Kisah Perjuangan PK Ojong Sang Pendiri Kompas, Korannya Ditutup karena Melawan Bung Karno


Warisan (legacy) PK Ojong, sang pendiri Kompas, menancap kuat bagi masyarakat luas.

Selain Harian Kompas dan Kelompok Gramedia, Ojong juga ikut mendirikan Universitas Tarumanagara di Jakarta.

Aura kecendikiawanan itu dilanjutkan oleh sahabatnya, Jakob Oetama, dimana Kompas Gramedia kemudian melahirkan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada 2006.

Kebiasaannya membantu penderitaan orang lain, juga diwujudkan dengan ikut mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

LBH merupakan lembaga yang gigih berpihak membela kepentingan rakyat kecil. Lembaga ini didirikan oleh Gubernur DKI Ali Sadikin, termasuk Ojong ikut membidaninya.

Di Harian Kompas, Ojong meneruskan ketajamannya dalam menulis.

Ia membuka rubrik Kompasiana, dan di rubrik itu ia tak segan membela masyarakat yang tertindas, memberi saran ke pemerintah, termasuk mengktitik kebijakan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI.

Ojong juga termasuk peduli terhadap lingkungan. Ia kerap memberi gagasan ke Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, mengenai penghijauan di Jakarta.

Satu kebiasaan dalam hidupnya, ia selalu membawa buku catatan ke mana pun pergi. Ia mencatat kegiatan sehari-hari.

Tidak hanya rencana harian, tetapi juga tempat yang didatangi, cuaca hari itu, menu makanan, uang yang dikeluarkan.

Catatan ini tidak hanya membantu pelaksanaan rencana tetapi juga membantu ingatan.

Meskipun mempunyai anak buah yang banyak, PK Ojong tidak hanya mendengar laporan, tetapi langsung melihat ke lapangan.

Jiwa wartawannya yang selalu mengecek fakta tak pernah ditinggakan meskipun sudah memimpin banyak lembaga bisnis.

Dalam kesederhanaannya, PK Ojong kerap mentraktir karyawan yang bekerja di sif malam, dengan memberi telur rebus dan kacang hijau untuk membantu menjaga kesehatan mereka.

Tradisi ini terus berjalan di Kompas Gramedia berupa pembagian telur atau susu bagi karyawan percetakan atau redaksi yang bertugas di sif malam.

Profesi wartawan yang rentan stres juga menjadi perhatian.

Karena kepeduliannya, lahirlah Wisma Pacet dan Wisma Karang Bolong sebagai tempat rekreasi pelepas penat bagi wartawan atau karyawan Kompas Gramedia.

Salah satu alasan didirikannya Toko Gramedia pun adalah untuk memudahkan akses bacaan bermutu bagi para wartawan guna memperluas wawasan mereka.

Tugas media sebagai kontrol bukan menjilat penguasa, kata PK Ojong, pendiri Kompas.
Tugas media sebagai kontrol bukan menjilat penguasa, kata PK Ojong, pendiri Kompas. (Warta Kota/Istimewa)

Pengamat politik dan satu di antara pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Harry Tjan Silalahi, sangat mengenal sosok Petrus Kanisius (PK) Ojong sebagai sosok pers yang berintegritas.

Di kalangan masyarakat kelas menengah ke atas, terutama para pemikir, Harry Tjan Silalahi dikenal sebagai intelektual publik yang mempunyai pandangan luas dan tajam.

Harry Tjan mengenang sosok PK Ojong alias Auw Jong Peng Koen saat sama-sama tergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ia memanggil Ojong sebagai seniornya.

“Beliau sebagai senior. Saya pernah tanya yang mana PK Ojong. Kemudian yang ditanya menjawab, yang itu. Saya pun datang minta tanda tangannya,” kata Harry Tjan kepada Tribun Network.

Harry Tjan sebetulnya sudah ingin menemui PK Ojong saat Ojong masih menjadi Pemimpin Redaksi Star Weekly sekira tahun 1951. Pada waktu itu, Harry Tjan kerap membaca Star Weekly.

“Karena tulisan, cerita rakyat dan menerbitkan Star Weekly yang memiliki cerita Sie Jin Kwie dan lain-lain, yang menarik pada waktu itu,” imbuh Harry Tjan.

Semasa hidup, kata Harry, PK Ojong dikenal sebagai seorang wartawan yang sederhana dan berdedikasi tinggi. Bahkan, Harry Tjan menilai Ojong sebagai sosok yang bermoral tinggi.

“Seorang guru, cakap, kalau orang Jawa priayi dan bermoral tinggi dan setia pada pekerjaannya,” sambungnya.

Berikut petikan wawancara eksklusif Tribun Network bersama Harry Tjan Silalahi:

Bagaimana mengenal sosok PK Ojong?

Dia memang orang pers yang besar. Sewaktu saya SMA di Jogja, itu sering membaca penerbitan-penerbitan yang dikeluarkan oleh surat kabar Keng Po.

Ojong setelah tamat sekolah dan di Jakarta, zaman republik dia bekerja di perusahan di mana Keng Po diterbitkan.

Di situ dia jadi wartawan atau apa, tapi kemudian beliau diberi kuasa untuk menjadi pemimpin redaksi Star Weekly.

Dan itu memang untuk anak-anak muda pada waktu itu, terutama untuk keturunan Tiong Hoa, karena di situ ada cerita Sie Jin Kwie.

Tertulis ilustrasi dan Pak Ojong menceritakan masalah budaya dan kesenian secara bagus dan mendidik. Itu sikap.

Secara politis memang sedikit oposan terhadap Bung Karno. Maka koran ini atas pengaruh golongan Marxis ditutup.

Pada waktu majalah dan koran ini ditutup, Pak Ojong itu bekerja membantu permulaan Kompas dengan menerbitkan majalah Intisari.

Intisari itu majalah yang ingin mengganti atau seperti Reader’s Digest. Dan yang mempunyai lisensi itu Ikatan Sarjana Katolik Indonesia, untuk menerbitkan Reader’s Digest, yang namanya Intisari di mana Pak Ojong menjadi kepalanya.

Pada waktu itu setiap organisasi politik terutama partai-partai di Indonesia oleh Bung Karno harus punya terompet atau surat kabar sendiri. Misalnya, PNI punya Suluh Indonesia, PKI punya Harian Rakjat.

Nahdlatul Ulama punya Duta Masyarakat, Protestan punya Sinar Harapan, Katolik tidak punya pada waktu itu. Tapi ada anak muda yang ingin bisa, yaitu pak PK Ojong, yang sanggup menangani surat kabar ini.

Secara personal Anda mengenal PK Ojong sosok seperti apa?

Seorang guru yang cakap. Kalau orang Jawa, priyayi dan bermoral tinggi dan setia pada pekerjaannya. Saya mengenal Ojong di dalam rapat dan lain-lainnya, di dalam pekerjaan, di organisasi.

Saya pertama kali bertemu saat saya dipelonco, di PMKRI Jakarta, beliau sebagai senior dalam perpeloncoan.

Saya tanya yang mana PK Ojong, yang itu, saya datang minta tandatangannya. Itu perkenalan. Tapi hasrat untuk bertemu saat saya di SMA di Jogja.

Karena tulisan, cerita rakyat dan menerbitkan Star Weekly yang memiliki cerita Sie Jin Kwie dan lain-lain, yang menarik pada waktu itu. Setelah di sini saya kenal dan beliau aktif di Ikatan Sarjana Katolik Indonesia.

Pada tahun 1955 pemilihan umum pertama, Pak PK Ojong menganjurkan supaya orang memilih dalam pemilihan umum.

Karena pada waktu pemilihan konstituante, badan yang akan Anda pilih itu akan menyusun tata krama dan susunan pemerintah di Indonesia, oleh karena itu penting sekali.

Di situ akan diletakkan dasar, tujuan, dan cita-cita kenapa kita mendirikan bangsa. Oleh karena itu partisipasi rakyat yang berkepentingan menjadi harus disadarkan dan harus dilakukan.

Oleh karena itu saya sering mengikuti ceramah-ceramah beliau tentang konstitusi, pentingnya konstitusi dan pentingnya memilih.

Nilai-nilai apa yang ditanamkan PK Ojong?

Nilainya demokrat, humanis, tentu saja dia menggambarkan kristianiti karena beliau memegang teguh kemerdekaan agama dan beragama, dan beribadah menurut kepercayaan tentu saja. Tapi secara umum nasionalis, rule of law, humanis, demokratik, halus.

Apa yang bisa ditiru oleh generasi saat ini?

Semua itu. Itu penting sekarang. Karena dasarnya sesuai dengan kodrat manusia, yang baik, yang terhormat.

Oleh karena itu Ojong Peng-Koen membawa cita-cita itu. Dan itu diproyeksikan di dalam penerbitan-penerbitan.

Dan nampaknya pada saat Partai Katolik mendapatkan tugas, atau mendapat hak untuk bisa mendirikan surat kabar. Maka Pak Ojong bersama Pak Jakob Oetama membawa suara hati nurani rakyat. Itu motto dari Kompas.

Dan pada waktu mendirikan gedung Kompas beliau bilang, dulunya tidak punya apa-apa.

Tapi setelah cukup permulaan Orde Baru, beliau berani mendirikan Kompas, gedung peralatan di Palmerah itu.

Pada waktu beliau mendirikan di Palmerah itu, pesan sama para wartawannya, saudara-saudara sekalian kita sekarang punya gedung, rumah.

Tapi ibaratnya gedung memiliki kaki empat, dia bilang, satu kaki yang kepunyaan kita, tiga lainnya utangan, 75 persen pada waktu itu, cuma 25 persen berasal dari sendiri. Oleh karena itu, Ojong bilang, jagalah baik-baik.

Jagalah baik-baik itu bukan jangan ambruk, rusak, enggak. Tapi jaga baik-baik itu juga di dalam menjalankan tugasnya.

Karena ini modal tidak material, tapi modal moral juga ideal dari rakyat Indonesia yang Pancasila dan kerakyatan.

Itu yang menjadi cita-cita Ojong bersama Jakob Oetama. Sekarang sudah besar terjaga dengan utuh menjadi menara.

Saya tidak tahu kalau Ojong hidup lagi senang atau kaget. Tapi ini adalah cita-citanya. Oleh karena itu that’s Pak Ojong.

 

Mereka mengembangkan Kompas, yang dulu namanya surat kabarnya Bentara Rakyat, tapi Bung Karno bilang namanya lemah, pasif.

Namanya harus Kompas, itu namanya dari Bung Karno. Untuk bisa memberi arah. (WK / IM )

 

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *