Mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono bersaksi terkait skandal Bank century di
sidang pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Jumat silam (9/5). Seperti
sudah bisa ditebak, Boediono mencoba meyakinkan majelis, bahwa tindakannya
menyelamatkan Bank Century adalah suatu keharusan. Sebab kalau tidak, lanjut dia,
Indonesia akan kembali terjerembab pada kubangan krisis dahsyat bak 1998 silam.
Kalau ada pejabat yang, maaf, kopeg alias keras kepala, mungkin Boediono adalah
salah satunya. Agak mengherankan, memang, bagaimana mungkin seorang profesor
ekonomi yang sudah lebih dari 30 tahun bergelut di tataran kebijakan ekonomi negeri
ini, kok tetap saja ngeyel bahwa Bank Century punya dampak sistemik. Padahal
penjelasan yang disampaikan berbagai pihak sebelumnya, bak melantunkan koor,
bahwa Century teramat kecil untuk mampu memberi dampak sistemik pada sistem
perbankan nasional. Kontribusinya cuma 0,4% di pasar uang antar bank (PUAB) alias
Interbank Call Money Market.
Menjadi saksi bagi mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan
Moneter dan Devisa, Budi Mulya di persidangan Tipikor itu, Boediono bukan hanya
ngeyel, tapi juga berbohong. Dia berpendapat saat itu situasinya nyaris persis
sama dengan tahun 1997. Ada krisis likuiditas diperbankan karena uang mengalir
keluar, dan PUAB macet alias pinjaman antar bank tak ada lagi karena mereka
tidak saling percaya. Menurut dia, Oktober-November 2008 rata-rata aliran modal
keluar mencapai US$3 miliar dollar. Penyebabnya, antara lain karena Indonesia tidak
menerapkan blanket guarantees seperti di Singapura dan Malaysia.
Boediono jelas berbohong. Siapa pun tahu, pada Oktober-November 2008 tidak ada
gejolak, apalagi sampai seperti tahun 1997, awal terjadinya krisis moneter. Tidak ada
secuil pun bukti yang membenarkan pernyataan itu.
Oke, katakanlah kalau situasinya memang gawat seperti tahun 1997. Maka yang
harus ditempuh bukanlah berkali-kali menggerojok bank kecil Century dengan fasilitas
pinjaman jangka pendek (FPJP). Apalagi bank yang dibantu itu mengalami kesulitan
likuiditas (solvabilitas) karena dirampok pemiliknya. Yang harus dilakukan adalah
menambah pasokan likuiditas dengan memasok uang M-1 dan M-2).
Tapi, pada konteks Century, tetap saja bank ini terlalu kecil untuk menimbulkan riak,
apalagi gelombang, dalam sistem perbankan kita. Aduh, Pak Boed, teganya dikau
membohongi publik dengan data dan argumen ngawur bin ngeyel-mu itu…
‘Ember bocor’
Delapan jam penjelasan Boediono yang panjang lebar di Pengadilan Tipikor memang
full berisi pembelaan diri. Tapi, seperti disebutkan tadi, tidak ada yang baru. Hanya
muter-muter. Bahkan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal
Ramli menilai Boediono mencoba melepas tanggung jawab. Dia juga minta Boediono
bersikap ksatria.
“Kasihan, anak buah sudah ditangkap dan masuk penjara. Sebaiknya pak Boediono
ngaku saja sebagai ksatria. Karena tanggung jawab itu ada di pimpinan. Sederhana
saja, kok. Ini bank dengan dana pihak ketiga hanya Rp2 triliun. Kok di-bail-out sampai
Rp6,7 triliun. Pasti ada yang bocor. Jangan lupa, Century itu sudah rusak sejak awal,”
ujar Rizal Ramli.
Bank Century memang sudah busuk, sudah rusak sejak awal. Bahkan bank yang
dikomandani Robert Tantular tersebut sudah bermasalah sebelum terjadi merger Bank
Piko, Bank Danpac, dan Bank CIC menjadi Century. Seharusnya pemerintah menutup
sejak awal. Dengan ukuran yang liliput seperti itu, jika ditutup sama sekali tidak akan
ada efeknya bagi sistem perbankan nasional. Itulah sebabnya Rizal Ramli menilai Bank
Century ini memang sengaja mau dipakai sebagai ‘ember bocor’.
‘Ember bocor’ yang dimaksudkan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
itu adalah istilah lain dari upaya membobol bank untuk keperluan tertentu. Dalam
konteks Bank Century, uang bail out itu mengalir untuk keperluan partai politik tertentu.
Langkah itu bisa didendus dengan tidak lazimnya jumlah dana untuk mem-bail out yang
mencapai Rp6,7 triliun. Padahal dana pihak ketiganya hanya sekitar Rp2 triliun. “Dari
situ sudah sangat jelas bahwa ini memang upaya untuk membobol bank,” ujar Rizal
Ramli mantap.
Menteri Keuangan era Gus Dur itu tidak keliru. Berdasarkan pemeriksaan saksi-
saksi, terungkap penetapan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik memang
bermasalah. Sebetulnya BI pernah membuat matriks hasil kajian terhadap Bank
Century. Rencananya, matriks tersebut akan dilampirkan dalam surat permohonan
penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang ditujukan
kepada Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani. Namun, lantaran
matriks tidak menyebutkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik,
maka matriks tersebut dicopot dari lampiran.
Halim Alamsyah yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Penelitian dan Pengaturan
Perbankan (DPNP) bersaksi, dia pernah diperintah membuat analisis dampak sistemik
dari Bank Century dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 13 November 2008. Hasil
analisisnya, Bank Century tidak berdampak sistemik. Pasalnya, ukuran Bank Century
relatif kecil dalam perekonomian. Peran dalam pemberian kredit pun relatif kecil. Begitu
juga dengan keterikatan sektor riil. Singkat kata, secara keseluruhan menunjukkan
Bank Century relatif kecil.
Boediono memang seperti kalap. Dia tetap bertekad menggerojok Century dengan
duit triliunan perak. Padahal, sejak awal sudah disodori berbagai dokumen yang
menunjukkan bank itu sama sekali tidak layak memperoleh FPJP. Bayangkan, BI
di bawah komandonya tetap saja mengguyur FPJP, walau Bank Century belum
memenuhi beberapa dokumen terkait jaminan aset kredit yang diagunkan ke BI sebagai
syarat mendapatkan FPJP. Padahal, sejak 14 November 2008 sampai 18 November
2008, telah dicairkan FPJP tahap pertama sebesar Rp 502 miliar. Jumlah itu masih
ditambah lagi dengan FPJP tahap II sebesar Rp187,3 miliar. Dengan demikian, total
FPJP tahap I dan II sebesar Rp 689,3 miliar. Padahal, lagi-lagi, persyaratan perihal
agunan aset kredit untuk FPJP tahap I belum dipenuhi.
Audit Internal BI mengaku sudah bergerak begitu mengetahui adanya kejanggalan
tersebut. Namun, menurut saksi Wahyu yang saat itu menjabat sebagai Direktur Audit
Internal BI, ia malah dimarahi Gubernur BI Boediono ketika melaporkan kejanggalan
tersebut.
Dengan rentetan fakta seperti itu, sulit mengelak bahwa telah terjadi perampokan uang
negara melalui bail out Century. Pertanyaannya, kok bisa tindakan kriminal tadi terjadi di
depan hidung para pemegang otoritas moneter? Apakah karena di sana ada Boediono
yang sangat patut diduga menjadi mind master-nya? Lalu, untuk apa Rp6,7 triliun bagi
seorang, yang sepertinya, kalem dan santun seperti dia? Apakah dia bekerja untuk
kepentingan parpol tertentu? Maklum, waktu itu memang menjelang Pemiu dan Pilpres
2009. Inikah yang kemudian disebut Rizal Ramli sebagai gratifikasi jabatan?
Di usia yang sudah teramat senja, publik berharap Boediono mau mengakhiri
perjalannya dengan husnul khotimah, dengan akhir yang baik. Dia pasti paham benar,
bahwa jabatan, kedudukan, harta, dan sebagainya pada saatnya akan selesai juga.
Tidak secuil pun yang akan dibawa menghadap Yang Maha Kuasa. Jadi, sudahlah, pak
Boed. Ngaku saja! (*)
Jakarta, 11 Mei 2014
*Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)
gak ada MALING yang mau NGAKU !!! si Boediono ini kelihatan lemah lembut terkesan elite dan pinter gitu pada hal isinya yah sama KORUP juga, seret dan desak terus kan bentar lagi si Boediono gak jadi Wakil Presiden lagi alias Lengser begitu juga lambat laun tapi Pasti itu sekalian Presiden dan Keluarganya juga di USUT dan Di GUGAT yah oleh KPK !!! waktu akan bercerita !!!
naon urusannana maneh james jeung budiono,wawuh oge henteu, jelema burung siah mah ..komen teh ngan ngagogoreng batur bae..lebok tah ku siah..
Wiro Sableng, kumaha aing wae atuh eudeuk komen naon oge, ngarana ge Demokrasi atuh euy, silaing mah teu ngarti Demokrasi nya da teu sakola sia mah lantaran hirup di leuweung jeung Sato sagala macem nya ??? ha ha ha karunya teuing euy sia Wiro !!! dasar katurunan Sato !!!