MUSEUM TIONGHOA PERANAKAN + Peranakan Tionghoa di Indonesia


Bangunan Museum Peranakan Tionghoa Indonesia memiliki luas
680 m2 ini mempunyai gaya arsitektur campuran Tiongkok,
Belanda dan Melayu.

Bangunan dengan atap rumah Tiongkok
dan mempunyai taman terbuka di dalam rumah merupakan ciri
khas bangunan peranakan Tionghoa di Indonesia.

Museum Peranakan Tionghoa ini berada di bawah naungan
Yayasan Lestari Budaya Tionghoa Indonesia (YLBTI),
organisasi non profit, yang didirikan oleh orang-orang yang
memiliki kepedulian pada pelestarian seni budaya Tionghoa .
YLBTI memiliki visi : Melestarikan dan Mengembangkan
Budaya Peranakan Tionghoa, dengan misi : Melaksanakan
Pelestarian dan Pengenalan Seni dan Budaya Tionghoa
Indonesia melalui media museum.
Museum ini akan berisi foto dan artefak yang merupakan jejak
sejarah dan peran Masyarakat Tionghoa di Indonesia, serta
keindahan akulturasi budaya Tionghoa dengan etnik lainnya di
Indonesia.
Kegiatan untuk menunjang Museum Peranakan Indonesia
akan diadakan pameran tetap, berkala, peragaan adat istiadat
dan perayaan masyarakat Tionghoa.
Museum ini terbuka untuk umum hari Selasa – Minggu,
Jam 09.00 – 17.00 WIB.

 

Peranakan Tionghoa di Indonesia 

Secara historis, istilah peranakan muncul pertama kali digunakan
pada abad ke-18 oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut
keturunan para imigran Tiongkok yang sudah membaur dan berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Para imigran tersebut kebanyakan berasal dari daerah bagian selatan provinsi Hokkian (Fujian),
yakni wilayah sekitar Ciang-ciu (zhangzhou), E mui (Xiamen) dan
Coanciu (Quanzhou).
Kata ‘peranakan’ sebenarnya memiliki arti ‘keturunan’ – dengan tidak mengacu kepada etnis tertentu, kecuali disebutkan di belakang
kata peranakan tersebut, misalnya peranakan Belanda, peranakan
Tionghoa, peranakan India dan lain lain yang artinya sama dengan
‘keturunan Belanda’, ‘keturunan Tionghoa’, ‘keturunan India’.

Catatan sejarah menyebutkan orang Tiongkok sudah berdagang
di Nusantara sejak abad ke 5, jauh sebelum jauh sebelum Belanda
datang. Banyak tulisan-tulisan menceritakan perjalanan bangsa
Tiongkok ke daratan Asia Tenggara. Namun pada saat itu istilah
peranakan Tionghoa belum dipakai.
Pemerintah kolonial Belanda juga menggunakan istilah ‘Peranakan’
untuk membedakan orang Tiongkok yang beragama Islam dengan
yang bukan. Peranakan pada jaman itu digunakan khusus sebagai
sebutan kepada orang Tiongkok yang sudah masuk Islam, yaitu yang
tidak memiliki tau-chang (kuncir) dan sudah disunat atau istilah
kasarnya ‘sudah menyerupai masyarakat pribumi’.

a perkembangannya, secara
umum kata peranakan kemudian dipakai untuk menunjuk
p a d a s e m u a k e t u r u n a n
Tionghoa di Indonesia, tanpa
memandang agamanya, tetapi
lebih pada asal budayanya yaitu
sebagai Peranakan Tionghoa.

Peranakan Tionghoa I ndonesia mengembangkan
kebudayaan yang khas, campuran dari budaya Tiongkok
dengan Jawa, Sunda, suku suku lain di Indonesia dan juga
dengan budaya bangsa lain yang pernah singgah
di Nusantara.
Budaya campuran tersebut misalnya terlihat pada
pemakaian baju kebaya berwarna putih dengan ditambahkan motif-motif sulaman burung Hong, kupu-kupu, peony
dan lain lain. Para nyonya (keturunan pernikahan campur
antara orang Tiongkok dan perempuan lokal) biasanya
memakai kain batik dan kebaya.
Motif-motif Peranakan Tionghoa, tidak hanya di temukan
pada pakaian atau batik, namun juga pada benda-benda
yang peralatan rumah tangga seperti piring, cangkir, alas
meja dll. Misalnya motif dekoratif peranakan Tionghoa
Padang dapat ditemukan pada sulaman bordir taplak meja,
tudung saji atau tudung ‘seserahan’ adat pernikahan.

Masyarakat Peranakan Tionghoa dalam percakapan sehari hari lebih sering menggunakan bahasa daerah sesuai
dengan tempat tinggalnya di Indonesia, dengan diselingi beberapa bahasa dalam dialek Hokkian, Khek atau yang
lainnya. Bahkan generasi muda peranakan Tionghoa sudah jarang yang dapat berbicara dalam dialek Hokkian atau
lainnya tersebut.
Peranakan Tionghoa Indonesia mempunyai beberapa sub etnik sesuai asalnya dari Tiongkok yaitu sub etnik
Hokkien, Hakka atau Khek, Teo-chiu dan Kanton. Kebanyakan sub etnik Hokkien tinggal di wilayah Jawa dan
Sumatera Barat. Sedangkan sub etnik Khek banyak tinggal di Kalimantan Barat, Sumatra, Bangka dan Belitung.
Sub etnik Teo-chiu yang tidak banyak populasinya biasa tinggal di Sumatera bagian Timur, Bangka dan Belitung.
Sedangkan sub etnik Kanton banyak ditemukan di Bangka, Jawa, Kalimantan Timur dan Selatan serta
Sumatera bagian tengah.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *