Koordinasi Aparat Keamanan Lemah, Jaringan Teroris Meluas


Meluasnya jaringan teroris dan maraknya aksi teror berupa peledakan bom di Indonesia tidak disebabkan oleh terbatasnya kewenangan intelijen selama ini. Yang terjadi justru koordinasi yang lemah di antara aktor-aktor keamanan dalam menanggulangi masalah tersebut.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti kepada SP di Jakarta, Jumat (30/9).

Sebelumnya, pasca terjadinya bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton, Surakarta, Minggu (25/9), Kepala BIN Soetanto menyatakan bahwa aparat intelijen telah menyampaikan dugaan akan terjadinya aksi peledakan bom di Surakarta tersebut kepada aparat kepolisian, akan tetapi informasi BIN tersebut tidak ditanggapi kepolisian. BIN menyatakan bahwa aksi terorisme menjadi lebih sulit ditanggulangi, sehingga BIN mengharap diberikannya kewenangan lebih di dalam RUU Intelijen Negara yang saat ini sedang dibahas di DPR.

Menanggapi itu Poengky mengemukakan, upaya pemerintah untuk melakukan penguatan kewenangan intelijen melalui pembahasan RUU Intelijen Negara dalam rangka pemberantasan teroris justru mempersempit makna dan tujuan dari perlunya pengaturan intelijen dalam peraturan perundang-undangan. “Seharusnya RUU ini tidak memberikan kesempatan atau ruang bagi aparat intelijen untuk menggunakan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum,” katanya.

Keinginan intelijen untuk memiliki kewenangan khusus dengan melakukan pelanggaran hukum dan HAM, katanya, merupakan suatu bukti bahwa intelijen masih menggunakan paradigma intelijen otoriter.

Karena itu, pemerintah dan DPR seharusnya tetap mengacu pada aturan hukum dan HAM dalam membahas kewenangan intelejen pada RUU Intelejen Negara. Pemerintah dan DPR juga harus tetap berpegang pada semangat reformasi intelejen. Desakan untuk memberikan kewenangan lebih kepada intelejen untuk menangkap, menahan, melakukan interogasi dan menyadap, haruslah ditolak, karena hal tersebut sudah masuk dalam ranah penegakan hukum.
“Aparat intelejen adalah aparat extra judicial, sehingga tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ranah hukum,” katanya.

Terlepas dari masih banyaknya kelemahan dalam draft terbaru RUU Intelejen Negara, Imparsial memberikan apresiasi kepada DPR yang telah menolak kewenangan menangkap dan menahan. “Akan tetapi kami juga masih mempermasalahkan diberikannya kewenangan menyadap dan melakukan penggalian informasi sebagai pengganti interogasi kepada intelijen,” katanya.

Dia menegaskan, penyadapan harus mengacu pada putusan MK terkait UU ITE yang mengharuskan adanya pengaturan terlebih dahulu dalam bentuk UU. Berdasarkan pasal 31 ayat (1) point-b UU Terorisme, kewenangan untuk menyadap dalam penanggulangan terorisme adalah merupakan kewenangan penyidik. Sehingga, aparat intelijen tidak diperkenan menabrak aturan hukum yang sudah ada.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *