MKI Belajar dari Negara Lain Menjadikan Komik Professional


Masyarakat Komik Indonesia (MKI) bisa mencontoh keberhasilan Arab Saudi, Qatar dalam memopulerkan komik, sambil belajar dari pengalaman industri komik khas Jepang, Manga sejak era tahun 1950-an. Beberapa komikus (pembuat komik) di Indonesia masih sangat menggantungkan nasib pada perusahaan penerbitan. Sementara di Jepang, karya Manga dihargai biasanya dengan professional fee (bayaran) atau royalty per item. “Biasanya fee ditentukan dari jumlah Manga berkualitas yang dijual ke pihak distributor atau retailer. Satuannya, bisa per lembar atau per judul,” Wakanabe Sensei, editor senior Manga di Jepang mengatakan kepada Redaksi.
Membaca Manga adalah keseharian masyarakat Jepang. Lalu beberapa editor mencoba menjajaki pasar di Saudi Arabia dan Qatar. Dua negara yang masyarakatnya sangat memegang teguh ajaran Islam, ternyata tidak berbenturan dengan bacaan khas Manga. “Saya pikir, masyarakat Indonesia tidak jauh berbeda dengan Arab Saudi, Qatar. Mayoritas penduduknya agama Islam. Ternyata Manga bisa bertambatan hati dalam kehidupan umat Islam.”
Kendatipun demikian, tidak semua pembuat Manga di Jepang berhasil dan menjadi kaya. Ada yang baru beberapa kali membuat, ternyata karyanya mendapat hati di masyarakat. Perusahaan penerbitan mencetak ulang, atau membuat versi digitalnya. Sementara mereka yang kurang beruntung, menjadi bangkrut. “Tetapi kondisi pada umumnya, semakin banyak orang Jepang menggeluti pembuatan Manga. Mereka optimis, bisa mendapat penghasilan dari Manga.”
Wakanabe Yoshihiko optimis dengan pembangunan industri komik di Indonesia. Sehingga Manga yang khas Jepang bisa menjadi inspirasi buat komikus Indonesia. Tahap pertama, Wakanabe bersama MKI bergabung dalam kegiatan pengajaran di Manga Pro Class (MPC). Kebetulan ruang kelasnya sudah disediakan, dan resmi dibuka bersama Tim Gabungan Pengajar Indonesia-Jepang. “Kami proyeksikan kegiatan (kursus) enam bulan ke depan dulu. Nanti, kami lihat bagaimana respons, animo masyarakat.”
MPC berlokasi di bilangan Bulungan Jakarta Selatan, bersebelahan dengan cafe bersuasana cozy. Bagi Wakanabe, MPC ibaratnya ajang hiburan. Komik di Indonesia, satu saat akan setara dengan popularitas surat kabar harian (koran), majalah, tabloid dan lain sebagainya. MPC akan memberikan pelatihan dengan sistem yang terbaik. “Menulis Manga, selain gambar, juga harus dibarengi dengan editing yang bagus. Manga juga bisa dijadikan seperti story telling.Ini sangat menghibur. Manga bukan sesuatu yang menyerupai koleksi musium.
Sementara itu, Rizki Rinaldy Mosmarth (Eki) dari MKI melihat bahwa pasar Manga melesat di Indonesia pada awal tahun 1990-an. Pada era tersebut, beberapa judul yang laris terjual antara lain Dragon Ball. Bahkan sebelumnya, Manga berjudul Doraemon lebih laris melesat dibanding komik terbitan negara lain seperti Amerika. “Secara berbarengan, produsen Manga menerbitkan komik, animasi dan merchandising (pelengkap penjualan). Pasar kami (Indonesia) digempur Manga khas Jepang. Padahal komikus Indonesia terus meningkatkan daya kreatif. Tetapi masyarakat punya pilihan,” Eki mengatakan kepada Redaksi.
Penampilan Eki, khas seniman. Ia bersama beberapa anggota MKI ikut bergabung pada MPC. Kursus menjadi titik awal pengembangan komik di Indonesia. Peserta kursus, bisa dari kalangan MKI maupun masyarakat umum. Pecinta komik juga bisa mengikuti kursus, dan menggali kreativitas dan bakat. “Kendatipun kursus lebih didominasi anak-anak muda. Tetapi ibu-ibu rumah tangga juga tidak tertutup kemungkinan bergabung. Banyak sarjana graphic design, seni lukis, atau desainer yang pekerjaannya agak sama dengan pengerjaan Manga.”
MKI pernah temu, beraudiensi dengan ibu Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Pangestu. Pada prinsipnya, Pemerintah mengakomodasi semua daya kreatif seniman, termasuk komikus Indonesia. “Tetapi kami juga melihat situasi sekarang, ibaratnya perjalanan masih panjang. Untuk menjadikan komik Indonesia sebagai industri, bukan perkara mudah.”
Manga bukan produk hiburan yang hanya mengandalkan gambar, warna, bentuk dan lain sebagainya. Tetapi hal lain yang esensial, Manga berkualitas harus dibareng dengan kreativitas story telling.“Bahkan di Manga Pro Class, kami belajar untuk pengembangan bisnis, mengeksplorasi pasar dalam negeri dan lain sebagainya.” Manga tidak lagi manual di negara asalnya di Jepang. Manga sudah didesain dalam bentuk digital. Walaupun bentuk cetakan (print) masih ada, tetapi yang digital kian berkembang. “Ini kesempatan juga buat MKI untuk membangun networking(jejaringan).”
Komikus Indonesia yang sudah sedikit lebih mapan, antara lain Faza Meonk. Beberapa karyanya seperti Si Juki, Benny and Mince bisa menutupi modal, bahkan untung yang tidak sedikit. Tetapi komikus lain dari MKI tidak semuanya beruntung seperti Meonk. Mereka masih harus bergelut dengan berbagai persoalan, terutama keekonomian.
Manga, sudah sangat populer di Jepang karena aktivitasnya sudah mulai tumbuh sejak era tahun 1950-an.
“Kalau mau sampai ke sana (Manga di Jepang), jauh sekali. Yang penting sekarang, kita terutama komikus memperbanyak jumlah (komik) dengan kualitas yang baik.”
MPC bisa menjadi salah satu solusi untuk peningkatan kualitas komik Indonesia. Bahkan karakternya bisa berupa kombinasi karakter Indonesia Jepang.  Jumlah komikus sudah ideal, tetapi tidak sebanding dengan jumlah perusahaan penerbitan. Artinya, banyak karya komikus yang belum bisa diterbitkan oleh perusahaan. “Sebagian besar memilih terjemahan komik luar negeri. Alasannya, karena biayanya lebih murah (terjemahan) dibanding menerbitkan hasil karya komik dalam negeri.”(Liu)
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *