Begini rasanya seekor katak di dalam tempurung. Dunia luar hanya secupit pemandangan di luar jendela.
Selama 14 hari di dalam wajib karantina ketibaan di Hong Kong, hari ini baru hari ke-5 mendekuk di dalam kamar hotel.
Hotel wajib karantina sudah ditentukan, kita pilih ini yang terletak di Tsim Sha Tsui, pikirnya di daerah Kowloon yang paling convenient.
Di kepetangan malam hari, taxi dari bandara membawa kita kesini, kelihatan sini bukan daerah yang layak ditinggali. Sedikit banyak ada perasaan yang menguatirkan keamanannya, tetapi apa boleh buat, tidak banyak hotel yang rela ditugaskan sebagai penampungan karantina.
Sudah memesan kamar yang lebih bagus, yang agak mahal, katanya dengan pemandangan kota dan sebagainya. Kamarnya kecil, sempit dan dangkal di tingkat 15. Tidak ada meja, tidak ada kursi duduk, dan tidak disediai lemari, hanya ada 2 baris ranjang, kamar sudah sesak.
Dekornya sewaktu jaman Susie Wong, lapisan kertas tembok motip dedauanan yang di sana sini sudah mengupas. Untungnya ranjang-ranjang berupa dipan yang cukup tinggi, di kolongnya bisa buat menyembunyikan koper, kalau bukan begitu, harus melangkah diatas ranjang untuk masuk ke dalamnya kamar.
Ada TV ukuran 36 inci, hanya menyiarkan beberapa kanal local, mencoba cari pengabaran kerusuhan pro-demokrasi dan pengrusakan Hong Kong, yang selama beberapa bulan tidak terkendalikan, juga tidak ada.
Kurang demokrasi apa di Hong Kong sekarang ini, ketimbang di waktu jajahan imperialis dulu itu? Kedoknya terbongkar, ternyata pengrusakan kota secara sistematis itu merupakan hasutan CIA untuk menggoncangkan stabilitas negeri China.
Beberapa pemuda yang memimpin kerusuhan itu adalah bayaran, yang sudah menjadi kaya raya. Begitu pun, sekarang mereka minta imigran pelindungan juga ditolak oleh Amerika, melarikan diri ke Taiwan juga ketangkap. Terus memuntahkan daftar mata-mata Amerika yang selama ini ditanamkan dalam pemerintahan Hong Kong.
Bulan September pas musim hujan angin yang disebut mansoon. Udara sangat panas, sekitar 32 derajat Celcius, untungnya aircon hotel ini kencang, sewaktu-waktu masih harus diistirahatkan, kamar kedinginan.
Sehari ini kebetulan keluar matahari, walau hanya sekejab saja, sebelum terbenam di belakang hutan pencakar langit di sekitar, cepat-cepat berjemur sejenak, sekedar meresap manfaatnya untuk menambah vitamin D, supaya menghindari depresi yang bisa dikarenakan oleh pengurungan.
Karantina berarti dikurung dalam kamar selama 14 hari untuk meyakinkan bebas Covid19, kita masing-masing dikenai gelang sensor tahanan sewaktu masuk di bandara.
Sensor dikenakan di gelangan tangan yang tidak boleh dilepas, ini digabungkan dengan “StayHomeSafe” App yang di download dalam HP kita.
Sewaktu memasuki kamar untuk pertama kalinya, segera menekan tombol merah di App HP tersebut, sambil mengelilingi selingkaran batas dalam kamar kita, setelah itu, bila kita coba menerobos perimeter yang telah ditetapkan, signal segera terkirim ke kantor polisi untuk menangkap pelanggarnya. Sensor canggih tersebut dilengkapi GPS yang bisa mencari pelanggarnya, dimana pun juga.
Pelanggaran bisa dikenakan hukuman berat. Denda uang HK$25,000 tambah hukuman penjara 6 bulan. Bukan main.
Peraturan ketat ini bisa dimaklumi, upaya Hong Kong menghindari kemasukan wabah baru, impor dari luar, yang bisa membahayakan masyarakat.
Yang sukar bisa dimengerti adalah logika peraturan di Jakarta, mengapa bila sendirian di dalam mobil tidak mengenakan masker, juga dijatuhi hukuman? Logika kaca mata kuda penarik dokar, pokoknya tidak peduli kanan-kiri.
Setiap hari diharuskan memeriksa suhu badan 2 kali, melaporkan diri bila ada gejala sakit. Sukurlah selama ini baik-baik saja.
Walaupun demikian, kelihatan beberapa pengunjung asal Timur Tengah masih bebas keluar berjalan-jalan, juga membawa pelacur kembali ke kamarnya, kata seorang pegawai hotel, bisa juga bila gelang digunting dan diletakkan dalam kamar.
Ya, hari ini mendapat tilpon dari pusat kontrol karantina yang menegur keadaan kita. 3 hari lagi, bakal mengadakan tes ulang dengan pengambilan contoh ludah. Kita sungguh dicheck, tidak bakal melanggarnya, sabar.
Dalam booking karantina ini tidak disediakan breakfast, makan minum harus diurus sendiri. Hal ini bukan masalah, kita kan berada di Hong Kong, bukan masih di Los Angeles yang serba sulit dan individualistis.
Sewaktu dalam tahanan 15 jam di bandara, istri sudah sibuk ditilpon sanak famili dan kawan-kawan yang di Hong Kong, pada menawarkan bantuan mereka. Air minum botolan dan mie instant sudah mereka titipkan di front desk sebelum ketibaan kita di hotel malam itu.
Hari keduanya, ketagihan kopi cap “Kapal Api” Surabaya, begitu juga dikirimkan dalam jumlah cukup banyak untuk keperluan dalam 2 minggu ini.
Letak Hotel Ramada Hong Kong Grand by Wyndham kita ini bukan di keramaian pertokoan dan restoran. Hanya ada satu restoran yang namanya Feiziji yang artinya “Bukan Sendirian” di depan hotel, bisa pesan melalui Whasapp untuk dikirim ke depan kamar. Satu porsi rata-rata seharga HK$60.
Menunya Restoran Feiziji sangat luas, dari masakan Hong Kong maupun Sichuan, juga menyediakan makanan pagi Barat khas Hong Kong. Yang menarik adalah daily special, dari hari Senin sampai Minggu, setiap hari tidak sama. Kita gilir.
Semenjak Hong Kong dipertengahan abad lalu diperkenalkan dalam film Hollywood “The World of Susie Wong”, menjadilah pusat kuliner Tionghoa di dunia. Ini tidak membual.
Dalil teori evolusi Darwin “Survival for the fittest” berlaku di perestoranan Hong Kong.
Banyak penciptaan kuliner Tionghoa yang kita sudah biasa memakannya, tanpa disadari asalnya dari hasil pergulatan hidup koki-koki di Hong Kong sini.
Satu ini, Nasi Goreng Yangzhou, ibunya nasi goreng Hong Kong, dinamakan satu tempat di dekat Shanghai, kota Yangzhou, tetapi bukan dari sana. Kreasi seorang koki di restoran yang namanya Yangzhou di Hong Kong.
Bagaikan Bika Ambon yang bukan asalnya dari Ambon, tetapi dari Jalan Ambon di Medan.
Nasi goreng ini harus dicoba di Hong Kong sini, meskipun bisa dimasakkan oleh siapa pun, rasanya tidak seharum di Hong Kong. Rahasianya terletak di minyak masak yang khusus, bukan minyak babi, dan cara memasaknya yang unik, sehingga nasinya gurih dan harum, meskipun tidak memakai campuran apa-apa, kecuali sedikit kecap dan garam.
Urusan air minum tidak masalah. Sistim air ledeng di Hong Kong istimewa, karena Hong Kong sendiri tidak ada sumber air, harus mengimpor air dari Tiongkok, maka setiap bangunan ada 2 saluran air, satu saluran air laut yang kekuningan, khusus untuk toilet, saluran yang mengalir di waskom, bening dengan qualitas bisa langsung diminum. Bagaimana pun, sebaiknya digodok sampai mendidih dulu.
Diluar jendela hujan lagi, kecuali harus memasukkan cucian yang digantung di jendela, tetap bisa asyik berbaring di ranjang menulis ini, habis tidak ada meja dan kursi.
Waktu makan juga menjongkok didepan jendela, dengan pemandangan gang yang dikelilingi gedung tinggi, membayangkan diri sedang buffet di tepi kawah Gunung Batur di Kintamani.
Bagaimana pun juga, masih berutung berada disini, ketimbang di Los Angeles yang sedang terlanda kebakaran maut. Langit menjadi semerah muka Donald Trump, dan udara yang jenuh dengan asap, sebusuk mulutnya.
Kita berdua yang kejirat dalam kamar kecil begini, sudah terlalu biasa. Tidak menambah bonding, juga tidak menyulut bentrokan.
Istri siang malam sibuk melayani tilpon-tilpon dari segala pelosok dunia, sejauh dari Inggris, Amerika, Malaysia dan Jepang, sedekat dari China dan lokal Hong Kong sini, yang ingin mengetahui hidup atau mati kita dalam karantina.
Sebagai suami yang cinta damai, bungkam saja.
Wifi hotel terputus putus pada siang hari, terlalu banyak pemakainya. Lebih lancar di waktu malam hari, seperti sekarang.
Memanfaatkan keadaan jetlag. Ketularan Danny Siregar. Secangkir lagi kopi, Kapal Api Surabaya.
Oleh: Anthony Hocktong Tjio. / IM
Kowloon, 16 September 2020.