KKP Maintain 36 Hak Paten Industrialisasi Perikanan


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah punya sekitar 36 hak paten hasil penelitian untuk mendukung kegiatan industrialisasi, dan akan menjaga dalam konteks perlindungan hukum. Hak paten KKP berimplikasi pada kewajiban pembayaran maintenance (penjagaan) sebagaimana yang diatur dalam Undang Undang mengenai HAKI (hak kekayaan intelektual). “Kita harus mengeluarkan biaya untuk maintenance. Kita tidak bisa menghindar karena sudah tertera dalam Undang Undang. Begitu kita daftar untuk hak paten, dan diakui oleh Kementerian Hukum dan HAM, kita punya kewajiban bayar,” Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KKP Achmad Poernomo mengatakan kepada pers.
Sebagai perbandingan, Ketua BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mengeluarkan biaya sekitar Rp 1 milyar untuk maintenance.Sementara LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) mengeluarkan biaya Rp 300 juta untuk tagihan terakhir. Masa pembayaran sangat tergantung dari kategori paten, mulai dari per tahun, tiga tahun, lima tahun dan seterusnya. “Paten sederhana mungkin lebih murah. Yang non-sederhana, sebaliknya. Yang kita ajukan sebagai hak paten, tentunya yang bernilai jual. Sehingga kita bisa mendapat royalty fee.Sehingga kita sangat hati-hati mendaftarkan (hak paten).”
Dari 36 hak paten, semua hasil penelitian Balitbang adalah unggulan. Sebelumnya Balitbang sudah terlebih dahulu menyaring berbagai hasil penelitian baik intern maupun ekstern KKP. KKP mengundang para peneliti dari berbagai institusi. Lalu peneliti mempresentasikan hasil kerjanya. Setelah yakin, hasil penelitian tersebut memberi manfaat dan berdaya guna, KKP akan mendaftarkan untuk hak paten. “Di KKP ada tim penilai. Kita meneliti, dan pernah menemukan temuan baru di lapangan, yaitu Nila Srikandi. Kami daftarkan untuk hak paten supaya ada perlindungan hukum. Kita serahkan ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Selain Nila, kita juga punya hak paten antilin, kantong rumput laut, dan lain sebagainya.”
Nila Srikandi merupakan strain ikan nila unggulan hasil persilangan (cross breeding), produksi Balai Penelitian Pemuliaan Ikan. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balitbang sempat merakit terlebih dahulu ikan Nila tersebut. Dari rakitan, peneliti mendapat strain ikan yang mampu tumbuh cepat di perairan payau (bersalinitas tinggi). Nila Srikandi dibentuk dari perkawinan silang antara ikan nila Nirwana betina dengan ikan nila biru jantan. Nila Nirwana dirilis tahun 2006 yang lalu, merupakan strain ikan nila hitam hasil seleksi Balai Pengembangan Benih Ikan (BPBI) Wanayasa, Purwakarta Jawa Barat. “NIla Srikandi, salah satu bapaknya dari (spesies ikan) Afrika. Kita kawin-silangkan. Satu sumber, yaitu Nila yang hidup di laut, yang kita punya. Ada unggulan, kita kawin-silangkan, dan sekarang budidayanya di pulau Seribu. Ada juga nila GIFT, unggulan juga. Semua ini hasil penelitian dari berbagai jaringan.”
Di sisi lain, KKP mengambil sikap terhadap para peneliti asing baik individu maupun institusi. Sikap untuk duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dalam berbagai kegiatan dan memanfaatkan hasil penelitian. KKP tidak bisa memenuhi permintaan berbagai hal dalam kegiatan penelitian bersama. Misalkan ada peneliti asing yang mau menentukan sendiri model dan lokasi kegiatan penelitian. KKP tidak akan memenuhi, kecuali kegiatan dikerjakan bersama dengan prinsip equal partnership. “Hal ini perlu, karena kalau mereka yang menentukan, hasil penelitian bisa dicuri. Kami sudah membuat satu sikap, yaituequal partnership.”
Alasan lain untuk equal partnership, Indonesia memiliki sumber daya yang lebih baik. Sementara orang lain, peneliti asing belum tentu punya seperti yang ada di Indonesia. Penelitian harus dilindungi dalam satu dokumen kerjasama dan berazaskan hukum. “Ada pasal dalam Undang Undang mengenai intellectual property rights (hak kekayaan intelektual) untuk melindungi hasil penelitian kita. Kita juga butuh dokumen bersama. Sehingga hasil penelitian milik berdua (pihak). Mereka (peneliti asing) juga tidak bisa memublikasikan sendiri hasil penelitian. Walaupun mereka memberi hibah (uang), tapi tetap tidak bisa. Ada aturan mainnya.”
KKP juga belajar dari pengalaman LIPI. Beberapa waktu yang lalu, ada kerjasama penelitian LIPI dengan institusi asing. Materinya mengenai spesies serangga, yaitu kumbang di Sulawesi. LIPI memberi nama spesies baru tersebut, yaitu Kumbang Garuda. Tetapi seketika peneliti kembali ke negaranya, ia memublikasikan di dunia internasional. “Dia meng-claim, bahwa hasil penelitian milik dia. LIPI sempat mengirim letter of complaint (surat pengaduan).”
Belajar dari pengalaman tersebut, KKP mengambil sikap tegas terhadap hasil penelitian. Peneliti asing harus menyatakan bahwa hasil penelitian milik bersama, kalau memang ada kesepakatan dua pihak. Hasil penelitian juga tidak boleh dibawa ke luar negeri, kecuali ada izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan. “Hasil penelitian, ibaratnya barang yang kecil tapi bisa berkembang menjadi uang dalam jumlah besar. Peneliti asing punya teknologi canggih, punya dana, dan lain sebagainya. Sehingga barang (hasil penelitian) yang kecil bisa komersial, bernilai tinggi.”
Sejauh ini, KKP baru memilik enam fasilitas balai penelitian di enam provinsi. Rencananya, KKP akan menambah empat fasilitas baru. Ke-empat balai tersebut, antara lain di Makasar (Sulawesi Selatan) untuk pengembangan budidaya garam. Kedua, balai penelitian di pulau Bintan (Kepulauan Riau) untuk penelitian social ekonomi Laut China Selatan (LCS). Ketiga, balai penelitian di Bitung (Sulawesi Utara) untuk ikan tuna cakalang. Keempat, yaitu balai penelitian di pelabuhan Benoa (Bali). “Kita meneliti tuna di Benoa di Samudera Hindia, dan tuna Cakalang di Bitung. Yang baru saja kita resmikan, (hasil penelitian) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Pandansimo Yogyakarta.” (SL)
Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *