Legenda Asal Usul Danau Maninjau_Bagian ke-1


Catatan Redaksi: Cerita ini bersumber dari sebuah Buku Cerita Rakyat yang dikirim oleh seorang

yang bernama Reyhan Chaniago lalu diringkas dan diedit oleh penulis untuk (sumber: Buku Cerita

Rakyat/dikirim oleh: Reyhan Chaniago/diringkas dan diedit oleh Eddy Djaja/IM)

disajikan kepada para pembaca Indonesia Media yang menyukai membaca berbagai dongeng untuk

pengantar tidur.

Danau Maninjau sudah cukup terkenal dan merupakan sebuah danau vulkanik yang terletak di

Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas

sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di

Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita rakyat, Danau Maninjau pada mula-
nya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang besar. Oleh karena ulah

manusia, gunung berapi ini meletus dan membentuk sebuah danau yang luas. Ikutilah legenda asal usul

Danau Meninjau berikut ini:

Pada jaman d ahulu kala di sebuah daerah di Sumatra Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi

bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang besar, dan di kakinya terdapat

beberapa perkampungan rakyat. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka rajin bertani.

Di samping itu, tanah yang ada di sekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk

alami berupa abu gunung. Di salah satu perkampungan itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri

dari sembilan lelaki dan seorang perempuan. Penduduk biasa memanggil mereka Bujang Sembilan.

Kesepuluh orang bersaudara itu adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang,

Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu adalah

seorang perempuan bernama Siti Rasani, akrab dipanggil Sani. Kedua orangtua mereka sudah lama

meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan ada

di tangannya.

Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal di sebuah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Untuk

memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas yang merupakan warisan

dari kedua orangtua mereka. Mereka sangat terampil bertani, karena mereka rajin membantu ayah dan

ibunya ketika keduanya masih hidup. Di samping itu, mereka juga dibimbing oleh paman mereka yang

bernama Datuk Limbatang, yang akrab mereka panggil Engku. Datuk Limbatang adalah seorang mamak

di kampung itu dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai mamak, Datuk Limbatang

memiliki tanggungjawab besar untuk mendidik dan memperhatikan kehidupan warganya, termasuk

kesepuluh orang kemenakannya tersebut. Untuk itu, setiap dua hari sekali, ia berkunjung ke rumah

Kukuban bersaudara untuk mengajari mereka keterampilan bertani dan berbagai tata cara adat daerah itu.

Tak jarang pula Datuk Limbatang mengajak istri dan putranya ikut serta.

Pada suatu hari, ketika Datuk Limbatang bersama istri dan Giran berkunjung ke rumah Bujang Sembilan,

secara tidak sengaja Sani saling berpandangan dengan Giran. Rupanya, kedua pemuda dan gadis itu sama-
sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai. Dengan

hati berdebar, Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.

“Dik, Sani! Wajahmu cantik nan elok, perangai baik nan berhati lembut. Maukah engkau menjadi kekasih

Abang?” tanya Giran. Pertanyaan itu membuat jantung Sani berdetak kencang. Dalam hatinya, ia juga

suka kepada Giran. Maka ia pun mengutarakan kata hatinya. Alangkah senang hati Giran mendengar

jawaban dari Sani. Ia benar-benar merasa bahagia karena cintahnya bersambut. Maka sejak itu, Giran

dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan

mereka. Namun karena khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang

kepada keluarga mereka masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang

dan bahagia, karena hal tersebut dapat mempererat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin

hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Bahkan, ia sering

membantu Bujang Sembilan bekerja di sawah.

Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil yang melimpah. Untuk

merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan

gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampung menyambut

gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia

acara. Tidak ketinggalan pula Kukuban dan Giran turut ambil bagian dalam acara tersebut. Pada hari

yang telah ditentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun

terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul

gong pertanda acara dimulai. Rupanya, Kukuban mendapat giliran pertama tampil bersama seorang

lawannya dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling

adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta

berikutnya. Ternyata, Kukuban berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu per

satu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Kukuban, namun belum seorang pun yang

mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban

menghadapi lawan yang seimbang. (bersambung)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *