KEHILANGAN


Hampir saban hari kita dibanjiri kabar di mass media tentang kematian akibat pemboman di Baghdad Iraq, Kandahar, Kabul Afghanistan, di Islamabad Pakistan, di New Delhi India, di Lebanon, dan pada tahun 2002, 2005 bahkan di Bali dan Jakarta. Puluhan, ratusan jiwa menjadi

May Swan - penulis

korban akibat ledakan bom. Apa perasaan kita ketika membaca serangkaian laporan tersebut? Sedih bercampur marah. Sedih karena jiwa manusia telah dihabisi oleh tangan manusia sendiri, dari pihak manapun yang melakukannya. Kita juga merasa sedih ketika mendengar laporan kecelakaan kereta api akibat pemboman atau karena kesalahan pengemudi, demikian juga dengan musibah tenggelamnya kapal motor lintas laut yang biasanya akibat dari mengambil tambangan yang melampau ketentuan maximal demi meraih untung berlebihan, atau pesawat terbang jatuh karena kelalaian maintenance. Ya, tentunya kita merasa sedih, kasihan pada para korban yang jatuh.

Sebaliknya, jika kita bersedia jujur pada diri sendiri, kabar musibah yang menelan demikian banyak jiwa manusia tidak banyak pengaruhnya pada kehidupan kita sehari hari sebagai individu. Setelah melipat rapi surat kabar, meletakannya di dalam rak rotan di pinggir meja ruang tamu, keluar rumah menuju tempat kerja, berjejalan berdesak desak dengan para penumpang lain di

Bombing in Afghanistan

kendaraan umum merangkak di tengah kemacetan lalu lintas dalam keadaan semrawut, semua bergegas ingin lekas sampai ke kantor. Dalam keadaan demikian, laporan tentang peristiwa tragedi yang dibaca tadi sudah hilang dari ingatan. Ketika akhirnya tiba di tempat kerja, perhatian segera mengalih kepada kesibukan pekerjaan yang menanti dan senantiasa menuntut; laporan yang perlu disiapkan sebelum jam makan siang seperti yang dipesan atasan berupa sebuah misi yang memenuhi pikiran masing masing.

Apakah ini berarti kita telah kehilangan perasaan compassion terhadap sesama manusia? Dua puluh, dua ratus, enam ratus jiwa yang dilaporkan tewas dalam serangkaian kejadian, pada hakekatnya hanya berupa tumpukan data statistik yang kaku tidak bernyawa. Pengalaman dan perasaan seseorang yang dapat diserap ada batasnya. Dalam era pesatnya kemajuan IT, informasi sebagai komoditi

Iraq

bahan dagangan membanjiri panca indera pembaca telah sampai pada titik saturasi. Perasaan sedih, kasihan bahkan kejutan tidak lagi mencekam perasaan karena telah terbalut dari serangan belati yang menusuk, berubah menjadi kebal.

Paul Newman aktor Amerika meninggal pada usia 83. Berita disiar luas melalui berbagai corak media. Diberitakan juga bahwa selama hidupnya ia banyak menyibukan diri dalam pekerjaan amal, sangat peduli dengan masalah sosial. Sekalipun terkenal, tentunya sedikit sekali diantara pembaca yang mengenal aktor ini secara pribadi. Paling paling hanya pernah melihatnya di layar putih melalui filem dimana ia berperan. Tapi kenyataannya, banyak yang merasa sedih tersentuh dengan kepergiannya, merasa sangat kehilangan. Kalau hendak dibanding, perasaan kehilangan terhadap

Pakistan

seorang sosok aktor ini jauh lebih terkesan daripada hilangnya puluhan, ratusan korban musibah yang dikabarkan di mass media. Ini berupa kenyataan hidup. Perasaan tidak dapat diatur, yang dapat diatur adalah tindakan yang timbul dari perasaan itu sendiri.

Seringkali kita merasa sedih, sangat kehilangan dengan kepergian seseorang yang tidak kita kenal langsung, bahkan tidak kenal sama sekali. Gejala ini tidak selamanya disebabkan oleh jasanya yang dianggap hebat, karena banyak sosok lain didunia yang jasanya juga cukup hebat. Kita sedih, merasa kehilangan demi alasan kita sendiri. Ini sering tercurah pada public figure seperti para pemimpin

Paul Newman

nasional dan artis filem. Pengalaman kita pada masa mereka berjaya dan berperan membuat mereka sebagai landmark dalam perjalanan kehidupan kita. Dan ini umumnya bertalian dengan masa muda remaja, masa gemilang penuh dengan harapan mimpi muluk. Maka kita melihat kepergian mereka sebagai hilangnya sebagian dari kehidupan kita sendiri.

Pada jaman dahoeloe, dalam perjalanan kereta api dari Jakarta ke Bandung, berdekatan dengan Padalarang dan Cimahi terdapat banyak perkebunan pohon jati menjulang tegak menaburi seluas pandangan. Tiga puluh tahun kemudian, dalam perjalanan yang sama, ketika melalui daerah  daerah tersebut, sebuah pohon jati pun tidak terlihat lagi, telah habis dibabas secara ilegal dan diperjual belikan dengan bantuan penguasa setempat. Kita merasa sedih karena sadar negara telah dirugikan. Namun perasaan yang paling terkesan mendalam yakni kehilangan sebuah landmark dalam perjalanan hidup sebagai individu.(IM)

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *