat yang dipasang tak bisa seragam.

Alex menjelaskan salah satu ciri bahwa yang dipasang adalah keramik KW 2 adalah kesulitan menyeragamkan nat.

Perbesaran ukuran nat dilakukan agar hasilnya tak jadi berantakan. Atau tiap nat dapat saling bertemu.

Akibat pelebaran ukuran nat, kata Alex, nat-nya pun jadi memiliki ukuran berbeda-beda. Ada ukuran nat 2 mm, 3 mm, dan 5 mm.

“Kalau keramik KW 1 itu nat-nat’nya sama ukurannya. Kalau keramik begitu (KW 2), kalau nggak digedein nat-nya nggak ketemu,” ucap Alex.

Sementara di SMPN 225 Jakarta, diduga juga menggunakan keramik 40×40 merek mulia KW 2.

Salah satu ciri keramik yang dipasang di SMPN 225 Jakarta diduga KW 2 karena nat tak tersambung.

Berdasarkan keterangan pemilik toko bangunan berpengalaman yang enggan namanya dikorankan, keramik yang dipasang disana juga diduga KW 2.

Hal itu dilihat dari analisa terhadap foto dimana ditemukan bagian yang rusak seperti bergerigi.

Kemudian ditemukannya nat yang tak membentuk siku, dan ada pula nat yang sama sekali tak menyambung.

Hal serupa ditemukan pula di SDN Rawa Buaya 09/10, bahkan tim inspektorat mencurigai keramik di SDN Duri Utara 05/06 juga KW 2.

Penyebabnya keramik berubah jadi banyak noda hitam dan baret dalam waktu kurang dari 6 bulan.

Pemasangan keramik KW 2 menunjukkan dugaan terjadinya mark up. Sebab harga satuan pekerjaan (HSP)pemasangan keramik di RAB cenderung tinggi.

Di SDN Duri Utara, HSP pemasangan keramik Rp 247.960 per meter persegi dengan volume pemasangan 1.960 meter persegi. Total dana untuk pemasangan keramik saja Rp 249,9 juta.

HSP yang sama juga diterapkan di SMPN 225, SDN Pinangsia 01/02, dan SDN Rawa Buaya 09/10. Bahkan disebut sama juga dengan sekolah di wilayah lainnya.

Liputan Warta Kota hanya berupa sampel di sekolah-sekolah di wilayah 1 Sudin Pendidikan Jakarta Barat.

Sehingga di wilayah lain tak diketahui apakah memang dipasang keramik KW 2 atau tidak.

Direktur PT Murni Konstruksi Indonesia, John Sahat Monte, membantah bahwa pihaknya memasang keramik KW 2.

Bahkan John yakin yang digunakannya adalah keramik KW 1.

Jon mengatakan keramik yang dipasang di sekolah-sekolah adalah keramik yang dipesan langsung dari produsen keramiknya.

“Kami punya bukti pemesanannya itu,” kata Jon ketika mengonfirmasi hal tersebut kepada Warta Kota, Senin (28/5/2018).

Menurut Jon, apabila nanti dugaan itu terbukti memang keramik KW 2 yang dipasang, maka pihaknya akan meminta pertanggungjawaban produsen keramik tersebut.

2. Ada barang yang tak dipasang padahal terdapat di kontrak

Tak terpasangnya barang yang sebenarnya terdapat dalam RAB dokumen kontrak juga jadi fakta yang tak terelakkan.

Berdasarkan hasil penelusuran Warta Kota, beberapa barang yang banyak ditemukan tak terpasang adalah pekerjaan di bagian atap.

Antara lain pekerjaan pemasangan genteng keramik tepi, dan jurai seng.

Dalam RAB di SDN Pinangsia 01/02, SDN Semanan 03/02, SMPN 225 Jakarta, SDN Duri Utara, dan SDN Rawa Buaya 09/10, seluruhnya tercatat terdapat pekerjaan pemasangan genteng keramik.

Tapi di 5 sekolah itu sama sekali tak terlihat terdapat pemasangan genteng tepi keramik.

Dalam RAB SMPN 225 Jakarta total harga pemasangan genteng tepi keramik Rp 13,9 juta.

Di RAB SDN Pinangsia 01/02, total harga pemasangan genteng tepi keramik mencapai Rp 6,9 juta.

Begitu juga di RAB SDN Duri Utara 05/06, total harga pemasangan genteng tepi keramik mencapai Rp 6,9 juta.

Tapi fakta di lapangan sama sekali tak terdapat pemasangan genteng tepi keramik di 5 sekolah tersebut.

Di tiap sekolah tim inspektorat sampai mengelilingi sekolah untuk memastikan hal tersebut. Tapi tetap tak ditemukan pemasangan genteng tepi keramik.

Begitu juga untuk pemasangan jurai seng, di beberapa sekolah tak terdapat pemasangan jurai seng. Tapi RAB dalam dokumen kontrak mencantumkan barang tersebut.

Hal itu terjadi di SDN Duri Utara 05/06, dimana terdapat pekerjaan pemasangan jurai seng dalam RAB dengan total harga Rp 3,3 juta. Tapi faktanya tak ditemukan pemasangan jurai seng di lapangan.

Liputan Warta Kota hanya berkisar di wilayah 1 Sudin Pendidikan Jakarta Barat.

Padahal total terdapat 119 yang direhab berat PT MKI.

Artinya hal serupa masih amat mungkin terjadi di sekolah-sekolah di wilayah lainnya.

3. Dugaan mark up di beberapa pekerjaan

Dugaan mark up paling terang benderang terdapat di pekerjaan pembuatan kantor sementara (bedeng pekerja).

Pembuatan bedeng pekerja di proyek Rehab berat sekolah 2017 memiliki total harga fantastis.

Diperkirakan pembuatan bedeng pekerja di 119 lokasi sekolah yang direhab berat mencapai total dana Rp 2,4 milliar.

Padahal bedeng yang dibuat itu hanya berupa bangunan semi permanen seluas 12 meter persegi dengan tinggi 2,5 meter.

Dindingnya berbahan triplek, kayu kaso sebagai tiang dan reng (dudukan atap), seng sebagai atap, serta lantainya berupa plesteran. Sama sekali tak mewah. Butut.

Berdasarkan RAB (anggaran) di dokumen kontrak untuk 3 sekolah, di masing-masing lokasi anggaran pekerjaan pembuatan kantor sementara dengan lantai plesteran (bedeng pekerja) dengan total harga Rp 21,3 juta.

Hal itu terdapat di anggaran SDN Pinangsia 01/02, SDN Duri Utara 05/06, dan SMPN 225 Jakarta.

Angka Rp 21,3 juta didapat dari harga satuan pekerjaan (HSP) Rp 1,7 juta per meter persegi untuk volume bedeng 12 meter persegi.

Artinya apabila seluruh RAB di 119 sekolah mengakomodasikan pembuatan bedeng pekerja, total dana yang dikeluarkan untuk pembuatan bedeng saja mencapai Rp 2,4 milliar.

Sekarang mari kita hitung kewajaran anggaran ini sesuai harga pasaran.

Di 3 lokasi sekolah itu seluruh bedeng kini telah dirobohkan. Yang masih tersisa hanya bekas lantai plesteran.

Sisa bahan triplek, kayu kaso, dan seng hanya tersisa di SDN Pinangsia 01/02.

Di SDN Duri Utara 05/06, dan SMPN 225 Jakarta, bahan-bahan itu tak ditemukan lagi.

“Saya memang sengaja simpan triplek, kayu kaso, dan sengnya. Siapa tahu butuh sekali waktu,” kata Udin, penjaga sekolah di SDN Pinangsia 01/02 kepada Warta Kota, Selasa (22/5/2018).

Udin menumpuk seluruh bahan itu di bagian belakang sekolah. Triplek dan seng sisanya pun kelihatan sudah butut.

Dari bahan-bahan itulah Warta Kota mencoba menghitung ongkos pembuatan bedeng pekerja.

Triplek yang digunakan berukuran 6 mm. Di pasaran harganya Rp 60.000 per lembar.

Kayu kaso yang digunakan memiliki harga Rp 50.000 per batang.

Dan seng yang dipakai hitunglah memiliki kualitas seng galvalum dengan ketebalan 0,5 mm. Harganya di pasaran Rp 110.000 per meter.

Spesifikasi seng hanya perkiraan dan tak sama dengan bahan yang ditemukan Warta Kota di lapangan.

Hal Dipilih agar sedikit mempertinggi harga untuk menakar kewajaran.

Seorang pemilik toko bangunan yang juga memiliki perusahaan konstruksi, Thofandi (31), membantu perhitungannya.

“Saya kalau ada proyek paling anggarkan bedeng pekerja itu di angka Rp 6 juta sampai Rp 10 juta saja. Itu juga sudah dapat untung,” kata Thofandi.

Untuk bedeng ukuran 12 meter persegi, kata Thofandi, dibutuhkan paling tidak 24 lembar triplek 6 mm, 30 batang kayu kaso ukuran 4 meter, dan atap seng 25 meter persegi.

Total harga 25 meter persegi atap seng Rp 2,75 juta. 24 lembar triplek Rp 1,44 juta, 30 batang kayu kaso Rp 1,5 juta.

Lalu ditambah plesteran untuk lantai sepanjang 4 meter, lebar 3 meter, dan tebal 2 centimeter (berdasarkan hasil pengukuran Warta Kota di 3 sekolah tadi), Thofandi memperkirakan hanya butuh Rp 600.000 untuk itu.

Sehingga total harga bahan paling tidak hanya butuh Rp 6,29 juta saja.

Hitung ditambah harga tukang, maka harga wajarnya hanya di angka Rp 10 juta. Itupun harga tukang sudah di atas harga wajar.

Tapi kontraktor Rehab berat sekolah menaruh harga bedeng dengan kualitas seperti itu sampai di harga Rp 21,3 juta per bedeng di tiap sekolah. Entah bagaimana cara mereka menghitung harga.

Artinya kurang lebih dari 1 bedeng saja kontraktor Rehab berat bisa mendapat untung Rp 11 juta.

Hitung total pekerjaan di 119 sekolah, maka dari bedeng pekerja saja kontraktor diperkirakan untung Rp 1,221 milliar.

Direktur PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI), Jon Sahat Monte, mengatakan pihaknya melakukan itu karena tak mungkin seluruh pekerjanya tinggal di dalam bedeng itu.

“Ada juga yang kami bayari kostnya,” kata Jon kepada Warta Kota ketika dikonfirmasi terkait bedeng berbahan triplek ini, Senin (28/5/2018).

Menurut Jon, tak mungkin biaya kos para tukangnya dimasukkan ke dalam anggaran. “Kan tak mungkin kalau kita masukkan biaya kos pekerja ke anggaran,” ujar Jon.

Tapi klaim Jon sudah menyewakan rumah kos dibantah tukang dan kepala sekolah.

Mandor yang mengerjakan pemasangan keramik di SDN Pinangsia 01/02 Jakarta Barat, Alex, mengakui anak buahnya tidur di sekolah.

“Nggak kok (tidak diberi fasilitas tinggal di kos). Pekerja tinggal di sekolahan selama 2 bulan pasang keramik,” kata Alex ketika dihubungi Warta Kota, Selasa (29/5/2018).

Kepala SDN Semanan 03/02, Nurdin, mengungkapkan hal serupa.

Menurut Nurdin, seluruh tukang tinggal di sekolah selama proyek berlangsung.

“Nggak ada yang dikasih kost ah,” ujar Nurdin.

4. Beberapa volume pekerjaan tak sesuai kontrak

Volume pekerjaan yang tak sesuai kontrak ini ditemukan tim inspektorat di beberapa sekolah.

Salah satunya ditemukan oleh tim inspektorat di SDN Duri Utara 05/06 dan SMPN 225 Jakarta.

Auditor yang memerika di SDN Duri Utara, Tony, mengatakan dari hitungan pihaknya di beberapa pekerjaan rehab berat di SDN Duri Utara 05/06 banyak ditemukan ketidaksesuaian antara hasil dan apa yang tertulis di dokumen kontrak.

Seperti pekerjaan pemasangan jalusi holo alluminium 3×3/4 untuk jendela tipe 2 daun jendela, hasil hitungan tim inspektorat pemasangan jalusi hanya sepanjang 490 meter.

Padahal di RAB sesuai dokumen kontrak yang dibuat kontraktor, ditulis bahwa jalus yang dipasang adalah sepanjang 550 meter.

Artinya yang terpasang 60 meter lebih sedikit ketimbang apa yang ditulis dalam anggaran di dokumen kontrak.

Begitu juga di pekerjaan pemasangan jalusi holo alumunium 3×3/4 untuk tipe 3 daun jendela, hasil hitungan tim inspektorat total panjang yang dipasang hanya 55 meter.

Tapi di anggaran sesuai dokumen kontrak, justru ditulis yang dipasang adalah sepanjang 64 meter.

Atau terdapat selisih 9 meter lebih sedikit antara yang terpasang dengan yang tertera di dokumen kontrak.

Lalu di pekerjaan pemasangan jalusi holo alumunium 3×3/4 untuk tipe 4 daun jendela, dari hasil hitungan tim inspektorat hanya terhitung 171 meter larik yang benar-benar dipasang.

Padahal di dokumen kontrak ditulis yang dipasang adalah 194 meter. Atau yang terpasang 23 meter lebih pendek ketimbang yang tertulis di RAB dalam kontrak.

Sedangkan di pekerjaan pemasangan rolling door alumunium, tim inspektorat di SDN Duri Utara 03/04/05/06, menemukan 3 kejanggalan sekaligus.

Pertama, pekerjaan pemasangan rolling door alumunium dihitung 45 meter persegi. Harga satuan Rp 1,6 juta per meter persegi, dan totalnya adalah Rp 72 juta (Hitungan ini sudah berikut bahan, alat, dan tenaga kerja).

Tapi hitungan tim inspektorat, kata Tony, total rolling door yang dipasang tak sampai 45 meter persegi, tetapi hanya 43,46 meter persegi.

“Sudah saya ukur itu,” ujar Tony kepada Warta Kota, siang tadi.

Lalu pekerjaan plesteran di pemasangan rolling door di dokumen kontrak dihitung 49 meter larik dengan total harga Rp 4,050 juta.

Tapi berdasarkan hitungan Tony, pekerjaan plesteran hanya 9,6 meter larik.

Begitu juga pekerjaan Acian yang di RAB dokumen kontrak ditulis 49,28 meter dengan total harga Rp 2,4 juta, ternyata kenyataannya hanya 9,6 meter persegi.

Lalu pekerjaan pemasangan batu merah untuk rolling door yang di RAB dokumen kontrak ditulis dipasang 24,64 meter persegi dengan total harga Rp 3,4 juta, ternyata kenyataannya hanya dipasang 5,76 meter persegi.

Di SMPN 225 Jakarta, selisih volume juga terjadi di pekerjaan pemasangan keramik dinding 20×25 cm.

Di RAB dokumen kontrak tertulis volume pemasangan keramik dinding adalah 248,64 meter persegi.

Harga satuan pekerjaannya adalah Rp 236.214 per meter persegi atau total harganya adalah Rp 58,7 juta.

Sedangkan hasil hitungan inspektorat, volume sebenarnya yang terpasang hanya 189 meter persegi. Artinya hanya Rp 44 juta saja. Atau terjadi selisih Rp 14 juta.

5. Terjadi Justifikasi dan Adendum, tapi RAB tak diubah

Rencana anggaran biaya (RAB) dalam dokumen kontrak proyek Rehab berat 119 sekolah menunjukkan terjadi perbedaan dengan hasil pekerjaan di lapangan.

Salah satunya adalah pekerjaan pemasangan gording kanal C di pekerjaan atap.

Dalam RAB disebut terdapat pekerjaan pemasangan baut gording kanal C, tetapi fakta di beberapa sekolah menunjukkan tak ada pemasangan baut.

Pemasangan gording kanal C dipasang dengan metode pengelasan.

Perwakilan PT Murni Konstruksi Indonesia, Vanda, mengonfirmasi terkait perubahan metode pemasangan baut menjadi pengelasan.

Menurut Vanda, perubahan metode itu sudah disepakati pengawas, PT Bina Karya dan pejabat pembuat komitmen (PPK).

“Itu ada justifikasi teknisnya,” kata Vanda ketika dihubungi Warta Kota, Minggu (20/5/2018).

Dalam justifikasi teknis itu disebutkan telah disepakati sambungan baja dapat menggunakan sambungan las selain menggunakan sambungan baut dengan alasan mempercepat pengerjaan.

Tapi ketika ditanya mengapa ongkos jasa pemasangan baut tak dihilangkan dari RAB, Vanda menjawab sederhana.

“Itu belum diganti ketikannya. Ini 119 lokasi (sekolah) dan buat dokumen termin 4×119 lokasi,” ucap Vanda

Vanda menyebut pihaknya juga memiliki adendum terkait hal itu dan akan diserahkan ke inspektorat.

“Biarkan inspektorat jalankan fungsinya.Nanti ada administrasi kroscek. Kan tugasnya inspektorat,” ujar Vanda.

Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad, mengatakan alasan RAB tak diganti usai ada justifikasi sangat konyol.

“Nggak masuk akal itu alasannya. Giliran bayar jalan terus, giliran kerja direvisi,” ucap Jihad.

Bahkan kata Jihad, ada justifikasi tanpa penggantian RAB justru menunjukkan makin jelasnya kerugian negara.

“Pembayaran itu kan sesuai RAB. Sekarang metode pemasangan diubah dari pakai baut jadi las, tapi kemudian yang anggaran pemasangan bautnya tak dihapus. Ini kan anggaran fiktif jadinya,” kata Jihad ketika dihubungi Warta Kota, Minggu (20/5/2018).

Jihad mengatakan, tindak lanjut dari justifikasi itu jelas-jelas harus dilanjutkan dengan adendum kontrak termasuk RABnya.

“Ini bagaimana yang begini saja bisa terlewat. Ini kan urusan sederhana,” kata Jihad.

Jihad mengatakan boleh saja PT MKI beralasan seperti itu terkait pekerjaan pemasangan baut.

Tapi, kata Jihad, masih ada sederet pekerjaan lain yang jadi pertanyaan.

Menurut Jihad, justifikasi yang tak dilanjutkan dengan perubahan RAB justru menunjukkan makin ngawurnya manajemen proyek tersebut.

6. Penilaian bobot kerja sampai waktu pembayaran dipertanyakan

PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI) mendapat pembayaran 100 persen pada 20 Desember 2017, atau sesuai batas akhir kontrak.

PPHP Sudin Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat, Eyo, mengaku konsultan manajemen konstruksi (MK) memberi bobot pekerjaan 86 persen sampai dengan 20 Desember 2017.

Artinya dapat dilakukan pencairan 100 persen. Tapi PT MKI hanya menerima pembayaran sesuai bobot dulu.

Seharusnya di Sudin Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat PT MKI mendapat Rp 11,5 milliar.

Tapi karena bobot pekerjaan dinilai hanya 86 persen sampai masa akhir kontrak, maka PT MKI hanya menerima Rp 9,8 milliar.

Sisanya Rp 1,4 milliar dicairkan tetapi diblok oleh bank sebagai jaminan pembayaran, dan dilepas kembali ke PT MKI usai berita acara serah terima pekerjaan (BAST).

Tapi berdasarkan fakta di lapangan, di Sudin Pendidikan Wilayah 1 Jakarta Barat, sampai tanggal 20 Desember 2017, beberapa sekolah belum rampung.

Dari 7 sekolah yang direhab berat, 3 sekolah belum rampung.

Mantan Kepala SDN Pinangsia 01/02, Sutarta, mengatakan pekerjaan atap baru rampung di akhir Januari 2018.

Kepala SDN Semanan 03/02, Nurdin, mengatakan pekerjaan PT MKI di sekolahnya baru rampung atap dan keramik sampai 20 Desember 2017.

Sisa pekerjaan lainnya seperti pemasangan kusen alumunium, pintu, jalusi, serta pengecatan baru rampung pada pertengahan Januari 2018.

Sedangkan di SDN Bukit Duri 05/06, diketahui PT MKI baru menyelesaikan pekerjaan pemasangan keramik sampai dengan 20 Desember 2018.

“Kalau pekerjaan atap itu sampai tahun baru saja belum selesai kok,” kata penjaga sekolah tersebut.

Ketua Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I),Tom Pasaribu, mengatakan hal itu menunjukkan pemberian bobot pekerjaan 86 persen kepada PT MKI sampai 20 Desember 2017 kurang bisa dipercaya.

“Ini baru satu wilayah saja nih. Gimana di wilayah lainnya,” kata Tom.

7. Pengenaan denda tak sesuai Pergub

Fakta ini juga tercium sempurna di proyek Rehab berat 119 sekolah 2017.

Jadi sempurna karena seluruh pihak mengakuinya secara terang-terangan.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan PT Murni Konstruksi Indonesia (kontraktor pelaksana) mengakui denda keterlambatan hanya dikenakan sampai 31 Desember 2017.

Kasudin Pendidikan wilayah I Jakarta Barat, Tajudin Nur, mengakui hal itu.

“Iya, denda sampai 31 Desember 2017,” kata Tajudin ketika dihubungi Warta Kota, Kamis (31/5/2018).

Kasudin Pendidikan wilayah II Jakarta Barat, Ida Subaedah, juga tak menampik denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan PT MKI di proyek Rehab berat sekolah 2017 hanya dihitung sampai 31 Desember 2017.

Direktur PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI), Jon Sahat Monte, juga mengakui hal serupa.

“31 Desember lah,” kata Jon ketika ditanya Warta Kota apakah denda dihitung sampai 31 Desember 2017, atau 31 Januari 2018, Kamis (31/5/2018).

Bahkan Jon mengakui uang pembayaran sudah dicairkan sejak 20 Desember 2017.

Padahal faktanya PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI) masih mengerjakan bagian pekerjaan pokok proyek rehab berat sekolah sampai akhir Januari 2018, bahkan ada sekolah yang baru rampung di awal Februari 2018.

Beberapa guru di sekolah, seperti SDN Pinangsia 01/02, mengaku pemasangan atap masih berjalan sampai akhir Januari 2018.

Berdasarkan penelusuran Warta Kota, hal ini menyalahi aturan dalam Perpres Nomor 4 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Tepatnya melanggar pasal 93 angka 2 poin c. Bunyi pasal itu adalah :

“Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan karena kesalahan penyedia barang/jasa, penyedia barang/jasa membayar denda keterlambatan”

Bahkan melanggar juga ketentuan dalam Pergub DKI nomor 189 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah, Penyelesaian Pekerjaan serta Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran 2017 (Pergub 189/2017)

Pasal-pasal yang dilanggar berada di Bab V Pergub 189/2017 tentang Penyelesaian Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan Sampai Dengan Akhir Tahun Anggaran 2017.

Pasal yang dilanggar antara lain pasal 22 ayat 1 huruf b yang saling terhubung dengan Pasal 22 ayat 2 huruf C dan D yang demikian bunyinya :

Pasal 22 ayat 1 huruf b :

Penyelesaian sisa pekerjaan yang dapat dilanjutkan ke Tahun Anggaran 2018 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

B) penyedia barang/jasa sanggup untuk menyelesaikan sisa pekerjaan paling lambat 50 (lima puluh) hari kalender sejak berakhirnya masa pelaksanaan pekerjaan yang dinyatakan dengan surat pernyataan kesanggupan yang ditandatangani di atas kertas bermeterai; dan

Pasal 22 ayat 2 huruf C dan D :

Surat pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b paling sedikit memuat :

C) Pernyataan bahwa penyedia barang/jasa bersedia dikenakan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan;

D) pernyataan bahwa penyedia barang/jasa tidak menuntut denda/bunga apabila terdapat keterlambatan pembayaran atas penyelesaian sisa pekerjaan yang diakibatkan oleh keterlambatan penyelesaian penganggaran APBD.

Pasal lainnya yang dilanggar, yakni Pasal 29 ayat 1 sampai 3 yang masing-masing ayatnya berbunyi demikian :

(1) Penyedia barang/jasa harus menyelesaikan sisa pekerjaan di Tahun Anggaran 2018 sesuai waktu penyelesaian pekerjaan yang tercanturn dalam surat pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).

(2) Terhadap penyelesaian sisa pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyedia barang/jasa dikenakan denda
keterlambatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pernerintah.

(3) Dalam hal sampai dengan berakhirnya waktu penyelesaian pekerjaan yang tercantum dalam surat pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), pekerjaan belum dapat diselesaikan, Pejabat Pembuat Komitmen melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

a. memutus kontrak dan menghentikan pelaksanaan pekerjaan; dan

b. mengenakan denda maksimum keterlambatan penyelesaian pekerjaan dan/atau sanksi kepada penyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.

Ketua Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I), Tom Pasaribu, mengatakan seluruh ketentuan ini menunjukkan cara pengenaan denda terhadap PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI) cenderung cacat hukum.

“Anak belum lulus SMA juga tahu kalau baca aturan itu bahwa pemberian waktu menyelesaikan pekerjaan sama sekali tak menghapus denda,” kata Tom ketika dihubungi Warta Kota, Jumat (1/6/2018).

Tapi yang terjadi, kata Tom, uang pembayaran dicairkan 100 persen dengan dipotong jaminan pembayaran sesuai persentase bobot pekerjaan yang belum diselesaikan sejak 20 Desember 2017, atau sesuai masa berakhirnya kontrak.

Namun, kata Tom, kemudian pejabat pembuat komitmen (PPK) hanya mengenakan denda sampai 31 Desember 2017.

“Ini kan aneh. Kalau denda tak mau dihitung, ya putuskan kontrak dan blacklist dong di 31 Desember 2017 itu. Ini kontrak nggak diputus, nggak didenda juga. Apa-apaan kayak gini,” ujar Tom.

Berdasarkan hitungan Warta Kota, PT MKI hanya dikenakan denda Rp 1,9 milliar dari total nilai kontrak Rp 180 milliar.

Sementara apabila dihitung denda mulai dari 20 Desember 2017 sampai 31 Januari 2018, maka seharusnya PT MKI membayar denda Rp 7,5 milliar.

Apabila dihitung sampai 31 Mei 2018 dimana PT MKI ketahuan masih mengerjakan pekerjaan pokok berupa pemasangan lisplank GRC double di SDN Pinangsia 01/02, maka seharusnya PT MKI membayar denda Rp 27 milliar.

“Sudahlah, patut diduga kuat ada yang aneh di proyek Rehab berat sekolah. Kalau inspektoratnya mau Jakarta bener, bawa ini ke ranah pidana korupsi. Dugaan kerugian negaranya sudah telak kok ini,” ujar Tom.

Menurut Tom, satu-satunya yang harus dibuktikan penegak hukum tinggal apakah ada kesengajaan atau perencanaan dari PPK, kontraktor, maupun pengawas.

“Kalau penegak hukum mampu membukktikan itu, ya ini harus dilanjutkan di ranah dugaan tindak pidana korupsi. Harus sampai meja hijau,” ujar Tom.

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Agus Prabowo, menyampaikan dugaannya terkait kasus Rehab berat sekolah 2017 di Jakarta.

“Dugaan saya, issuenya adalah kepepet akhir tahun anggaran, lalu kedua pihak (PPK dan Kontraktor) ambil resiko. Pura-puranya pekerjaan sudah selesai 100% (padahal belum), di lain pihak anggaran harus selesai dibelanjakan sebelum 31 Des 2017.

Akhirnya dilunasi, tapi sisa pekerjaan harus diselesaikan kemudian.Itu dugaan saya, berdasarkan banyak pengalaman, ini perlu cross-check ke PPK maupun Kontraktor,” ujar Prabowo ketika dihubungi Warta Kota, beberapa hari lalu.

Prabowo mengatakan secara hukum itu salah, tapi situasi lapangan sering “mengharuskan” begitu.

“Jadi judgement-nya ada di tangan auditor (Inspektorat atau BPK),” ujar Prabowo.

Menurut Prabowo, ini merupakan contoh buruk. “Ini contoh buruk memang,” tegas Prabowo.

8. Kembali memasang pekerjaan pokok di Masa Pemeliharaan

Hal cukup mengejutkan lainnya dalam proyek Rehab berat adalah dikerjakannya kembali pekerjaan pokok di masa pemeliharaan.

Semestinya tak ada lagi pekerjaan pokok setelah berita acara serah teriman (BAST).

Seharusnya PT MKI diblacklist dan dikenakan denda apabila diketahui masih mengerjakan pekerjaan pokok di masa pemeliharaan

PT MKI diketahui masih mengerjakan pekerjaan pokok sampai Rabu (30/5/2018). Atau 4 bulan usai BAST pada Januari 2018.

Padahal kontrak PT MKI sudah habis sejak 20 Desember 2017, dan uang pekerjaan telah dibayarkan Pemprov DKI, serta BAST sudah dilakukan pada Januari 2018.

Pantauan Warta Kota, pekerjaan pokok yang masih dikerjakan PT MKI adalah pemasangan lisplank GRC double di SDN Pinangsia 01/02.

Padahal terkait lisplank sudah menjadi temuan tim inspektorat saat memeriksa hasil pekerjaan di SDN Pinangsia 01/02 pada 17 Mei 2018.

Ketika itu tim inspektorat menemukan bahwa PT MKI hanya memasang lisplank single sampai tanggal 17 Mei 2018.

Tapi hari ini, Rabu (30/5/2018), PT MKI mengganti lisplank single dengan lisplank double sesuai dengan yang tertera di dokumen kontrak.

“Kalau pekerjaan pokok masih dikerjakan sampai hari ini ya harus hitung denda dong. Ini harus jadi perhatian Gubernur Anies. Kalau pekerjaan pemeliharaan tak apa-apa. Kalo pekerjaan pokok ya hitung denda lah,” kata Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad.

Menurut Jihad, jadi aneh karena pekerjaan pokok kembali dikerjakan di masa pemeliharaan, dan tengah ada pemeriksaan dari inspektorat.

Apalagi diketahui juga barang pekerjaan pokok yang dipasang itu sudah jadi temuan inspektorat.

Semestinya, kata Jihad, inspektorat turun memeriksa dulu, mencocokkan antara hasil pekerjaan dengan ‘As Build Drawing’, lalu menghitung kelebihan bayar dan meminta pengembalian ke PT MKI.

Tapi, kata Jihad, yang terjadi kini membuat sulit mempercayai hitungan inspektorat soal kelebihan bayar PT MKI.

“Gimana mau percaya, lagi di tengah pemeriksaan ini begini bisa ada barang yang jadi pekerjaan pokok dan sudah jadi temuan inspektorat diganti dengan yang sesuai dengan kontrak,” ucap Jihad.

Makanya, kata Jihad, kini agar jadi jelas sebaiknya inspektorat tak perlu lagi hitung kelebihan bayar.

“Kalau sudah ketahuan ada temuan inspektorat yang disesuaikan dengan kontrak, ya sekarang Pemprov DKI tagih saja dendanya ke PT MKI, dan seluruh pekerjaan yang tak sesuai kontrak kerjakan ulang dan pasang semua sesuai kontrak,” ujar Jihad.

Perhitungan denda mesti ditagih seusai pasal Pasal 120 Perpres 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Isi pasal itu adalah ‘Selain perbutan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118 ayat 1, penyedia barang/jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan penyedia barang/jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu per seribu) dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan’.

“Hitungan ini kan lebih mudah dan simpel,” kata Jihad.

Apabila dihitung sampai hari ini, yakni 1/1000 X Rp 180 milliar (nilai total kontrak) X 150 hari keterlambatan (dihitung dari 1 Januari 2018 sampai 30 Mei 2018), maka PT MKI harus membayar denda Rp 27 milliar.

“Ya tagih saja sudah Rp 27 milliar ke PT MKI. Ini sudah jelas kok ada pekerjaan pokok yang masih dikerjakan sampai hari ini,” kata Jihad.

Inspektur Pemprov DKI Jakarta, Zainal, mengaku belum mengetahui hal tersebut. “Nanti saya cek dulu pak, lagi diluar,” kata Zainal ketika dikonfirmasi Warta Kota, Rabu (30/5/2018).

Zainal juga menyebut hal itu ada aturannya, tapi tak menjelaskan lebih lanjut.

9. Diduga kuat terdapat kerugian negara

Kerugian negara dalam Rehab berat 119 sekolah juga amat terlihat.

Kerugian negara bisa dihitung dari masalah volume pekerjaan riil yang lebih kecil dari yang tertera di RAB, lalu barang yang tak dipasang padahal dianggarkan dalam kontrak, serta pengenaan denda yang hanya sampai 31 Desember 2017.

10. Mirip dengan kasus korupsi Rehab berat SMPN 187 Jakarta

Ketua Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I),Tom Pasaribu, mengatakan Ke-8 fakta yang di proyek Rehab berat sekolah 2017 itu sudah amat cukup bagi polisi yang tengah menyelidiki kasus ini menunjuk tersangka.

“Sudah bisa itu dinaikkan status kasusnya ke penyidikan. Bahkan tunjuk tersangka juga sudah bisa kok,” kata Tom.

Hal itu lantaran kasus seperti proyek Rehab berat 119 sekolah sudah pernah terjadi sebelumnya di Jakarta.

“Dan kasus sebelumnya itu bisa kok sampai ada tersangkanya. Kondisinya amat mirip ini,” ujar Tom.

Kasus yang dimaksud Tom adalah kasus korupsi Rehab berat SMPN 187 Jakarta.

Kasus itu menyeret Direktur PT Mitra Abadi Sukses, Rista Ester Martini, dan mantan Kasudin Pendidikan Jakarta Barat, almarhumah Delly Indirayanti menjadi tersangka.

Bahkan kasusnya sudah divonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan kedua terdakwanya sudah menjalani hukuman penjara.

Dalam putusan hakim bernomor 115/Pid.Sus/TPK/2015/PN.Jkt.Pst setebal 322 halaman, banyak kemiripan antara Rehab berat SMPN 187 Jakarta pada tahun 2012 lalu dengan Rehab berat 119 sekolah tahun 2017.

Kemiripannya sama-sama ditemukan volume pekerjaan yang tak sesuai kontrak, pengenaan denda yang tak sesuai aturan, serta penilaian bobot pekerjaan yang janggal.

Lalu dalam putusan itu juga tak kelihatan penyidik polisi menemukan bukti suap menyuap, tapi tetap dapat menetapkan tersangka, dan divonis bersalah oleh hakim.

Dalam vonis hakim,Direktur PT Mitra Abadi Sukses diputus bersalah berdasarkan pasal 3 jo pasal 18 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo pasal 55 ayat 1 KUHP.

Bunyi pasal itu adalah ‘Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 dan paling banyak 1.000.000.000’.

Hakim menilai ada 4 unsur dalam pasal itu, yakni (1) unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, (2) unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, (3) unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, (4) unsur bersama-sama melakukan perbuatan pidana.

Unsur pertama dipenuhi karena ada fakta terjadi peminjaman bendera perusahaan, serta pekerjaan yang tak sesuai dengan kontrak.

Unsur kedua dipenuhi dengan adanya fakta bahwa seluruh pekerjaan dikerjakan bukan oleh PT Mitra Abadi Sukses sebagai pemenang lelang.

Unsur ketiga dipenuhi dengan adanya fakta volume pekerjaan dan spesifikasi yang tak sesuai dengan kontrak.

Dan unsur keempat dipenuhi dengan fakta-fakta yang serupa dengan unsur pertama, kedua, dan ketiga.

Menurut Tom, apa yang terjadi di proyek rehab berat SMPN 187 Jakarta sebenarnya juga terjadi di proyek Rehab berat 119 sekolah 2017 yang dikerjakan PT Murni Konstruksi Indonesia (PT MKI).

Tom mengatakan, dan berdasarkan pantauan Warta Kota, PT MKI menyerahkan nyaris seluruh pekerjaan ke pemborong-pemborong yang tak ada hubungannya dengan PT MKI.

Seperti pengerjaan pemasangan keramik di SDN Pinangsia 01/02, mandornya bernama Alex mengaku diberi pekerjaan itu dari seseorang bernama Ali.

Bahkan Alex tak tahu siapa kontraktor utama di proyek itu. Alex juga tak tahu apakah Ali memiliki hubungan langsung dengan PT MKI atau tidak.( Trb / IM )

 

 

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

3 thoughts on “Pak Anies! Dugaan Kerugian Pemprov DKI di Proyek Rehab Berat Sekolah 2017 Sudah Rp 21 Milliar

  1. Riyadi Sensie
    October 18, 2018 at 12:35 pm

    Wahh medianya projo biasalah all… ktawain aja

  2. Aldo Ronaldo Dodoaldo
    October 18, 2018 at 1:02 pm

    Wualaaaahhhh nuuuusssss

  3. Perselingkuhan+Intelek
    October 19, 2018 at 12:24 am

    silikidik ampe tuntas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *