Catatan Redaksi:
Cerita ini bersumber dari sebuah Buku Cerita Rakyat yang dikirim oleh seorang yang bernama
Reyhan Chaniago lalu diringkas dan diedit oleh penulis untuk disajikan kepada para pembaca
Indonesia Media yang menyukai membaca berbagai dongeng untuk pengantar tidur
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang
dikatakan Datuk Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia
tetap tidak mau menerimanya. “Terserah Engku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah
adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Engku,” kata Kukuban dengan ketus.“Baiklah,
Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini
dapat berubah,” kata Datuk Limbatang seraya berpamitan pulang ke rumah bersama istrinya.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat
bersedih mendengar putusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-
idamkan selama ini. Sejak kejadian itu, Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk
termenung memikirkan jalah keluar bagi masalah yang dihadapinya. Begitupula si Giran, memikirkan hal
yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berpikir, namun belum juga menemukan jalan keluar.
Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk
merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi. “Apa yang harus kita lakukan, Dik?” tanya Giran.
“Entahlah, Bang! Adik juga tidak tahu harus berbuat apa. Semua keputusan dalam keluarga Adik
ada di tangan Bang Kukuban. Sementara dia sangat benci dan dendam kepada Abang,” jawab Sani
sambil menghela nafas panjang.Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga
menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong
ranting berduri tersangkut pada sarungnya. “Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget. “Wah, sepertinya
pahamu tergores duri. Duduklah Adik, Abang akan mengobati lukamu itu!” ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan
darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saat itulah, tiba-tiba puluhan orang
keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sembilan bersama
beberapa warga lainnya. “Hei, rupanya kalian di sini!” seru Kukuban. Giran dan Sani pun tidak tahu harus
berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-
gerik mereka. “Tangkap mereka! Kita bawa mereka ke sidang adat!” perintah Kukuban.
“Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri,” kata
Giran. “Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kamu mengusap-usap paha adikku!” bentak Kukuban.
“Iya benar! Kalian telah melakukan perbuatan terlarang. Kalian harus dibawa ke sidang adat untuk
dihukum,” sambung seorang warga. Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ke ruang
persidangan. Kukuban bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberi kesaksian
bahwa mereka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Giran dan Sani. Meskipun
Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu oleh Datuk Limbatang, namun persidangan
memutuskan bahwa keduanya bersalah telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan
mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang
ke kawah Gunung Tinjau agar kampung tersebut terhindar dari malapetaka.
Keputusan itu pun diumumkan ke seluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran
dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya
di pinggir kawah, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka
diberi kesempatan untuk berbicara. “Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan
terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran. Setelah itu, Giran menengadahkan
kedua tanganya ke langit sambil berdoa. “Ya Tuhan! Mohon dengar dan kabulkan doa kami. Jika kami
memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah gunung yang panas ini. Akan
tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan!” Usai
memanjatkan doa, Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam
air kawah. Sebagian orang yang menyaksikan peristiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran
benar-benar tidak bersalah dan doanya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar.
Permohonan Giran dikabulkan oleh Tuhan. Beberapa saat berselang, gunung itu tiba-tiba bergetar dan
diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir
menuju ke perkampungan dan menghancurkan semua yang dilewatinya. Semua orang berusaha untuk
menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung
itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan.
Demikianlah cerita Asal Usul Danau Maninjau dari Agam, Sumatra Barat. Konon, letusan Gunung Tinjau
itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar,
nama gunung itu kemudian diabadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-
nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari di sekitar Danau Maninjau,
seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok, Kukuban, dan
Sungai Batang.Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik, yaitu akibat
buruk yang ditimbulkan oleh sifat dendam. Dendam telah menjadikan Kukuban tega menfitnah Giran dan
Sani telah melakukan perbuatan terlarang. Dari hal ini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat dendam
dapat mendorong seseorang berbuat aniaya terhadap orang lain, demi membalaskan dendamnya. Dalam
kehidupan orang Melayu, sifat dendam ini sangat dipantangkan. (sumber: Buku Cerita Rakyat/dikirim
oleh: Reyhan Chaniago/diringkas dan diedit oleh Eddy Djaja/IM)