Benua Eropa tetap menjadi target empuk.
Paris telah diguncang tragedi berdarah tepat pada satu pekan lalu. Pada Jumat, 13 November malam,
kota dengan ikon Menara Eiffel itu diterjang teror di empat lokasi berbeda dan menyebabkan 129 orang
tewas.
Kendati peristiwa tersebut sudah sepekan berlalu, namun ancaman akan adanya teror serupa di negara
lain, termasuk di Prancis sendiri, belum hilang. Bahkan, usai serangan itu berhasil menimbulkan
ketakutan, kelompok Islamic State of Iraq and al Sham (ISIS) yang mengklaim sebagai dalang, kian
semangat menyebar teror. Setidaknya empat negara terbukti masuk dalam daftar yang akan disasar
ISIS usai Paris.
Laman Express, Kamis, 19 November 2015 melansir kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu
sempat sesumbar melalui akun Twitter, London akan menjadi target teror selanjutnya. Ibukota Inggris itu
diketahui juga pernah menjadi target serangan terorisme pada Juli 2005 lalu. Saat itu, sebanyak 52
pengguna kereta bawah tanah tewas dalam serangan bom yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis dan
terkait Al-Qaeda.
Tetapi, pejabat berwenang di Inggris mengaku telah bekerja tanpa kenal lelah untuk mencegah ISIS
melakukan aksi serupa. Pada bulan lalu, Kepala Badan Intelijen Inggris, MI5, Andrew Parker, mengakui
petugas keamanan memang tidak yakin mampu menghentikan semua rencana teror di Negeri Ratu
Elizabeth II itu.
Namun, dalam cuitan lainnya, kelompok tersebut turut menyebut adanya dua ibu kota lainnya yang
akan mereka serang, yakni Roma dan Washington DC.
Soal ancaman untuk menyerang Washington DC, bahkan telah disampaikan ISIS melalui pesan video.
Stasiun berita Channel News Asia, Selasa, 17 November 2015 melaporkan dalam video yang diunggah
ISIS ke dunia maya diberi judul “kampanye perang suci”.
Pria yang bernama Al Ghareeb dan berasal dari Aljazair bertindak sebagai pembawa pesan.
“Kami mengatakan, negara-negara yang ikut serta dalam kampanye perang suci, maka oleh Tuhan,
kalian akan memiliki satu hari, dengan restu Tuhan, seperti yang terjadi di Prancis dan oleh Tuhan,
ketika kami menghancurkan Prancis di pusat kota seperti Paris, maka kami bersumpah akan
menyerang Amerika di pusat kotanya di Washington DC,” kata pria itu.
Al Ghareeb memperingatkan pemerintah negara barat, termasuk Amerika Serikat, mereka sudah sangat
siap untuk melancarkan serangan lain ke sana.
“Saya katakan negara-negara Eropa, kami datang, datang dengan sejumlah jebakan dan alat peledak.
Kami datang dengan ikat pinggang peledak, peredam senapan dan kalian tidak akan sanggup
menghentikan kami hari ini, karena kami jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya,” kata dia.
Rencana lain yang sudah dieksekusi namun gagal menebar teror yakni di Jerman. Laman Mirror,
Kamis, 18 November 2015 melansir kelompok teroris dari sel Afrika Utara berencana menyerang kota
Hanover dengan menggunakan senjata penyerang dan rompi bom bunuh diri. Metode tersebut juga
digunakan oleh teroris dalam serangan di Paris.
Informasi itu disampaikan oleh pejabat intelijen Prancis kepada mitra mereka, Jerman sebelum
serangan terjadi. Berdasarkan bocoran informasi yang diterima Jerman, para teroris kemungkinan akan
menyerang stadion sepak bola HDI Arena, di mana akan digelar pertandingan persahabatan antara tim
Jerman dan Belanda.
Harian Jerman, Bild, menyebut para teroris akan menggunakan kendaraan dengan akses resmi untuk
masuk ke stadion seperti mobil ambulans, mobil van kru televisi atau kendaraan patroli keamanan, agar
bisa menyelundupkan alat peledak. Rencana akhir mereka, bom akan diledakan tepat di tengah
pertandingan persahabatan itu.
Terlebih banyak pejabat tinggi Jerman, termasuk Kanselir Angela Merkel yang telah memastikan diri
untuk ikut menonton pertandingan itu. Usai melakukan pemeriksaan, menurut laporan harian lokal,
Kreiszeitung, petugas keamanan menemukan mobil ambulans yang telah dipenuhi alat peledak dan
diparkir di luar stadion.
Polisi pun langsung mengambil langkah pencegahan. Mereka langsung mengosongkan stadion HDI
Arena yang sanggup menampung 49 ribu penonton. Kendaraan yang seolah-olah menyerupai
ambulans dan penuh dengan alat peledak itu pun dibawa menjauhi stadion.
Peringatan akan adanya teror di Hannover disebarluaskan polisi. Saat proses evakuasi berlangsung,
sebuah jalan terpaksa diblokir polisi.
Pertandingan persahabatan yang semula digelar Kamis malam kemarin akhirnya batal. Polisi lokal
meminta kepada para fans untuk secepatnya pulang tanpa merasa panik. Tetapi, mereka meminta agar
para fans berjalan kaki pulang ke rumah dan tidak menggunakan kereta. Sebab, jalur utama kereta api
ditutup untuk kepentingan penyelidikan.
Kanselir Merkel yang semula berniat menonton, membatalkan niatnya usai dikabari otoritas berwenang.
Kelompok musik, Soehne Mannheims yang semula dijadwalkan mengisi konser usai pertandingan juga
diminta meninggalkan stadion.
Para staf yang membawa makanan diminta untuk meninggalkan mantel mereka dan keluar stadion,
sedangkan jurnalis dilarang masuk. Walikota Hannover, Stefan Schostok, mengatakan kepada harian
Bild, upaya tersebut diperlukan, sebab keselamatan menjadi prioritas utama mereka.
Sementara, Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Meizere menolak untuk memberikan jawaban
soal adanya teror di Hannover.
“Jawaban dari pertanyaan ini malah akan menimbulkan keresahan di muka publik,” kata de Meizere.
Selain ancaman teror ke tempat umum, para teroris juga kerap menyasar pesawat penumpang sipil
sebagai target. Sebelumnya, mereka berhasil melakukan teror serupa ke pesawat Airbus A321
maskapai Metrojet 9268 yang terbang dari Mesir menuju ke St. Petersburg, Rusia. ISIS mengklaim ada
sebuah bom yang ditanam di bawah kursi penumpang.
Alhasil, baru saja mengudara selama 23 menit, pesawat meledak dan menewaskan 224 penumpang.
Setidaknya ancaman serupa terjadi pada tiga pesawat penumpang. Dua pesawat pertama merupakan
maskapai Prancis, Air France, yang terpaksa mendarat darurat Rabu malam kemarin di Salt Lake City
, Amerika Serikat dan Halifax, Kanada, karena adanya ancaman bom di pesawat. Namun, usai kedua
pesawat diperiksa oleh otoritas berwenang, tidak ditemukan bom di sana.
Sehari sesudahnya, ancaman serupa menghampiri pesawat penumpang yang lepas landas dari
Warsawa, Polandia. Pesawat tujuan resor Hurghada, Mesir, terpaksa mendarat darurat di kota di tepi
Laut Hitam, Burgas, Bulgaria. Tetapi, usai dilakukan pemeriksaan, lagi-lagi ancaman itu hanya pepesan
kosong. Namun, di satu sisi berhasil menciptakan kepanikan di diri penumpang.
Selanjutnya mengapa Eropa?…
Adanya serangan ke Paris, bahkan dua kali dalam satu tahun, menimbulkan tanda tanya besar,
mengapa harus kota itu lagi yang dijadikan sasaran? Terlebih setelah Paris, kelompok ekstrimis terus
menyasar kota-kota lain di Benua Eropa. Laman New York Times, Kamis, 18 November 2015 menyebut
salah satu alasan mengapa Eropa menjadi sasaran rentan terorisme karena adanya keterlibatan yang
intens dengan Suriah.
Berdasarkan data yang dikutip NYT dari seorang peneliti di Pusat Kajian Radikalisasi Internasional di
King College London, Shiraz Maher, lebih dari 1.000 warga Prancis telah berangkat ke Suriah untuk
bergabung dengan ISIS. Sementara, 600 warga Jerman turut mengikuti jejak warga Prancis. Belgia
dengan penduduk sekitar 11 juta orang, memiliki 520 pejuang yang sudah berada di Suriah. Sementara,
sekitar 750 warga Inggris ikut berjuang di sana.
Maher memprediksi sebagian dari para pejuang asing itu dilaporkan telah kembali ke negara asal.
“ISIS telah memobilisasi sukarelawan militer terbesar dalam sejarah akhir-akhir ini,” kata Maher.
Menurut analisanya, ancaman kembalinya pejuang asing ke negara asal, bukan sesuatu yang baru. Hal
tersebut sudah terjadi sejak tahun 1980an, namun lalu lintas perjalanan mereka menuju dan dari Suriah
lebih tinggi, sebab akses menuju ke Eropa kini lebih mudah. Berdasarkan hasil penelitian akademisi
menunjukkan, tidak semua sukarelawan militer yang kembali ke negara asal akan menjadi teroris.
Tetapi, 1 dari 10 sukarelawan militer berpotensi menjadi penebar teror.
Sumber lain bahkan menyebut rasionya satu banding empat.
Keterlibatan lain di Suriah yakni terkait upaya negara-negara tersebut yang berkoalisi dengan Negeri
Abang Sam untuk memberantas ISIS. Prancis menjadi salah satu negara yang ikut terlibat. Harian
Telegraph edisi 14 November 2015 melansir total terdapat lebih dari 10 pasukan Prancis yang kini
dikerahkan ke luar negeri antara lain di Afrika Barat, Afrika Tengah dan Irak.
Belum lagi, pada tanggal 7 November lalu, Presiden Prancis, Francois Hollande mengumumkan
pemerintahnya akan mengerahkan sebuah pesawat pembawa jet tempur ke Teluk Persia untuk
membantu menghancurkan ISIS. Maka, tak heran jika dalam laporan serangan ke Paris, terdengar
salah satu pelaku meneriakan kalimat: “ini untuk Suriah”.
Analisa menarik lainnya yang disampaikan Telegraph mengenai Paris yang kerap dijadikan sasaran
teror, yakni karena adanya perasaan terisolasi dan aspirasi yang tidak tersampaikan. Sebagai negara
yang memiliki populasi Muslim yang besar, hanya sedikit individu dengan latar belakang Muslim yang
menduduki posisi penting di bisnis atau politik.
Alhasil banyak dari kelompok Muslim itu yang terlibat tindak kejahatan dan berakhir di penjara.
Celakanya, justru proses radikalisasi narapidana di balik bui tergolong tinggi di Prancis.
Kakak beradik Cherif Kouachi dan Amedy Coulibaly, yang menyerang kantor redaksi majalah Charlie
Hebdo menjadi bukti nyata. Mereka tidak memiliki peluang untuk hidup lebih baik, terjerembab dalam
tindak kriminalitas, berakhir di bui dan diradikalisasi.
Dalam laporan Telegraph sebelumnya, disebut usai peristiwa serangan ke kantor Charlie Hebdo,
Prancis kesulitan mengatasi tumbuhnya radikalisasi dari balik penjara. Mereka justru membatasi
program de-radikalisasi.
Hal tersebut juga disampaikan oleh mantan Menteri Kehakiman, Rachida Dati, yang kini menjadi
pelapor di bidang radikalisasi, mengatakan Pemerintah Prancis kurang maksimal dalam melawan kaum
ekstrimis yang berada di balik jeruji besi.
Alasan lain yang kemungkinan besar menjadi penyebab Eropa disasar kelompok ekstrimis karena
adanya celah di perbatasan antar negara. Sementara, kini warga Eropa harus dihadapkan pada realita
membanjirnya para pengungsi dari Timur Tengah, khususnya Suriah.
Bukan tidak mungkin anggota kelompok ekstrimis menyusup dan berpura-pura menjadi pengungsi lalu
ikut menyeberang ke Eropa. Dugaan itu seolah menjadi kenyataan ketika di dekat jasad pembom bunuh
diri ditemukan paspor Suriah palsu.
Belum lagi adanya laporan yang dikutip laman Express pada Kamis kemarin dan menyebut otoritas
Turki baru saja menangkap delapan orang di bandara utama Ataturk, Istanbul. Menurut sumber di
kepolisian, otoritas berwenang menangkap kedelapan orang itu, karena ditemukan peta yang digambar
dengan tangan bagaimana rute untuk mencapai ke Jerman dari Turki.
Di peta itu tergambar lengkap detail bagaimana mereka harus menumpang perahu untuk
menyelundupkan diri sendiri ke Pulau Kos, Yunani lalu menggunakan kereta dan bus untuk menuju ke
Eropa. Menurut kantor berita Anadolu, kelompok itu berasal dari Kasablanka, Maroko.
Kepada polisi, mereka mengaku sebagai turis yang tengah berkunjung ke Turki. Tetapi, hotel yang
dijadikan rujukan mereka menginap membantah delapan pria itu telah melakukan pemesanan di sana.
Khawatir delapan orang itu bagian dari kelompok ISIS yang menyamar, maka polisi menangkap
mereka.
Cegah Masuk Teroris
Badan Intelijen Prancis, DSGE, kini sedang dituding oleh berbagai pihak telah gagal melakukan
pencegahan. Bahkan, mereka seolah tidak belajar dari kejadian penyerangan ke kantor redaksi Charlie
Hebdo pada bulan Januari lalu.
Beberapa tersangka yang sebelumnya sudah masuk ke dalam pantauan mereka justru dibiarkan
melengang bebas. Terlebih beberapa negara mitra sudah memberikan bocoran informasi mengenai
beberapa individu, namun justru tidak direspons Prancis.
Menurut analis keamanan Prancis untuk organisasi IHS di London, Kit Nicholl, Prancis kekurangan
sumber untuk menganilisa dan menilai individu yang berpotensi membawa potensi terorisme.
Tak mau kebobolan lagi, perwakilan negara-negara Uni Eropa pada hari Jumat ini akan menggelar
pertemuan darurat membahas rencana pengetatan pemeriksaan di titik perbatasan eksternal bagi
pemegang paspor visa Schengen. Pemeriksaan itu juga berlaku bagi warga negara yang masuk ke
dalam blok Schengen.
Ide itu disampaikan oleh Pemerintah Prancis untuk mencegah tragedi berdarah kembali berulang.
Dalam dokumen rancangan kesimpulan setebal enam halaman dan berhasil dilihat Reuters, para
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keadilan dari 26 negara akan menyepakati mengenai sistem
pengetatan pengamanan yang segera diberlakukan.
Bahkan, di dalam dokumen itu, UE berhak untuk melacak mata uang dan pembayaran tanpa identitas
yang dilakukan melalui online. Selain itu, ke-26 negara sepakat untuk berbagi informasi intelijen,
memperketat aturan mengenai kepemilikan senjata dan menghadapi para pejuang asing yang kembali
ke negara asal.
Poin penting yang kemungkinan akan disepakati yakni mengenai perkembangan saling berbagi data
pelancong yang tengah berada di masing-masing negara. Dulu, aturan itu ditentang keras oleh para
pemangku kepentingan UE dengan alasan melanggar privasi masing-masing individu. Tetapi, demi
menjaga keamanan, aturan itu kemungkinan akan dicabut.
Kendati para Menteri 26 negara semangat memberlakukan aturan baru mengenai keamanan, ekspresi
dingin justru terlihat dari kepala pasukan polisi UE, Rob Wainwright. Menurut dia, aturan itu tetap tidak
akan menjamin keamanan penuh bagi warga UE.
Wainwright dalam sidang dengar Parlemen Eropa di Brussel hari Kamis kemarin. V V / IM )