Para penentang Kadhafi terpaksa menarik mundur gerak laju mereka ketika hendak menuju Tripoli dari Ras Lanuf yang sudah mereka kuasai. Mereka kabur lintang-pukang dengan aneka kendaraan. Maklum, dari udara pesawat tempur dan helikopter pasukan Kadhafi menyongsong mereka dengan bom dan roket.
Pasukan para penentang yang terdiri dari sipil bersenjata dan serdadu pembelot itu tak kuasa melawan musuh yang berada di udara. Senjata mereka tak mampu mengatasi keunggulan yang dipunyai Kadhafi.
Berdasarkan kondisi pertempuran darat di berbagai kota seperti di Zawiyah, Misrata, Al Jawwad, dan Ras Lanuf, kedua kubu nyaris seimbang. Meski dari segi perlengkapan militer pasukan pendukung Kadhafi lebih unggul, namun personilnya kurang trampil dan kurang militan. Akibatnya, upaya untuk mengambil alih kendali kota-kota itu tak kunjung bisa tuntas.
Karena kondisi itulah pesawat dan helikopter tempur dikerahkan untuk membantu pasukan darat. Ganti kalangan penentang yang kewalahan. Mereka tak punya pesawat. Memang kubu ini punya peluru kendali dan meriam antipesawat, tapi dalam sekian hari pertempuran hasilnya tak signifikan. Hanya satu helikopter yang bisa mereka tembak sampai jatuh.
Diduga kalangan penentang ini tidak trampil dalam menggunakan senjata-senjata tersebut. Maklum, kebanyakan dari mereka adalah orang sipil yang bermodalkan semangat dan keberanian saja.
Itulah sebab, kalangan penentang minta diberlakukan “no fly zone” alias larangan terbang di wilayah udara Libya. Seruan serupa juga disuarakan oleh pemerintah Uni Emirat Arab yang sangat memprihatinkan nasib rakyat Libya.
Presiden Barack Obama pun sudah mengisyaratkan bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) tengah mempertimbangkan kebijakan tersebut.
Apa itu?
Menteri Pertahanan AS Robert Gates mewanti-wanti bahwa penerapan “larangan terbang” di Libya tidaklah enteng. Selain harus didukung dengan kesepakatan internasional yang luas, khususnya melalui Dewan Keamanan PBB, juga harus lebih dulu melumpuhkan pertahanan udara Libya.
Kebijakan “no fly zone” pada dasarnya adalah keputusan sepihak yang diambil oleh pihak luar yang merasa mampu dan berkepentingan untuk melindungi (sebagian) rakyat yang terancam dari serangan udara pihak yang memusuhi rakyat tersebut.
Dalam kasus Libya, AS dan sekutunya dalam NATO merasa berkepentingan untuk melindungi (sebagian) rakyat Libya dari serangan udara pasukan Kadhafi. Bentuk perlindungan itu berupa tindakan militer terhadap pesawat maupun helikopter militer Libya yang sedang terbang. Jadi pesawat tempur NATO berhak menyerang pesawat dan helikopter pasukan Kadhafi.
Guna menerapkan zona larangan terbang, NATO harus memantau selama 24 jam sehari wilayah udara Libya, baik dengan radar maupun dengan berpatroli menggunakan pesawat tempur.
Supaya pesawat NATO bisa aman berpatroli di wilayah udara Libya, tentu saja, seperti yang disyaratkan oleh Menhan Robert Gates, harus lebih dulu pertahanan udara Libya dilumpuhkan. Urusan ini menjadi tidak gampang karena Kadhafi tentu tak mau begitu saja “diinjak-injak” gengsinya.
Sudah ada preseden penerapan zona larangan terbang itu. Pada 1991 AS, Inggris, Perancis, dan Turki memberlakukan kebijakan itu di wilayah Irak utara untuk mengintervensi sengketa Kurdi. Negara-negara itu berupaya melindungi masyarakat Kurdi dari eksekusi massal melalui udara oleh pemerintah Irak. Kebijakan larang terbang itu diberi nama Operation Provide Comfort dan Operation Provide Comfort II dan dilanjutkan dengan Operation Northern Watch.
AS dan sekutunya juga memberlakukan zona larangan terbang di wilayah Irak selatan, untuk melindungi kaum Syiah dari penindasan rezim Saddam Hussein pada 1993 sampai 1996, yang diberi nama Operation Southern Watch.
Kasus yang mirip juga diberlakukan di Bosnia. Pada 1992 Dewan Keamanan PBB menelurkan resolusi larangan terbang bagi pesawat militer di wilayah udara Bosnia. Kebijakan ini diambil untuk melindungi rakyat Bosnia dari Serbia yang lebih unggul kekuatan militernya. Sengketa Bosnia-Serbia ini terjadi setelah pecahnya negara Cekoslovakia.
Karena Serbia menyepelekan keputusan DK PBB tersebut, maka DK PBB membuat keputusan lagi yang lebih keras, yang memberi otoritas NATO untuk mengambil tindakan militer, berupa penyerangan terhadap pesawat Serbia yang membandel pada 1995, yang diberi nama sandi Operation Deny Flight.
Untuk kasus Libya, jika memang NATO berniat memberlakukan zona larangan terbang, tentu saja akan diberi nama sandi tersendiri.