Depancasilaisasi Lewat Perda SI
Saat pemerintah pusat berupaya mempertahankan keutuhan NKRI, pemerintah daerah justru menggerogotinya dengan menelurkan perda-perda SI. Itulah upaya depancasilaisasi yang dilakukan para birokrat dan elite politik dengan cara membajak syariat Islam.
Foto:
Spanduk “Dengan Visi Relijius Islami, Kita Masyarakatkan Poligami,” sindiran bagi syariatisasi di Tasikmalaya dari Partai Nurul Sembako Pimpinan Acep Z Noor.
SEPUCUK undangan dari Desa Garuntungan, Kecamatan Kindang, Bulukumba untuk menghadiri pertemuan kader-kader kesehatan se-kecamatan diterima Maria (nama samaran, red) dengan gembira. Dengan seragam pantalón putih dipadu kemeja putih, bidan desa ini bergegas ke balai desa salah satu desa percontohan syariat Islam itu.
Pelataran balai desa telah dipadati warga. Maria bergegas menuju kerumunan itu. Namun langkahnya dihentikan panitia. Pasalnya, perempuan yang rajin kebaktian di gereja ini tak memakai jilbab, tutup desa setempat tahu Maria adalah non-muslim, sehelai jilbab tetap saja disodorkan.
Maria tak mendebat. “Dari pada jadi masalah, saya pakai jilbab itu dengan terpaksa,” katanya kepada peneliti dari Lembaga Advokasi dan Rakyat (LAPAR), Subair Umam dan Mukrimin Amin di Makassar.
Maria hanya puncak gunung es ‘korban’ pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba No. 5/2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Bulukumba.
Padahal pasal 13 perda itu menyebutkan: “Peraturan Daerah ini hanya berlaku bagi masyarakat yang beragama Islam dan berdomisili dan atau bekerja dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.”
Bahkan ayat 2 di pasal dan perda yang sama menegaskan: “Bagi Karyawan/Karyawati, Mahasiswa/Mahasiswi dan Siswa/Siswi dan pelajar serta masyarakat yang tidak beragama Islam busananya menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi agama masing-masing.”
Selain perda di atas, Bupati Bulukumba Patabai Pabokori pada 25 Agustus 2003, juga mengesahkan dua perda lain yang bernuansa Islam. Yaitu Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah Dalam Kabupaten Bulukumba, juga Perda No. 6/2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba.
“Karena perda mensyaratkan wajib bisa mengaji (baca Al-Quran, red) Â beberapa pernikahan sempat tertunda karena calon pengantin tak dapat memenuhi syarat itu , sedang pihak keluarga sudah sosialisasi pernikahan anaknya. Dalam kebudayaan Bugis Makassar, pembatalan sebuah pernikahan merupakan siri’ (malu). Jadi Perda ini berpotensi memicu konflik sosial,” Subair Umam memaparkan penelitiannya.
Tak hanya bagi calon pengantin, Perda Pandai Baca Al-Quran mengharuskan tiap pelajar yang akan naik kelas atau melanjutkan sekolah untuk menjalani ujian mengaji. Mereka dinyatakan lulus bila bisa membaca Al-Quran dan mendapat sertifikat sebagai tanda kemahiran.
“Sertifikat sebagaimana disebut pada ayat (1) dikeluarkan oleh Bupati atau pejabat yang ditunjuk berdasakan rekomendasi dari sekolah yang bersangkutan dan pengawas pendidikan agama,” jelas pasal 5 ayat 2 perda itu.
Selain perda, Bupati Patabai yang mengaku menggunakan dana taktis daerah untuk mendukung program pakaian muslim ini, juga membentuk 12 desa muslim sebagai percontohan penerapan syariat Islam. Tapi, proyek yang telah dicanangkan bupati itu menyimpan aneka masalah.
“Penentuan antara desa percontohan muslim dan yang bukan, sangat problematik dan bisa menimbulkan kecemburuan antar warga. Mereka yang desanya tidak dianggap sebagai desa muslim juga bisa marah,” tegas anggota DPRD Bulukumba dari Partai Kebangkitan Bangsa, Zainal Abidin kepada Muh. Mabrur dari LAPAR Makassar.
Jejak Bulukumba yang getol menerapkan syariat Islam ini diikuti daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sumatera Barat.
Para legislator daerah berbondong-bondong studi banding dengan kas daerah dan menjiplak peraturan-peraturan bersifat Islami dari kabupaten pengrajin Phinisi itu.
“Teknik legal drafting perda-perda itu bermasalah, karena copy paste. Pergi ke satu daerah, balik dengan Perda dari daerah itu, diganti judulnya, bahkan ada daerah yang lupa nama kabupaten (yang dijiplak, red) masih belum diganti,” ungkap Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana (lihat: Ada Unsur Melecehkan Al-Quran dan Hadits). Taktik legislator daerah yang diungkap Denny itu kembali terbukti, ketika Anggota Komisi A DPRD Depok Qurtifa Wijaya mengakui, Rancangan Peraturan Daerah Anti Pelacuran dan Anti Minuman Keras Kota Depok meng-copy paste peraturan daerah serupa dari Kota Tangerang. “Komisi A sudah melakukan kunjungan ke Kota Tangerang yang memiliki Perda No. 7/2005 tentang Antimiras dan No. 8/2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Kunjungan termasuk juga ke Bali dan Banjarmasin,” kata anggota FPKS ini seperti ditulis Indo Pos (18/4/2006).
Di samping bermasalah pada teknik pembuatan, Denny Indrayana menilai, perda bernuansa Islami tidak mematuhi hierarki perundang-undangan yang Perundang-undangan.
Berdasar UU ini, perda berada di bawah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang lebih dikenal dengan UU Otonomi Daerah (Otda). Disebutkan dalam Pasal 10 ayat 3 UU Otda, urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama merupakan wewenang pemerintah pusat.
“Kalau diatur perda, keagamaan jadi masalah daerah. Maka bisa diinterpretasikan, ini kewenangan pusat yang diserobot oleh daerah,” tegas Doktor Hukum Tata Negara lulusan Universitas Melbourne Australia ini.
Dari situ, Program Officer Pluralisme Watch the WAHID Institute Rumadi menyimpulkan, “Karena babonnya (tiga perda SI Bulukumba, red.) sudah bermasalah, otomatis duplikatnya juga,” katanya (lihat: Tiga Perda SI Bulukumba Dikaji Lewat UU).
Tapi , banyak cara menyelesaikan persoalan yang menumpuk dalam perda itu. Menurut Rumadi, pasal 145 ayat 2 UU Otda menyatakan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Langkah ini disebut executive review.
“Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya perda itu,” imbuh Dosen Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini mengutip ayat 3 pasal yang sama di UU Otda.
Kenyataannya, perda-perda Islami itu masih tetap diberlakukan pemerintah daerah hingga saat ini. “Menurut data yang kami dapat dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, beberapa daerah memang sengaja tidak melaporkan keberadaan perda-perda yang dibuatnya. Ingá saat kami masih mencari data apakah perda-perda Islami itu telah sampai ke tangan Departemen Dalam Negeri atau belum,” kata Rumadi.
Seandainya executive review tidak dijalankan pemerintah, jalan lain yang masih terbuka yaitu mengajukan judicial review ke MA atau mengajukan gugatan ke MK. “Di luar itu ada proses sosiologis, politis, bagaimana masyarakat melakukan pressure di luar konteks hukum agar terjadi legislative review,” jelas Denny Indrayana.
Ironis, saat pemerintah pusat dengan berbagai upaya mempertahankan keutuhan Indonesia, pemerintah daerah dan elite lokal justru menggerogoti persatuan bangsa dengan menelurkan perda-perda dengan membajak syariat Islam.
“Syariat Islam direduksi menjadi sekedar masalah kulit semata yang tidak menyentuh kebutuhan nyata masyarakat. Mereka gagal mempromosikan susbtansi ajaran Islam (maqashid al-syariah) dalam konteks pelayanan publik,” Â kata Rais Syuriyah NU Australia-New Zealand Nadirsyah Hosen (lihat: Â Reformasi Syariat Birokrasi).
Unsur maqâshid al-syarî’ah lainnya yang gagal dipenuhi adalah hifdh al-dîn (memelihara agama). Unsur ini bisa diberi konteks jaminan kebebasan beragama bagi seluruh umat manusia seperti yang dijalankan Rasulullah di Madinah.
Dengan demikian, perda-perda SI tidak saja bisa dibatalkan demi hukum, tapi juga batal demi logika kemanusiaan, bahkan Islam.
Diperlukan ketegasan pemerintah pusat menghentikan proses depancasilaisasi lewat perda SI ini, agar bangsa Indonesia yang beragam tidak terpecah-belah.
Gamal Ferdhi, Nurul H Maarif
Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006
Ref:
Perda Syariah ‘Jilbabisasi’
24 Mar 2009 5 Komentar
by tafany in Masail Fiqhiyah
Oleh Siti Nur Fadhilah
Keberadaan peraturan-peraturan daerah (perda) bernuansa keagamaan Islam atau populer dengan sebutan perda syariah adalah fakta Indonesia hari ini. Perda syariah telah diberlakukan di 37 kabupaten atau kota di Indonesia . Sejauh ini perda bernuansa syariah Islam memang telah terbit di berbagai daerah. Misalnya di Pemerintah Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 451/2712/ASDA.I/2001, lahirlah Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah). Selain Cianjur, terhitung ada 22 daerah yang menerapkan perda bernuansa syariat Islam. Di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan misalnya, diberlakukan Perda Minuman Keras serta Zakat, Infak, dan Sedekah. Demikian pula di Kota Madya Tangerang, Banten yang dipayungi Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelacuran.
Dan belakangan ini muncul polemik yang cukup tajam tentang implementasi peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam tersebut. Inilah isu-isu politik, hukum, dan kebudayaan yang ada di Indonesia hingga saat ini. Sebagai negara yang demokrasi, realitas ini tentu boleh dan masih diperdebatkan di masyarakat. Hemat penulis perdebatan isu perda syariah berujung pada kenyataan mendasar bahwa hubungan agama dan negara belum mampu dipecahkan secara tuntas. Esensi hukum adalah keadilan bagi semua orang dan tanpa diskriminasi atas dasar agama, etnisitas, jenis kelamin, dan sebagainya. Esensi ini disepakati dan menjadi prinsip hukum dasar semua agama dan ide kemanusiaan.
Perda syariah yang menyulut kontroversi tersebut tentu menjadi wacana yang sangat menarik untuk dicermati. Bukan saja karena pro-kontra yang menyertainya tetapi juga sejauh mana signifikansi perda syariah bila ditinjau dari perspektif disiplin ilmu fikih. Dan inilah yang menjadi latar belakang mengapa penulis tertarik membuat makalah mengenai perda syariah. Namun, dari sekian banyak perda syariah yang ada, pada makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai salah satu perda syariah, yakni perda syariah mengenai jilbabisasi yang sudah diberlakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti di Padang , Cianjur, dan Sulawesi Selatan.
A. Pengertian Jilbab
Karena makalah ini membahas mengenai perda syariah mengenai jilbabisasi, penulis terlebih dahulu akan membahas mengenai pengertian jilbab. Dalam kaidah bahasa Arab, Al-Jilbab berarti kain atau pakaian tebal yang menyelimuti anggota tubuh seorang perempuan, mulai dari kepala hingga kedua telapak kakinya. Ada pun, kain yang menutupi kepala hingga melewati dada, dalam bahasa Arab disebut Al-Khimar. Masyarakat Indonesia menyebutnya dengan istilah Kerudung. Namun, karena masyarakat Indonesia lebih akrab dengan sebutan jilbab, maka istilah itu yang digunakan.
B. Pandangan Fiqih Tentang Perda Syari’ah “Jilbabisasi”
Salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang diberlakukan oleh kepala daerah (gubernur) dan disahkan oleh DPRD, adalah perda syariah. Isi perda syariah tersebut salah satunya adalah mewajibkan wanita muslimah untuk menutupi auratnya dengan jilbab dan anjuran memakai jilbab bagi wanita non-Islam. Sebelumnya, kita harus mengetahui terlebih dahulu alasan-alasan mengapa perda syariah tentang jilbabisasi ini diberlakukan di beberapa daerah dan apa tujuannya. Menurut beberapa sumber, kebijakan perda ini digulirkan karena asumsi menurunnya moral kalangan muda dan remaja, disebabkan oleh pakaian mereka yang dianggap kurang Islami. Mereka lebih senang berpakaian ketat, transparan, hingga aurat mereka yang seharusnya tertutupi, malah terlihat. Kemudian mereka juga lebih senang membiarkan rambut mereka terurai dan terlihat dibandingkan mereka harus menutupinya dengan kerudung. Karena itu, pilihan kebijakannya adalah mengembalikan identitas keislaman masyarakat dengan busana muslim.
Selain itu, alasan utama diberlakukannya perda ini adalah karena saat ini di kalangan masyarakat Islam sendiri telah terjadi kemorosotan moral, seperti maraknya pornografi, prostitusi, perjudian, konsumsi minuman keras, kenakalan remaja dan sebagainya, sehingga jika kemerosotan moral tak hendak dibiarkan terus merajalela, maka norma-norma agama sebagai pilar utama moralitas bangsa harus ditegakkan dan salah satu upaya untuk menegakkan moralitas bangsa tersebut adalah dengan menetapkan perda syariah seperti ini. Dan tujuan  diberlakukannya perda syariah ini adalah agar nuansa Islami melekat erat di beberapa daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Dan catatan penting dari tujuan perda “Wajib memakai busana jilbab” ini, sejatinya adalah agar kaum muslimah menyadari arti penting yang asasi, yaitu bahwa kewajiban ini adalah perintah Sang Maha Pencipta, Allah SWT, walaupun sebenarnya tanpa perda ini pun seharusnya para kaum muslimah sudah harus memiliki kesadaran akan kewajiban mengenakan jilbab, tetapi setidaknya perda ini dapat lebih meningkatkan kesadaran para kaum muslimah tentang kewajibannya memakai jilbab.
Dan jika ditinjau dari hukum Islam, hukum memakai jilbab dan menutup aurat bagi wanita muslimah adala wajib. Di dalan fiqih wanita dijelaskan bahwa aurat wanita yang tak boleh terlihat di hadapan laki-laki lain (selain suami dan mahramnya) adalah seluruh anggota badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
Dan yang menjadi dasar hal ini adalah:
- Al-Qur’an surat Annur(24):31 “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur ( Ind : jilbab)nya ke dadanya…’”
Jika kita mencermati, maka ayat ini menegaskan empat hal:
a) Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah SWT.
b) Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
c) Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak. Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kata “kecuali yang biasa nampak…” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar RA. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atho, Imam Auzai dan Ibnu Abbas RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas’ud RA. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.
d) Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak  dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.
- Hadis riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah SAW dengan pakaian yang tipis, lantas Rasululloh SAW berpaling darinya dan berkata:“Hai Asma, seseungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haid (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini,” sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
- Surat Al-ahzab (33): 59 “Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min, supaya mereka mengulurkan jilbab ke seluru tubuh mereka. Yang demikian ini supaya mereka lebi mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”
Dari nash-nash yang mulia ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hikmah atau tujuan Islam mewajibkan para wanita muslimah untuk mengenakan jilbab adalah untuk melindungi kehormatan dan kemuliaan para wanita dari segala gangguan-gangguan syetan  yang dapat menggoncangkan hati pria untuk melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada kaum wanita yang beragama Islam.
Dan dari sini kita juga dapat mencermati bahwa perda syari’ah tentang “wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah” mengandung suatu kemaslahatan, dan jika ditinjau dari hukum fiqih, perda seperti ini sah-sah saja atau boleh-boleh saja diberlakukan karena tujuan dari perda ini tidak bertentangan dengan tujuan hukum Islam sendiri, yakni memelihara kemaslahatan agama dan manusia serta mencegah kemudharatan.
Akan tetapi, kita juga tidak dapat memungkiri, bahwa dalam aplikasinya di masyarakat, perda ini mengalami pro dan kontra. Berbagai macam pendapat yang mendukung ataupun menentang dilontarkan dari pihak yang pro dan kontra terhadap perda ini. Dari pihak yang pro, mereka mengatakan bahwa adanya perda seperti ini bisa menjadi media sosial untuk memberantas berbagai penyakit masyarakat. Keberadaan perda syariat Islam adalah untuk memperbaiki moral bangsa. Bupati Indramayu, Irianto, menambahkan bahwa pemakaian jilbab merupakan salah satu bentuk penangkal berbagai pengaruh buruk di kalangan pelajar. Ini merupakan salah satu cara efektif untuk mulai menekan berbagai perilaku buruk di kalangan siswa. Dikatakan, dengan mewajibkan siswa mengenakan jilbab yang bernuansa islami, secara langsung menanamkan roh-roh akar agama Islam kepada pelajar. Dan bagi yang pihak yang kontra, perda semacam itu dicemaskan melanggar hak-hak dasar warga, memperkeruh toleransi antar-agama, bahkan lebih jauh, mengancam keutuhan bangsa dan negara. Dan dengan adanya pemaksaan memakai jilbab yang terjadi di beberapa SMU seperti di Padang, menimbulkan kesan bahwa Islam adalah agama yang memaksa padahal hal tersebut sama sekali tidak sesuai dengan Islam, karena di dalam Al-Quran sendiri disebutkan bahwa “Tidak ada paksaan dalam agama” dan bahkan di dalam UUD 1945, pasal 29 dijelaskan bahwa “Negara memberikan jaminan kebebasan bagi warga negaranya untuk menjalankan kehidupan beragamanya”.
Selain itu, ada indikasi bahwa kebijakan itu akan cenderung menodai agama. Misalnya, anak-anak yang memakai jilbab tidak dari keinginan batinnya langsung, akan tetap saja menganut pola pergaulan umumnya muda-mudi. Dia bisa saja mojok di pantai dengan mengenakan jilbab, hal seperti itu lebih tepat disebut degradasi syariat, bukan penerapan syariat. Selain itu, penerapan perda seperti ini di negara seperti indonesia yang merupakan negara sub-sekuler juga memunculkan indikasi bahwa perda tersebut merupakan salah satu usaha dari elit politik untuk mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan keyakinan.
Dan untuk menengahi pertentangan-pertentangan ini dan untuk mengoptimalkan perda syariah “jilbabisasi” ini, maka penulis menawarkan solusi, yakni:
1) Dalam meninjau suatu hukum atau peraturan, terutama hukum Islam, kita harus melihat dari dua aspek, yaitu aspek positif (maslahat) dan aspek negatif (mudharat). Apabila peraturan tersebut memiliki aspek positif yang lebih banyak daripada aspek negatifnya, maka untuk apa diperdebatkan?. Dan mengenai kontroversi perda syariah tentang jilbabisasi ini, penulis merasa bahwa masalah ini tidak lagi harus dipersoalkan, karena daripada kita terus menerus mempersoalkan tentang perda “jilbabisasi” ini, lebih baik kita memikirkan hal-hal lain yang lebih important, seperti masalah korupsi yang kian hari bukannya kian berkurang, tetapi kian merajalela di negara kita.
2) Seharusnya, masing-masing kubu berupaya mengarahkan masyarakat pada peraduan wacana dulu, tanpa sikap doktriner yang menafikan kubu lain. Islam sebagai ideology yang diyakini kebenarannya oleh setiap muslim aalah niscaya. Tapi sikap berislam terbenar, tak ada yang dapat mebuktikannya. Nabi Muhammad sendiri telah meramalkan tentang perbedaan antara ummat islam. Perbedaan ini akan menjadi rahmat manakala masing-masing kubu legowo bahwa ada kebenaran lain disamping kebenaran subjektif yang diyakininya. Karena kebenaran sesungguhnya adalah milik Allah.
3) Perda syariah memang banyak aspek positifnya, akan tetapi ketika penerapan Syariah Islam tidak sempurna, maka tidak akan menyelesaikan seluruh problematika manusia. Sebagai gambaran, masalah pemerkosaan, tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemberlakuan jilbab saja. Ini juga terkait dengan masalah pendidikan masyarakat yang harus secara gratis diperoleh oleh masyarakat. Juga kurikulum pendidikannya, yang benar-benar harus menghasilkan anak-anak didik dengan kepribadian mulia agar mereka bisa terhindar dari split personality, satu sisi mendapatkan ilmu di sekolah, tapi di sisi lain kosong dari moral. Oleh karena itu, dalam mengoptimalkan perda syari’ah ini, maka harus ditunjang dengan moral education, yang dapat diajarkan di sekolah-sekolah.
Kesimpulan
Saat ini, di Indonesia telah muncul banyak sekali perda syariah. Salah satu perda syariah tersebut adalah mengenai “Jilbabisasi”. Perda ini berisi tentang wajib memakai jilbab bagi wanita muslimah dan anjuran memakai jilbab bagi wanita non-muslim. Perda tentang Jilbabisasi ini telah diberlakukan di beberapa daerah dan perda semacam ini menimbulkan banyak kontroversi di kalangan masyarakat.
Bagi yang pro, mereka mengatakan bahwa perda “Jilbabisasi” ini merupakan solusi bagi masalah kemerosotan moral yang sedang terjadi di masyarakat, sedangkan bagi yang kontra, mereka mengatakan bahwa perda semacam ini dapat menimbulkan diskriminasi bagi masyarakat yang beragama non-Islam. Selain itu, perda ini juga memberikan peluang terhadap munculnya konflik antar-umat beragama. Oleh karena itu, mereka meminta pemerintah daerah untuk segera membatalkan perda syariah seperti ini.
Saran
Karena perda jilbabisasi ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, maka penulis memberikan saran kepada pemeritah daerah yakni bahwa ketika suatu daerah ingin menerapkan suatu peraturan, maka peraturan tersebut hendaknya memperhatikan masyarakat yang minoritas dengan alasan agar masyarakat yang minoritas tidak merasa terdiskriminasikan dengan peraturan tersebut. Selain itu, perda syariah yang telah ada saat ini, hendaknya dioptimalkan dalam hal pelaksanaannya agar tujuan dari pemberlakuan perda tersebut dapat tercapai dengan baik. Dan saran penulis kepada masyarakat Indonesia yang kontroversi terhadap perda syariah seperti ini, sebaiknya kita mengambil sisi positifnya saja dari perda-perda syariah yang ada dan kita jadikan perbedaan pendapat ini sebagai suatu pembelajaran bagi kita agar kita dapat bersikap lebih bijaksana lagi dalam menyikapi segala hal yang berbau kontroversial seperti ini.