Merdeka 66 Tahun, Pluralisme, di Mana Posisi Negara?


Rasa marah, kecewa, menyesal campur aduk dalam diri Mubariq. Isi hati lelaki ini mencuat saat SH menghubunginya melalui telepon, Kamis (25/8) pagi.

Sebagai humas Ahmadiyah Indonesia, wajar saja dia merasakan kegundahan itu. Betapa tidak, ia merasakan ada ketidakadilan dalam hal kemanusiaan ketika Indonesia sudah memasuki usia 66 tahun.

Contoh ketidakadilan dalam kemanusiaan itu adalah majelis hakim Pengadilan Negeri Serang, Banten, menjatuhkan vonis janggal bagi 12 terdakwa kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada awal Februari 2011.

Vonis hanya menghukum 3-6 bulan penjara, dan ini berarti sebagian dari para terdakwa langsung bebas karena masa penahanan telah melebihi hukuman.

“Ringannya hukuman bagi terdakwa semakin menunjukkan ketidakmampuan negara ini melindungi kebebasan beragama,” ungkap Mubariq dengan nada geram. Rasa keadilan pun telah diinjak-injak, karena hakim mengabaikan kenyataan bahwa perbuatan para pelaku telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

Jadi, sampai umur Indonesia 66 tahun negara masih dikungkung oleh kelompok tertentu. Padahal seharusnya tidak ada satu pun orang yang boleh menghakimi kelompok tertentu, tambahnya.

“Repot kalau soal agama dan keyakinan diurusi negara, apalagi kalau negara berpihak. Yang namanya perbedaan memang selalu ada, tetapi negara harus bisa memperkecil hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dengan menegakkan konstitusi tanpa melihat mayoritas-minoritas. Dunia menunggu penyelesaian kasus Cikeusik,” tegas Mubariq.

Memang, arti kemerdekaan bagi bangsa ini belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu yang belum sepenuhnya dinikmati penduduk negeri ini adalah kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hampir di setiap kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, negara tidak mampu memberi rasa keadilan yang rata.

“Mana posisi negara di setiap gangguan kebebasan beragama dan berkeyakinan?” tutur mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif ketika dihubungi SH baru-baru ini. Namun yang terjadi, negara yang seharusnya adil dalam setiap kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan malah keok tak berdaya menghadapi kelompok garis keras.

“Setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan tanpa perbedaan,” tegas Syafii yang sering disapa Buya ini. Ternyata, tidak hanya dalam hal ketidakadilan menghadapi kelompok garis keras, negara pun diam seribu bahasa untuk tidak menindak tegas kelompok-kelompok tersebut.

Pernyataan itu dikuatkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj, yang menilai aksi kekerasan sering terjadi karena tidak ada pemahaman yang benar tentang keagamaan. “Kalau kelompok tersebut paham dan mengerti ajaran agama, kenapa mereka berbuat seperti itu?” ungkapnya.

Sama seperti Syafii, Said menilai pemerintah tidak pernah tegas dalam bertindak, malah seakan melakukan pembiaran sehingga kelompok-kelompok tersebut terus merambat dan menggila.

Padahal sudah puluhan bahkan ratusan tahun bangsa Indonesia mampu hidup berdampingan secara damai, dan tidak ada bukti sejarah bahwa perbedaan etnis, budaya, bahasa, dan agama menjadi sumber konflik. Hal inilah yang disebut modal sosial yang memperkuat dan meneguhkan keragaman bangsa dan dikukuhkan dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika.

Salah satu kasus paling akhir ialah kasus sengketa surat izin mendirikan bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin Bogor, Jawa Barat, yang meskipun pihak GKI sudah memiliki surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang sah, Wali Kota Bogor mencabut IMB tersebut tanpa alasan yang jelas dan logis.

Bahkan hingga putusan Mahkamah Agung (MA) memenangkan pihak GKI pun, Pemerintah Kota Bogor tetap tidak mengindahkan keputusan hukum tertinggi dari lembaga hukum tersebut.

Tidak hanya kasus GKI Taman Yasmin. Kasus yang cukup mengerikan adalah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, Jawa Barat.

Meskipun hampir merenggut tiga korban tewas, vonis hakim terhadap para terdakwanya ditengarai terpengaruh oleh desakan massa. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang membacakan vonis 3-6 bulan terhadap 12 pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah di Cikeusik.

Akibat Pendidikan

Sebagai acuan, tindak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berlatar belakang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, menurut catatan Setara Institute, selama semester pertama 2011 mencapai 99 kasus. Sepanjang 2010, Setara Institute mencatat terjadi 216 peristiwa intoleransi.

Korban pelanggaran HAM ini dialami oleh kelompok kepercayaan, kaum Ahmadiyah, dan umat Kristiani. Data ini pun diperkuat oleh Moderate Muslim Society (MMS). Dikatakan, fenomena intoleransi menjadi semakin sering terjadi setelah Orde Baru berkuasa dan menjadi semakin sering lagi setelah Orde Baru tumbang. Puncaknya terjadi pada periode 1995 hingga sekarang.

Secara normatif, negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28 E Ayat (1 dan 2) UUD 1945. Jaminan yang sama juga tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

Namun, politik pembatasan hak ini masih terus terjadi, baik menggunakan Pasal 28 J Ayat 2 maupun melalui peraturan perundang-undangan yang bersifat diskriminatif.

Dua contoh kasus yang cukup besar tersebut sempat mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah berdiri selama 66 tahun ini. Selama 66 tahun lalu para pendiri bangsa ini sadar dengan segala kelemahannya. Mereka tidak memegahkan diri untuk merasa menang sendiri.

Tujuh kata yang sempat tertuang di mukadimah UUD 1945, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pun ditanggalkan demi semangat kebangsaan. Namun sayangnya, kian lama rasa kebangsaan tersebut kian terkikis oleh zaman dan kepentingan.

Menurut tokoh pluralis dan Ketua Umum Indonesian Conference Religion and Peace (ICRP) Siti Musdah Mulia, diskriminasi agama merupakan dampak dari pendidikan yang diatur dua kementerian, yaitu Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan. Padahal sebenarnya pendidikan di Indonesia cukup satu atap, yaitu hanya diatur Kementerian Pendidikan.

“Diskriminasi agama terjadi karena problem dalam pendidikan kita. Sistem yang terbelah ini membuat anak-anak menjadi terbelah juga,” ujar Dosen dan Guru Besar Universitas Islam Negeri ini.

Musdah menambahkan, berdasarkan penelitian ICRP, akibat dari pendidikan dua atap ini timbul kebencian. Ironisnya, hal ini jusru dibiarkan berlangsung terus oleh pemerintah.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *