Legenda Asal Usul Danau Maninjau_Bagian ke-3 Tamat


Catatan Redaksi:

Cerita ini bersumber dari sebuah Buku Cerita Rakyat yang dikirim oleh seorang yang bernama

Reyhan Chaniago lalu diringkas dan diedit oleh penulis untuk disajikan kepada para pembaca

Indonesia Media yang menyukai membaca berbagai dongeng untuk pengantar tidur

Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang

dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia

tetap tidak mau menerimanya. “Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah

adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.“Baiklah,

Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini

dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.

Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat

bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-
idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk

termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal

yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar.

Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk

merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi. “Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.

“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik

ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani

sambil menghela nafas panjang.Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga

menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong

ranting berduri tersangkut pada sarungnya. “Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget. “Wah, sepertinya

pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.

Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan

darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang

keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama

beberapa warga lainnya. “Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban. Giran dan Sani pun tidak tahu harus

berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-
gerik mereka. “Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.

“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata

Giran. “Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.

“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk

dihukum,” sambung seorang warga. Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang

persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian

bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun

Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan

memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan

mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang

ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.

Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran

dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya

di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka

diberi kesempatan untuk berbicara. “Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan

terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran. Setelah itu, Giran menengadahkan

kedua tanganya ke langit sambil berdoa. “Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami

memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan

tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!” Usai

memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam

air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran

benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar.

Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan

diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir

menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk

menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung

itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.

Demikianlah cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat. Konon, letusan Gunung Tinjau

itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar,

nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-
nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau,

seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan

Sungai Batang.Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat

dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat

buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan

Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam

dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam

kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. (sumber: Buku Cerita Rakyat/dikirim

oleh: Reyhan Chaniago/diringkas dan diedit oleh Eddy Djaja/IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *