Mendukung IMF, Thee Kian Wie “Melawan” Soeharto


 Jakarta – Krisis moneter yang menjerat Indonesia pada 1997 memaksa Presiden Soeharto mengikuti resep yang diberikan lembaga keuangan dunia Dana Moneter Internasional (IMF). Pada Sidang Umum di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1 Maret 1998, Soeharto menyatakan menerapkan konsep IMF Plus untuk mengatasi krisis.

Banyak yang menduga plus di situ berarti dengan mengikutsertakan Dewan Mata Uang (Currency Board System/CBS) yang digawangi Steve Hanke, penasehat ekonomi Soeharto dan ahli masalah CBS dari Amerika Serikat. Namun, sepekan kemudian Soeharto membuat pernyataan yang cukup mengaggetkan dunia internasional: kesepakatan pemerintah dengan IMF akan membawa Indonesia pada liberalisme. Menurutnya, kesepakatan IMF itu tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 khususnya pasal 33.

Di ujung kekuasaan Soeharto -undur dari presiden pada 21 Mei 1998- banyak tokoh berbeda pendepata dengannya, termasuk para ekonom yang mengkritik kebijakan orde baru. Ekonom dan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Thee Kian Wie, satu di antara yang “melawan” garis ekonomi pemerintah. “Saya tidak mengerti bagian mana dari 50 butir kesepakatan IMF yang tidak sesuai dengan UUD 1945, apalagi melanggar konstitusi,” kata Thee Kian pada 11 Maret 1998. “Sebaliknya, kesepakatan itu sangat sesuai dengan UUD 1945, terlebih mengenai penghapusan monopoli dan oligopoli.”

Kemarin, Indonesia kehilangan salah satu pakar ekonomi dan peneliti senior ini. Salah satu koleganya di LIPI, Erwiza Erman, mengatakan Thee Kian Wie meninggal pada usia 79 tahun. Thee diduga terkena asma yang sudah lama diderita.

Berikut ini merupakan petikan wawancara Tempo pada 11 Maret 1998 dengan Thee tentang atas krisis 1998 yang melanda Indonesia dan sejumlah negara asia lainnya. Juga, mengenai pandangannya mengenai ekonomi liberal yang hingga era reformasi ini terus diperdebatkan.

Dengan mengikuti paket IMF, sama dengan menempatkan Indonesia dalam liberalisme. Apa sebenarnya maksud pernyataan Soeharto itu?

Kita harus ingat bahwa pemerintah telah menandatangani kesepakatan dengan IMF untuk melaksanakan 50 butir reformasi ekonomi itu. Tidak bisa kesepakatan itu ditafsirkan sebagai bentuk pendiktean IMF terhadap pemerintah. Jika merasa didikte, seharusnya pemerintah menolak menanda tangani kesepakatan itu. Jadi pernyataan Presiden Soeharto itu tentu menimbulkan tanda tanya bagi banyak orang, karena sebelumnya Soeharto menyetujui dan menandatangani kesepakatan itu. Lalu kenapa dalam waktu sedemikian singkat Soeharto menolak IMF? Mungkin saya terlampau bodoh untuk dapat mengerti maksud Pak Harto, tetapi jika ada orang yang bisa memahami pernyataan itu, saya ingin minta penjelasan darinya.

Sebenarnya mana yang benar, IMF butuh pemerintah atau pemerintah yang butuh IMF?

Pemerintah yang butuh bantuan IMF, bukan sebaliknya. Awalnya adalah ketika September 1997 pemerintah minta bantuan IMF, setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. IMF adalah badan internasional yang anggotanya terdiri dari banyak negara anggota. Jadi jika ada suara sumbang yang mengatakan bahwa pemerintah ditekan oleh Amerika lewat IMF dalam 50 butir kesepakatan itu, pendapat ini sama sekali tidak benar. Kesepakatan itu dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak.

Wajar jika IMF memperingatkan pemerintah untuk secara konsisten melaksanakan 50 butir kesepakatan itu. IMF akan membantu pemerintah, dengan syarat kesepakatan itu dilaksanakan. Jangankan IMF, contohnya seorang ibu. Ia tidak akan mendidik anaknya menjadi manja dengan memberi anaknya uang jajan, walau PR-nya tidak dikerjakan. Si ibu tentu akan mendidik anaknya dengan baik dengan mengawasi PR-nya, baru kemudian memberi uang jajan.

Presiden Soeharto dalam pertanggungjawabannya di depan MPR telah menerima 
paket IMF. Mengapa dalam waktu yang singkat, sekarang justru menolaknya?

Saya tidak tahu apa alasannya. Saya hanya ingin melontarkan satu pertanyaan,”Siapa yang sebenarnya punya itikad tidak baik dalam kesepakatan itu, pemerintah atau IMF?”

Menurut Anda?

Hahaha…. Saya yakin Anda juga tahu jawabannya. Jika ada dua pihak yang punya kesepakatan, lantas salah satu melanggar atau ingkar janji, siapa yang salah? Semua orang bisa menilai hal ini.

Proyek atau kebijakan apa yang disarankan oleh IMF dan terbukti sukses diterapkan di Indonesia?

Kebijakan pemerintah yang mengatur tentang penanaman modal asing di Indonesia, yang akhirnya melahirkan UU pada 1960-an. Saya pikir undang-undang itu sukses menarik investor asing untuk menanam modalnya di Indonesia.

Apa sebenarnya definisi ekonomi liberal?

Menurut mazhab neo-liberal yang murni, pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam kehidupan ekonomi. Kecuali dalam beberapa bidang di mana pasar tidak mempunyai suatu pemecahan, misalnya untuk masalah pertahanan dan keamanan, atau tata hukum.

Apa perbedaan liberalisme dengan liberal?

Arti dari liberal sendiri adalah seperti yang saya kemukakan di atas. Sedangkan liberalisme adalah menyangkut paham liberal. Jadi liberalisme sifatnya lebih ideologis. Misalnya suatu negara yang menganut paham liberal disebut berideologi liberalisme.

Bukankah paham ekonomi liberal juga punya kelemahan, yaitu adanya kegagalan pasar?

Ya. Justru campur tangan pemerintah diharapkan untuk mengatasi kegagalan pasar itu. Inilah yang dijadikan alasan oleh negara berkembang, mengapa pemerintah selalu campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Tetapi kenyataan yang terjadi di Indonesia, campur tangan itu bukannya mengatasi kegagalan pasar, tapi justru menimbulkan kegagalan pemerintah. Karena seringkali pemerintah berkolusi dengan konglomerat sehingga hanya kelompok mereka saja yang dapat fasilitas, dan terjadi pemusatan kekuatan ekonomi di tangan mereka.

Lantas di mana sebenarnya posisi pemerintah?

Pemerintah harus mampu menjadi wasit yang adil dan netral terhadap semua pihak. Jika tidak, kebijakan pemerintah akan dibajak, dan dimanfaatkan hanya demi sekelompok orang saja. Pada zaman Orde Lama, sering lahir suatu kebijakan dengan dalih deregulasi, akhirnya justru menimbulkan government failure. Gejala inilah yang dinamakan Etatisme, akibat campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam kehidupan ekonomi.

Mengapa pemerintah merasa “alergi” dengan paham liberal?

Jika sekarang seolah-olah pemerintah “alergi” terhadap ekonomi liberal, sebenarnya hal itu hanya karena alasan historis saja. Ini adalah peninggalan Orde Lama dulu, ketika Bung Karno sedang giat-giatnya mengkampanyekan gerakan anti barat. Jadi segala sesuatu yang berasal dari barat, selalu dianggap jelek. Termasuk liberalisme, jadi kata-kata liberal hanya menjadi jargon-jargon politik atau alat propaganda saja.

Pengertian yang salah tentang ekonomi liberal ini memang harus diluruskan, karena artinya tidak selalu jelek. Seharusnya kita tidak usah terlalu takut dengan praktek ekonomi liberal, karena tidak ada satu negara pun yang mampu menjalankan ekonomi liberal secara murni. Ambil contohnya Amerika yang terkenal sangat liberal, dalam prakteknya pemerintah masih campur tangan dalam kegiatan ekonomi.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *