NEGARA CALO


Mari kita ke tempat-tempat publik yang sangat vital bagi rakyat kecil seperti terminal, stasiun atau samsat. Anda atau siapapun yang baru datang ke tempat-tempat tersebut akan didatangi bahkan secara beramai-ramai oleh orang yang tidak dikenal, dengan cara yang halus hingga menekan atau memaksa “untuk membantu anda.”

 

Mereka yang mendatangi anda selalu meyakinkan, berpakaian rapi dan menjelaskan banyak hal. Bila di terminal akan diyakinkan akan tujuan, kendaraan yang akan dipakai dan waktunya. Bila kita masih tak mau mengikuti kemauannya, maka mereka akan memaksa dengan berbagai cara bahkan dengan ancaman-ancaman. Itulah cerminan perilaku calo di terminal bis dan perilaku itu akan kita temukan di banyak tempat lain. Bahkan ada yang sangat miris, di sebuah RSUD ada percaloan obat dan labu darah.

 

Di lain tempat kita juga akan temukan dengan gamblang praktek percaloan tersebut. Ada calo yang menawarkan sekolah yang bonafit kepada orang tua murid yang tidak bisa masuk melalui jalur biasa. Ada calo nilai ujian yang baru saja dibongkar dari Surabaya. Ada percaloan saat lowongan pekerjaan dibuka dan ada juga percaloan di dalam jual-beli yang sering disebut makelar. Dan yang hebat baru saja dibuka begitu gamblang adalah calo anggaran di DPR RI dan calo proyek negara ala Kemenegpora yang melibatkan anggota DPR, Nazaruddin.

 

Itulah kenyataan yang bisa kita lihat kasat mata tanpa perlu menggunakan mikroskop. Dari level rendah di kampung hingga negara ini yang berperan dalam menghubungkan atau memastikan sebuah transaksi adalah calo. Pertanyaanya, bagaimana calo itu ada? Sengajakah atau memang sebuah skema bisnis? Menguntungkan rakyat dan negara atau sebaliknya merugikan? Bisakah kita mengatasinya?

 

Problem sosial yang akut

Percaloan bisa kita kategorikan dalam dau hal. Pertama adalah yang dilegalkan oleh negara melalui perijinan dan dikenai pajak. Biasanya istilahnya diperhalus menjadi perantara atau agen. Kita lihat kategori ini seperti perantara pembuat SIM/STNK, mengurus pajak, agen perjalanan, penyalur TKI dan agen pengiriman tenaga kerja. Kedua, calo yang ketegorinya illegal atau tanpa identitas resmi. Sebutan mereka tetaplah calo, seperti calo tiket, calo tanah, calo terminal, bahkan calo TKI.

 

Menilik kategori di atas dengan sebutannya, maka awal mula percaloan sebenarnya sengaja dibuat oleh manajemen bisnis atau manajemen birokrasi. Kesengajaan ini dibuat untuk “membantu atau mempermudah” kerja mereka dalam mencari konsumen atau pasar. Sebagai kepanjangan tangan untuk kerja perusahaan, calo sangatlah berperan dalam meyakinkan konsumen dengan berbagai cara termasuk melayani segala kebutuhannya, sehingga konsumen merasa menjadi raja yang dilayani.

 

Sementara itu, calo yang tidak terkoordinir oleh perusahaan atau birokrasi adalah sebuah usaha yang patut dilihat sebagai dampak. Dampak atas sulitnya akses pekerjaan, dampak dari perilaku usaha dan juga dampak dari sistem pemerintahan saat ini. Tentu jenis calo seperti ini berbeda dengan calo kelas atas, seperti calo proyek atau calo anggaran. Sementara calo di kalangan bawah adalah bagaimana bertahan hidup dengan berbagai cara karena sulitnya pekerjaan, sementara calo anggaran dan calo proyek adalah jenis korupsi mutakhir untuk memperkaya diri sendiri dengan mengelabui negara dan rakyat.

 

Tapi dari semua proses percaloan yang ada, yang dirasakan masyarakat lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya. Hal yang ditawarkan oleh calo, baik resmi atau tidak biasanya adalah “mudah dan murah.” Selanjutnya patut kita lihat, kemudahan dan kemurahan yang diterima oleh konsumen atau masyarakat? Tidak ada yang murah dalam soal-soal yang berurusan dengan calo, baik tiket atau TKI. Demikian juga dalam hal kemudahan, hampir semua resiko yang diterima oleh konsumen, sang calo tidak ikut bertanggung jawab.

 

Inilah problem sosial akut saat ini, calo seolah mendominasi pelayanan publik. Selain karena lapangan pekerjaan yang susah, ada sebab lain yakni pengelolaan layanan publik oleh swasta bukan negara, minimnya informasi kepada masyarakat, lemahnya kontrol bahkan lemahnya peraturan tentang kewajiban negara melayani kepentingan publik.

 

Mengurai dari keakutan

Problem yang akut harus dibongkar melalui sistem sosial, politik dan ekonomi. Tetapi karena situasi itu belum juga menemukan waktu dan momentumnya, maka langkah sedarhana sudah harus dilakukan oleh rakyat yang sadar. Langkah sederhana adalah dengan membangun kelompok/paguyuban dan organisasi untuk bisa mendapat informasi, menghindari praktek percaloan dan menekankan kebijakan yang tepat untuk rakyat. Tanpa sebuah kelompok penekan maka percaloan yang merugikan akan terus menjamur.

 

 

* Penulis adalah perangkat desa di Sukamanah-Bandung, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.


 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *