Mendagri: Tak Langgar Pembangunan Papua + Kompolnas Soroti Isu Dana Pengamanan Freeport + Menebak Faktor Rusuh Papua


Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi memastikan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) tidak akan menabrak kewenangan Pemerintah Daerah Papua dalam pembangunan sesuai dengan amanah Undang-Undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

“Itu sudah dibahas dengan gubernur. Ini bentuk UP4B, ada kewenangan pemda yang merupakan amanat UU Otsus, sehingga kewenangan tidak terganggu,” kata Gamawan seusai rapat di kantor Wapres, Kamis.

Ia menambahkan, pihaknya juga telah meminta pendapat dari Gubernur Papua dan Papua Barat terkait hal itu.

Menurut dia UP4B akan menjadi mitra untuk mendorong percepatan pembangunan.  “Ini akan menjadi mitra saya untuk mendorong percepatan itu,” katanya.

Sementara itu, sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Perpres Nomor 66 Tahun 2011 yang menjadi dasar pembentukan UP4B, pada 20 September 2011.

Pembentukan UP4B ini merupakan pelaksanaan dari Perpres 65 Tahun 2011 tentang Percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Merujuk pada pasal 3 Perpres 66/2011, UP4B bertugas membantu Presiden dalam melakukan dukungan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan, fasilitasi, serta pengendalian pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Fungsi dari unit ini di antaranya adalah melakukan koordinasi dan sinkronisasi pendanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program percepatan pembangunan Papua dan Papua Barat, peningkatan kapasitas kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah, dan peningkatan komunikasi konstruktif antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

UP4B ini akan berkedudukan di Jayapura. Unit ini berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Organisasi UP4B terdiri atas seorang Kepala, Wakil Kepala, 5 (lima) deputi, dan sebanyak-banyaknya 20 tenaga profesional.

Untuk menunjang pelaksanaan tugas UP4B, dibentuk Tim Pengarah yang bertugas memberikan arahan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat.

Tim Pengarah diketuai oleh Wapres, dengan Menko Polhukam, Menko Perekonomian dan Menko Kesra sebagai Wakil ketua I, II, dan III, dan beranggotakan sejumlah menteri.

Mantan Panglima Komando Operasi di Aceh (2002-2003) dan wakil RI pada Aceh Monitoring Mission pada 2005, Letjen (Purn) Bambang Dharmono ditunjuk untuk memimpin UP4B.

 

Kompolnas Soroti Isu Dana Pengamanan Freeport

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan bahwa pemberian dana pengamanan oleh PT Freeport Indonesia, Papua kepada Kepolisian Negara RI (Polri) seharusnya melalui mekanisme resmi.

“Pemberian dana pengamanan oleh PT Freeport kepada lembaga Polri harusnya sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” kata anggota Kompolnas Novel Ali di Jakarta, Kamis (3/11).

Hal ini terkait dengan PT Freeport Indonesia telah mengalokasikan dana hingga 14 juta dolar AS untuk mengamankan aset-aset mereka di Timika.

“Apalagi Polri sudah mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cukup besar, maka bila menerima dana harus sesuai mekanisme dan jangan sampai melanggar Undang-Undang Polri itu sendiri,” katanya.

Dengan adanya pengakuan Kapolri tentang dana pengamanan tersebut yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan adalah merupakan pelajaran agar dikemudian hari tidak gampang menerima sesuatu dari perusahaan apalagi asing, kata Novel.

Namun dari segi kemanusiaan, pemberian dana pengamanan untuk anggota Polri yang bertugas di wilayah Freeport sebesar Rp1,2 juta untuk satu personel, menurut Novel, merupakan hal yang wajar asal melalui mekanisme resmi.

“Pemberian dana sebesar itu untuk anggota Polri yang bertugas di sana sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena medannya di Papua yang cukup sulit,” katanya.

Novel juga mengatakan bahwa saat kunjungan ke Papua melihat kondisi dari anggota Polri dan TNI yang bertugas di wilayah terlihat akrab dengan para pegawai Freeport, maka agak sulit dipercaya bila sampai terjadi bentrok yang memakan korban jiwa.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo sebelumnya menyatakan bahwa dana pengamanan yang diberikan anggota Polri dari pihak ketiga bisa dilakukan audit.

“Dana itu bisa diaudit saya kira tanya ke asisten operasi,” katanya di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri di Jakarta, Jumat (28/10).

Timur mengatakan bahwa semua operasi termasuk operasi pengamanan proyek itu, negara juga membiayai, kemudian kalau misalnya pihak yang diamankan itu memberikan uang makan maka langsung kepada anggota.

Apalagi dalam situasi yang sulit di dalam tugas dan medannya. Kapolri menyatakan pemberian dan pengamanan itu akuntabilitasnya bisa dipertanggungjawabkan.

Mengenai besaran nilai uang yang diberikan pihak perusahaan, hal itu sesuai dengan uang operasi, katanya.

 

Menebak Faktor Rusuh Papua

Sebagian pimpinan Papua mempertanyakan kembali hasil Pepera Papua tahun 1969.

Konflik Papua tampaknya tidak akan selesai dengan mudah. Wilayah yang kembali ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 1963 itu terus bergolak. Masih ada sejumlah insiden yang merenggut korban jiwa.

Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo, mengungkapkan hal baru. Menurutnya, permasalahan di Papua bukan hanya persoalan kesejahteraan saja.

“Ada sebagian pimpinan Papua yang mempertanyakan kembali hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969. Mereka mengaku mendapat intimidasi agar memilih Papua masuk ke NKRI,” kata Muridan, saat dihubungi VIVAnews.com, Kamis 3 November 2011.

Muridan menjelaskan, Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera.

Menurutnya, Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.

“Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain,” jelasnya. “Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia.”

Tetapi, lanjut Muridan, hasil Pepera 1969 itu menuai pro dan kontra. Karena ada sebagian rakyat Papua yang menyatakan ada mobilisasi yang dilakukan kepada orang asli Papua agar memilih masuk Indonesia. “Ini yang kemudian dipersoalkan orang Papua dan menjadi alasan Pepera itu menjadi tidak sah,” ujarnya.

Mengenai kebenaran alasan rakyat Papua mendapat intimidasi sebelum adanya pepera, Muridan mengaku masih belum tahu. Karena sampai saat ini belum pernah ada investigasi mengenai pengakuan orang Papua tersebut. “Selama ini hanya ada pengakuan-pengakuan saja dari orang Papua, belum pernah ada investigasi apa benar terjadi intimidasi. Tapi secara legal, posisi Papua sebagai bagian dari NKRI itu kuat, karena sudah diakui oleh PBB,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan rohaniawan Papua, Socratez Sofyan Yoman. Menurutnya, persoalan utama mereka adalah sejarah dan integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia yang belum selesai. Selain itu adalah soal pelanggaran HAM, pembangunan yang gagal dan marjinalisasi penduduk asli Papua.

“Dari dulu sampai hari ini diskusi-diskusi di media belum menyentuh substansi masalah. Sementara pemerintah tidak mau melihat masalah Papua,” katanya dalam diskusi dan peluncuran buku ‘West Papua: Persoalan Internasional’ di kantor Kontras Jakarta, Kamis 3 November 2011.

Socratez menyatakan, masyarakat Papua saat ini masih mempertanyakan legitimasi Negara hasil Pepera tahun 1969. Dia menyebut mereka cenderung tidak mengakui Papua bagian dari NKRI dan meminta status itu ditinjau kembali.

“Saya melihat kegelisahan rakyat Papua yang selalu menghadapi kekerasan pemerintah dan negara. Mereka mendapatkan stigma sebagai kelompok separatis, atau makar. Kekerasan dan gejolak tidak pernah diselesaikan,” katanya.

Dia juga menyinggung sejarah integrasi Papua yang melibatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa masalah Papua adalah persoalan yang berdimensi internasional.

“Jangan lupa PT Freeport adalah aset internasional yang selalu dijaga TNI dan Polri. Bagaimana tentara dan polisi Indonesia membunuh rakyat Papua demi melindungi dan menjaga perusahaan asing,” kecamnya.

Muridan menambahkan, selama ini cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam menangani persoalan di Papua tidak tepat. Operasi militer yang digunakan pemerintah untuk membuat Papua aman justru membuat rakyat Papua semakin dendam kepada pemerintah.

“Selama ini kan dipakai operasi militer, kampungnya dibumihanguskan untuk menimbulkan efek ketakutan. Cara ini justru membuat mereka (rakyat Papua) menjadi dendam dan semakin bersemangat memisahkan diri dari RI,” ujarnya.

Seharusnya, lanjut dia, cara yang dipakai adalah dengan dialog. “Cara ini kan sudah pernah dilakukan di Aceh, seharusnya dipakai juga di Papua,” ujarnya.

4 Faktor Kekerasan di Papua

Meski ada fakta baru mengenai adanya ketidakpuasan rakyat Papua atas Pepera 1969, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, menyatakan ada 4 faktor yang memicu keamanan Papua tidak kondusif.

Pertama, adanya gerakan-gerakan yang ingin memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, lanjut dia, peningkatan eskalasi di Papua saat ini, masih tergolong ancaman internal. Sehingga Polri yang berwenang menangani masalah keamanan itu. Namun demikian, TNI juga diminta bantuan oleh Polri.

“Tentu ada permintaan Polri agar TNI turun, tapi sejauh ini kita tidak melibatkan dari luar wilayah Papua. Jadi Kesatuan TNI di Papua menangani ini untuk membantu Polri,” ujar Purnomo.

Faktor kedua adalah kasus PT Freeport Indonesia yang telah bercokol di Papua sejak lama. Ada dua masalah Freeport di Papua. Pertama, masalah mogok kerja, hubungan antara managemen dan karyawan.

“Saya dapat laporan pagi ini sudah ada kemajuan, tetapi belum juga ada kemajuan karena antara tuntutan dan apa yang telah dimaui oleh Freeport perbedaannya masih cukup jauh,” ujarnya

Masalah Freeport kedua adalah penambangan ilegal yang terjadi di Mil 34 dan Mil 39. “Makanya tidak heran kalau aksi penembakan dan kekerasan terjadi di antara Mil 34 dan Mil 39 karena memang di situ banyak terjadi operasi illegal mining karena memang sistem processing yang dilakukan PT Freeport masih menyisakan banyak tiling dan residu yang bisa diambil oleh masyarakat dan ini keuntungannya sangat besar sekali,” kata Purnomo.

“Pemda Papua sedang menyiapkan suatu keputusan Pemda yang mudah-mudahan bisa menyelesaikan permasalahan ini.”

Sedangkan faktor ketiga yang menyebabkan kacaunya keamanan papua adalah disparitas ekonomi. Sebagian kalangan mengatakan bahwa UU Otonomi Khusus terutama UU No. 21 itu belum berjalan, walaupun UU Otonomi ini sebenarnya telah memberikan kewenangan yang cukup besar bagi Papua.

Banyak tudingan menyebutkan kekayaan Papua sebagian besar dibawa ke pusat. Sehingga memunculkan gejolak masyarakat. Namun, menurut Purnomo, tudingan itu tidak benar. “Sekitar 80 persen hasil tambang, perikanan, dan kehutanan, itu kembali ke rakyat Papua, dan untuk migasnya 70 persen. Sekitar Rp28 Triliun yg dinikmati oleh sekitar 3 juta penduduk Papua.”

Menurut Purnomo, yang perlu dilihat adalah pelaksana otonomi tersebut. Karena hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengatakan memang ada penyimpangan dalam pemakaian dana otonomi ini.

Sedangkan faktor keempat adalah masalah Pilkada. Fanatisme antar pendukung calon dalam pilkada di Papua menyebabkan kerusuhan belakangan ini.

“Empat hal ini sebetulnya adalah rangkuman yang saya bisa lihat di Papua,” ungkapnya.

Sementara itu, Panglima TNI, Laksamana TNI Agus Suhartono, memastikan, saat ini Provinsi Papua telah kondusif. Namun, dia meminta kepada masyarakat dan aparat penegak hukum untuk tetap waspada terhadap sejumlah kemungkinan yang dapat terjadi.

“Dari Bintang Kejora, Freeport, sampai masalah konggres rakyat [Konggres Papua III], semuanya sekarang sudah kondusif. Namun demikian, kami tetap waspada,” kata Agus Suhartono.

Kewaspadaan diperlukan terutama menjelang 1 Desember yang diklaim sebagai Hari Kemerdekaan Papua. Di hari itu, bendera Bintang Kejora dikibarkan di sejumlah titik di Papua. “Untuk dipahami bahwa semua kegiatan ini akan berujung pada 1 Desember,” tambahnya.

Agus mengatakan saat ini sedang dibahas langkah-langkah penyelesaian konflik kemanusiaan yang ada di Papua. Pihaknya bersama Kementerian Pertahanan akan membicarakan masalah ini sore ini. “Persiapan kami akan bicara soal Papua salah satunya. Langkahnya nanti akan kami bahas,” tandasnya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *