Jejak Buram Kongres Demokrat + Lahap Anggaran Enggan Laporan + Manuver Pembekuan atau Pembubaran ?


Nazaruddin menuding Kongres II Partai Demokrat diwarnai politik uang untuk memenangkan Anas Urbaningrum meraih kursi ketua umum. Sumber dana disebutnya berasal dari fee proyek yang dibiayai APBN: Wisma Atlet di Palembang dan sekolah olahraga di Bukit Hambalang, Bogor.

Kalaulah Muhammad Nazaruddin tidak terpojok dan sakit hati, boleh jadi proyek senilai Rp 1,52 trilyun itu masih berlangsung adem. Tak ada yang mengusik. Setidaknya tak akan berkembang gaduh secepat ini. Maklum, letaknya jauh dari keramaian, di puncak Bukit Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di tempat sejuk dan tenang itu sedang dibangun Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional. Nah, kalau tak berkepentingan, siapa yang akan menaruh perhatian?

Tapi segala sesuatu bisa saja terjadi. Proyek yang berjalan tenang sejak Desember tahun lalu itu mendadak heboh diterjang isu tak sedap. Yakni dugaan permainan kotor menggolkan pemenang tendernya. Isu miring ini dilontarkan Nazaruddin dari tempat persembunyiannya, entah di mana, sejak dua pekan lalu.

Agaknya, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang menjadi buron internasional kasus korupsi itu merasa terpojok sendiri, sekaligus sakit hati karena dikorbankan sejawatnya di partai. Melalui komunikasi BlackBerry Messenger (BBM), telepon, ataupun jaringan internet Skype, Nazaruddin tak lelah berkoar kepada media bahwa proyek di bawah Kementerian Pemuda dan Olahraga itu penuh aroma suap.

Nama-nama beken pun berseliweran dalam pusaran kehebohan ini, yang disebut-sebut kecipratan fee proyek itu. Ada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, ada Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, dan sejumlah anggota dewan. Kongres Partai Demokrat II di Bandung, Mei tahun lalu, ikut tepercik noda.

Nazaruddin menyebutkan, Anas berperan penting dalam proses pemenangan PT Adhi Karya dan Wijaya Karya dalam tender proyek di atas lahan 32 hektare yang dibiayai APBN itu. Kedua BUMN itu bekerja sama menggarap proyek dengan komposisi saham Adhi Karya 70% dan Wijaya Karya 30%.

Imbalan untuk menggolkan dua perusahaan konstruksi tadi, menurut Nazaruddin, PT Adhi Karya membantu dana untuk mendukung Anas menjadi ketua umum di Kongres II Partai Demokrat. Pada waktu itu, Anas menjabat sebagai salah satu ketua partai pemenang pemilu tersebut.

Jumlah dana yang disepakati cukup besar: Rp 100 milyar. Menurut Nazaruddin, Rp 50 milyar dialokasikan untuk pemenangan Anas di kongres, Rp 5 milyar untuk Andi Mallarangeng, Rp 20 milyar diberikan kepada Ipang. Ipang adalah konsultan bidang strategi komunikasi yang disebut sebagai konsultan Anas.

Sisanya? “Ke DPR lebih-kurang Rp 25 milyar,” tulis Nazaruddin melalui pesan lewat BBM yang dikirimkannya ke Gatra. Soal tudingan kucuran dana Rp 100 milyar itu ditepis Sekretaris Perusahaan PT Adhi Karya, Kurnadi Gularso. Kurnadi menegaskan bahwa Adhi Karya memenangkan tender sesuai dengan prosedur, bukan atas campur tangan Anas.

Kembali ke celotehan Nazaruddin. Lelaki 33 tahun yang sudah dipecat dari Partai Demokrat ini mengatakan, uang bancakan itu dicairkan Mahfud Suroso, teman sekolah Anas di Jawa Timur, sesama alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mahfud menjalin kongsi dengan istri Anas, Athiyyah Laila, di PT Dutasari Citralaras, yang mengerjakan proyek-proyek PT Adhi Karya.

Lantas uang itu diangkut ke Bandung dan dibagi-bagikan kepada sejumlah ketua DPC Demokrat di Hotel Aston, tempat kongres berlangsung. Mengenai bagaimana teknis pengangkutan uang tersebut, Nazaruddin mengatakan bahwa bekas sopirnya, Aan, tahu persis.

Bak pantun bersahut, celotehan Nazaruddin itu disambar Aan yang nimbrung secara terbuka dengan nada selaras, bahkan lebih tegas. Aan berani tampil di sejumlah televisi swasta. Bersama rekannya, Dayat (sopir kantor Nazaruddin), Aan menceritakan perjalanan duit itu dari Jakarta ke Bandung.

Keterangan mereka dikuatkan Dede dan Jauhari, tenaga lepas perusahaan jasa pengawalan, yang mengawal pengiriman uang itu. Keempat orang ini, entah ada yang mengatur atau tidak mengingat mereka seperti sengaja roadshow di televisi, mengaku merasa kasihan kepada Nazaruddin dan terpanggil untuk memberikan kesaksian menguatkan celotehan Nazaruddin.

Disebutkan, duit itu dikemas dalam 19 kardus, diangkut dengan dua mobil. Sebanyak lima kardus berisi gepokan rupiah diusung mobil Toyota Fortuner. Sisanya, 14 kardus pecahan dolar Amerika, dijejalkan ke dalam mobil boks Daihatsu Espass.

Rombongan mobil pengangkut fulus itu berangkat dari kantor Nazaruddin di kawasan Warung Buncit, Jakarta Selatan, diiringi mobil yang berisi pengawal. Dua mobil itu merapat ke basementHotel Aston Bandung dan menurunkan muatannya. Kotak-kotak kardus berisi uang itu lantas dibawa ke lantai IX dan disimpan di kamar nomor 10.

Pada hari yang sama, Nazaruddin –pada waktu itu menjabat sebagai wakil bendahara umum– juga bertolak ke Bandung menggunakan mobil guna menghadiri kongres. Aan yang mengemudikan mobil. Anas dan petinggi Demokrat lainnya, Jhonny Allen Marbun, meluncur pula ke “kota kembang” itu menggunakan kendaraan berbeda. Namun tiga petinggi Demokrat itu berangkat bareng dari Hotel Crowne Plaza, Jakarta.

Nazaruddin menegaskan, uang yang dibawa dari kantornya inilah yang digelontorkan pada Kongres Partai Demokrat di Bandung itu. Tujuannya, memuluskan Anas, yang pada waktu itu bersahabat akrab dengan Nazaruddin, untuk meraih kursi ketua umum. Anas bertarung melawan dua kandidat lain, Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng. Pemilihannya berlangsung dua putaran.

Pembagian uang itu dikatakan dilakukan di depan kamar yang dihuni Nazaruddin pada saat itu. Salah satu tukang baginya adalah Nuril Anwar, staf Nazaruddin. Tekenan Nuril bahkan tercantum dalam lembar salinan bukti kas keluar untuk keperluan tersebut. Ketika dikonfirmasi, Nuril belum bersedia berkomentar. “Nanti saja, jangan sekarang,” katanya kepada Gatra, Selasa lalu.

Fulus yang dibagi-bagikan dalam kongres itu beragam jumlahnya. Nazaruddin menyebutkan, satu suara mendapat bagian US$ 10.000 sampai US$ 40.000. Ada juga yang kebagian Rp 200 juta. Kubu Andi Mallarangeng disebutnya juga kebagian. Ada 73 suara kubu Andi yang diamankan agar tak mendukung Marzuki di putaran kedua. Semuanya diberi secara tunai di muka.

Hasilnya, Anas terpilih sebagai ketua umum, menyingkirkan Marzuki Alie di putaran kedua. Pada putaran pertama, Andi Mallarangeng tergusur lebih dulu. Memang belum bisa dibuktikan, apakah kemenangan Anas itu berkat gelontoran duit. Anas sendiri berkali-kali menegaskan, tidak ada politik uang dalam Kongres Demokrat itu.

Tapi Nazaruddin memastikan, politik uang dalam Kongres Demokrat benar adanya, karena dia ikut terlibat sehingga tahu persis. Untuk operasi pemenangan Anas itu, menurut Nazaruddin, total duit yang digelontorkan lebih-kurang US$ 2 juta atau sekitar Rp 170 milyar. Artinya, jika celotehannya itu benar, ada gelontoran dana sekitar Rp 120 milyar dari sumber lain di luar proyek Hambalang. Bukan main. Dari mana asal-usulnya?

Sayangnya, Nazaruddin tidak mengungkapnya. Ia hanya menyebutkan bahwa Rp 7 milyar di antaranya berasal dari proyek Wisma Atlet SEA Games di Palembang, yang sedang terbelit kasus korupsi dan disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dikatakannya pula, ada sumbangan dari Fahmi, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, sebesar Rp 1 milyar.

Soal ini, Fahmi menampiknya. Katanya, tudingan itu tidak ada korelasinya. “Saya tidak punya motivasi apa pun dari Partai Demokrat. Untuk apa saya harus ikut-ikut nyumbang. Lagi pula, uang dari mana? Cara ngasih-nya pun gimana? Tidak masuk akal itu,” kata Fahmi kepada koresponden Gatra di Padang, Joni Aswira.

Terhadap tudingan Nazaruddin serta kesaksian Aan dan kawan-kawan itu, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Achmad Mubarok, hanya berkomentar singkat. “Kita tidak tahu apakah omongannya benar atau tidak,” katanya kepada Ade Faizal dariGatra.

Pengacara Anas, Patra M. Zen, juga enggan mengomentari tudingan Nazaruddin itu, lebih-lebih kesaksian Aan dan kawan-kawan. “Sebaiknya pembantu Nazaruddin (Aan dan kawan-kawan —Red.) memberikan keterangan di bawah sumpah pada saat persidangan Nazaruddin selaku terdakwa di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi),” ujar Patra.

Agaknya sudah tekad Nazaruddin di pelariannya untuk memborbardir bekas kolega-koleganya di Partai Demokrat dengan tudingan-tudingan berat. Makin ke sini, kelihatan makin serius ingin menyeret koleganya ke jerat hukum bersama dengannya. Lihat saja, ia mulai memerinci peristiwa, berikut angka dan asal-usul uang yang jadi bancakan. Bahkan, secara tak langsung, ia menampilkan kesaksian Aan dan kawan-kawan yang mendukung celotehannya.

Yang paling diserang adalah Anas. Nazaruddin menyebutkan pula bahwa ia acap mendrop uang fee kepada Anas. Yang mengantarkan uang itu adalah Aan, diserahkan melalui sopir Anas. Tentu semua tudingan dan kesaksian ini masih harus diselidiki kebenarannya dan harus dapat dibuktikan secara hukum. Apalagi, semua pihak yang tertuding, termasuk Anas dan Andi Mallarangeng, telah sering membantah keras. Andi bahkan menyatakan siap diperiksa KPK kapan saja.

Betapapun, serangan anyar Nazaruddin itu mau tak mau kembali menegaskan bahwa permainan uang gila-gilaan seakan sudah jamak dalam aktivitas semua partai politik. Hal ini diamini peneliti di Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan. “Memang kultur politik kita tak bisa bebas dari politik uang,” katanya kepada Haufan Hasyim dari Gatra.

Politik uang, kata Abdullah, sudah mengakar pada semua partai politik. Konstruksi yang dibangun selama ini, menurut dia, adalah masyarakat pemilih yang butuh uang. Pada saat pemilihan umum, partai politik rajin menebar uang kepada masyarakat pemilih. Jumlahnya cukup besar. Tapi, kalau dihitung per kepala, nyaris tak ada artinya bagi si penerima karena hanya bernilai puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah.

Berkaca pada Kongres Demokrat, Abdullah menyimpulkan bahwa kultur politik uang juga terkonstruksi di kalangan elite partai itu sendiri. Dan permainan politik uang pada ajang setingkat kongres ini lebih gila-gilaan. Setiap suara dihargai sampai ratusan juta rupiah. Situs WikiLeaks, Maret lalu, mengungkapkan bahwa Musyawarah Nasional Partai Golkar tahun 2004 di Bali, yang menempatkan Jusuf Kalla sebagai ketua umum, juga penuh aroma politik uang.

Kalla, yang ketika itu baru terpilih sebagai wakil presiden, disebutkan menabur uang sampai US$ 6 juta untuk membeli suara pemilih. Suara dewan pimpinan cabang dihargai Rp 200 juta dan dewan pimpinan daerah Rp 500 juta. Kalla mengakui membagikan uang, tapi jumlahnya hanya sekitar 10% dari yang disebutWikiLeaks

Kini giliran praktek politik uang di Partai Demokrat yang ditelanjangi mantan kadernya sendiri. Parahnya lagi, dan ini mungkin akan jadi masalah besar, politik uang di Demokrat itu diduga terkait pula dengan permainan kotor yang menggerogoti duit negara. Jika ini terbukti, sungguh ironis, mengingat partai ini sangat getol menyerukan slogan anti-korupsi.

 

Lahap Anggaran Enggan Laporan

Sumber resmi dana partai politik mengandalkan iuran fraksi dan bantuan APBN/APBD. Akuntablitas dan transparansinya terhitung rendah. Pertanggungjawaban anggaran daerah lebih banyak masalah.

Joko Senayan, sebut saja begitu, menarik napas panjang ketika membaca surat edaran dari pengurus wilayah partainya di Jawa Tengah (Jateng), Senin lalu. Sebagai anggota DPR asal daerah pemilihan (dapil) Jateng, Joko harus menyumbang rutin pengurus partai tingkat provinsi itu. Sebelumnya, iuran dipatok Rp 2,5 juta per bulan.

Surat edaran itu mengabarkan “tarif” baru. “Mulai sekarang jadi Rp 5 juta per bulan,” katanya. Dibandingkan dengan take home paypendapatannya di DPR sebesar Rp 51,5 juta per bulan, angka Rp 5 juta itu sekilas dapat terjangkau. Masalahnya, Joko juga harus menyumbang rutin pengurus partai tingkat pusat (DPP) dan kabupaten/kota.

Untuk pengurus pusat, angka tetapnya Rp 10 juta per bulan. “Itu dipotong autodebet dari rekening kami tiap awal bulan,” kata salah satu ketua DPP partai yang tak mau diungkap namanya itu. Untuk sumbangan pengurus cabang, tiap kabupaten/kota berbeda-beda. “Yang resmi Rp 3 juta per bulan,” ujarnya.

Daerah pemilihan Joko terdiri dari empat kabupaten. Sehingga alokasi resmi bulanannya untuk pengurus cabang adalah Rp 12 juta. Pengurus partai tingkat provinsi dan kabupaten/kota, selain menarik sumbangan dari DPR pusat, juga memungut iuran dari anggota DPRD.

Selain iuran resmi, permintaan cabang beragam, dengan alasan untuk kebutuhan berbagai kegiatan. Untuk momentum Lebaran kali ini, misalnya, kata Joko, tiap cabang minta Rp 5 juta. Sayap organisasi perempuan partai minta Rp 7 juta. “Semua untuk beli sarung dan batik,” katanya.

Momentum insidental lain yang kerap menyedot sumbangan adalah peringatan ulang tahun partai, hari besar agama, dan ajang konsolidasi, mulai musyawarah cabang, wilayah, hingga kongres atau muktamar. “Itu di luar reses,” ungkapnya. Bila anggota DPR berkunjung ke dapil pada saat reses, masih ada permintaan sumbangan. Jumlahnya tak tentu.

Bila ada pengurus partai yang sakit atau meninggal, Joko juga harus menyiapkan santunan. Jika ada pengurus daerah bertamu ke Jakarta, uang transpor pulang mesti ditanggung. Dalam sepekan, Joko bisa menerima dua sampai empat tamu daerah. Minimal bujet untuk menyambut tamu daerah ini, kata Joko, Rp 5 juta.

Berbagai pengeluaran rutin paparan Joko itu melampaui angka Rp 45 juta per bulan. Cukup membuat pendapatan tetapnya, Rp 51,5 juta, ludes. Itu belum alokasi kebutuhan rutin pribadi dan keluargannya. Tak aneh bila anggota DPR masih harus berburu pendapatan ekstra. Akibatnya, sekian banyak anggota DPR terungkap melakukan transaksi korupsi.

***

Sejumlah partai politik (parpol) memang menjadikan anggota parlemennya sebagai salah satu sumber dana. Sumber resmi keuangan parpol, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Parpol, ada tiga: iuran anggota, sumbangan sah, dan bantuan APBN/APBD untuk parpol yang memiliki kursi DPR/DPRD. Sumbangan anggota DPR kepada partainya dikategorikan iuran anggota.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, menyebutkan bahwa potongan untuk anggota fraksinya minimal Rp 10 juta per bulan. Dana itu dibagi ke fraksi, DPP, DPD provinsi, dan pengurus cabang. “Kalau ada acara partai yang besar, mereka harus mau menyumbang lebih,” katanya.

Untuk anggota DPRD, besaran potongannya berbeda-beda, tergantung daerah. “Potongannya bisa 10% dari pendapatan,” ujar Tjahjo. Anggota DPR yang merangkap anggota pansus atau badan DPR bisa memperoleh pendapatan tambahan. Kewajiban iurannya juga bertambah. “Kalau rajin ikut sidang panitia atau badan, bisa mendapatkan minimal Rp 10 juta per bulan,” kata Tjahjo.

Anggota DPR yang mendapat jatah kunjungan ke luar negeri juga memperoleh pendapatan tambahan, sekaligus wajib menambah iuran. “Kalau mau irit, naik pesawat kelas ekonomi atau nggak usah bawa istri, bisa nabung paling tidak Rp 30-Rp 40 juta,” kata Sekjen PDI Perjuangan itu.

Selain potongan pendapatan bulanan, menurut Tjahjo, seluruh uang reses diserahkan untuk kegiatan dapil. “Uang reses bisa Rp 40 juta-Rp 50 juta per orang. Itu harus digunakan untuk kegiatan konstituen,” katanya.

Sumber iuran anggota yang lain, kata Tjahjo, berasal dari pengurus DPP yang menjadi pengusaha. “Mereka sumber dana terbanyak bila ada kegiatan partai seperti rakornas,” tuturnya. Anggota PDI Perjuangan yang jumlahnya sekitar 14 juta orang sebenarnya wajib menyetor iuran Rp 1.000 per orang, tapi tidak maksimal. Tjahjo menyadari, 70% anggota partainya adalah masyarakat kelas bawah.

Begitu juga anggota Fraksi PAN diwajibkan menyetor sumbangan, yang besarannya sama dengan rekannya di PDI Perjuangan. “Iurannya Rp 10 juta tiap bulan,” kata Nasril Bahar, anggota Komisi VI, melalui pesan singkat kepada Haris Firdaus dari Gatra. Ketua Fraksi PAN, Tjatur Sapto Edy, dan Sekretaris Fraksi PAN, Teguh Juwarno, belum bisa dikonfirmasi.

Iuran anggota Fraksi Demokrat lebih kecil dibandingkan dengan anggota PAN dan PDI Perjuangan. Ketua Fraksi Demokrat, Jafar Hafsah, menyebutkan bahwa iuran rutin anggota fraksinya di DPR adalah Rp 6 juta tiap bulan. Dari jumlah itu, Rp 5 juta masuk DPP dan Rp 1 juta masuk fraksi. “Tiap bulan langsung dipotong dan masuk rekening DPP dan fraksi,” ungkap Jafar.

Kewajiban iuran rutin itu diatur dalam AD/ART Partai Demokrat dan dirinci dalam peraturan organisasi. Kebijakan ini disepakati calon anggota legislatif (caleg) sebelum pencalonan. “Dari awal, kami sudah ada kesepakatan dengan caleg,” katanya.

Iuran rutin juga diberlakukan pada anggota DPRD provinsi dan kabupate/kota. Namun besaran iuran ini berbeda-beda, tergantung daerahnya. Bila iuran anggota DPR sebagian besar masuk ke DPP, iuran anggota DPRD masuk ke dewan pimpinan wilayah (DPW) dan dewan pimpinan daerah (DPD).

Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), potongannya cukup besar dibandingkan dengan partai lain. “Total pendapatan anggota fraksi yang harus diserahkan ke partai adalah 40%-50%,” kata Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden PKS, kepada Ageng Wuri R.A. dari Gatra. “Tergantung kebijakan. Minimum 40%, maksimumnya 50%.”

Di pengurus pusat, dana itu dialokasikan untuk DPP, tabungan pemilu, dan dapil. Untuk DPRD, sebagaimana partai lain, besarannya berbeda-beda antardaerah. Besaran iuran kader tergantung pendapatan. Untuk anggota partai yang menjadi pejabat publik, persentasenya lebih besar. “Kalau anggota yang tidak menjadi pejabat publik, rata-rata 5% dari pendapatan disisihkan buat partai,” katanya.

Sementara itu, di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menurut Sekjen DPP PPP Muhammad Romahurmuziy, seluruh anggota fraksi dikenai potongan tetap, dengan jumlah berbeda-beda, tergantung posisi. Potongan untuk pimpinan fraksi, pimpinan komisi, dan wakil ketua MPR berbeda dari anggota biasa. “Saya nggak bisashare angkanya,” kata Romi, yang juga sekretaris fraksi.

***

Untuk bantuan dana APBN, hitungannya didasarkan pada jumlah suara dan hanya diperuntukkan bagi partai pemilik kursi di DPR. Menurut kalkulasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), sebagaimana tertera dalam tabel, perolehan sembilan parpol di Senayan yang tertinggi Rp 2,5 milyar setahun dan terendah Rp 450-an juta.

Hal baru yang diatur UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik adalah alokasi dana bantuan APBN/APBD harus diprioritaskan untuk pendidikan politik. Rinciannya tiga: pertama, pendalaman empat pilar berbangsa dan bernegara: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Kedua, pemahaman hak dan kewajiban warga negara dalam membangun etika dan budaya politik. Ketiga, pengaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Klausul baru yang ditekankan dalam undang-undang itu adalah perihal akuntabilitas. Pengelolaan keuangan parpol harus diaudit akuntan publik setiap satu tahun dan diumumkan secara periodik. Parpol wajib melaporkan pertanggungjawaban dana APBN/APBD kepada BPK satu tahun sekali. Paling lambat satu bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Untuk itulah, pertengahan Juli lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) melayangkan surat kepada sembilan parpol yang punya kursi di Senayan, menanyakan hasil audit pengelolaan uangnya. Namun, hingga Senin lalu, ICW belum mendapatkan laporan keuangan dari satu parpol pun.

“Dari situ menunjukkan, parpol lemah dalam komitmen membangun transparansi pendanaan,” kata Abdullah Dahlan, peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, kepada Gatra. ”Transparansinya saja masih kurang, apalagi akuntabilitasnya,” Dahlan menambahkan.

Dari penelusuran Fitra dilaporkan, dari sembilan parpol yang dimintai laporan keuangan, hanya PKB yang menyerahkan. Sisanya beralasan masih dalam proses audit. Hasil itu diketahui setelah Fitra melakukan investigasi untuk uji akses permintaan informasi ke 118 badan publik, sembilan di antaranya parpol.

Sedangkan untuk parpol di daerah, menurut data yang dihimpun Fitra berdasarkan audit BPK tahun 2009, diketahui bahwa parpol di 31 daerah punya masalah dalam laporan keuangan, sehingga negara dirugikan sampai Rp 21 milyar. “Administrasi partai kitanggak ada yang beres di daerah,” kata Uchok Sky Khadafi, Koordinator Bidang Advokasi dan Investigasi Fitra.

Masalah itu, menurut Uchok, umumnya terjadi karena yang mengikuti sosialisasi dana APBD untuk parpol adalah bagian administrasi parpol. Kemudian ketua parpol mengalokasikan dana APBD tanpa berkoordinasi dengan bagian administrasi parpol.

Uchok mengkritik tiga sumber dana parpol dalam UU Nomor 2/2011. “Ketiganya membuat parpol kita rusak,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra. Kekeliruan pertama, parpol salah mengartikan iuran anggota sebagai anggota DPR atau pengurus partai. Padahal, menurut Uchok, konstituen juga harus menyumbang. Kalau sebatas anggota DPR, justru membebani mereka sehingga mencari dana politik dengan segala cara.

Kedua, sumbangan yang sah secara hukum, baik dari lembaga maupun individu, walaupun dibatasi secara nominal, sebenarnya membebani parpol. Sebab penyumbang tidak mau rugi dan harus mendapat keuntungan balik. Ketiga, dana APBN/APBD yang disesuaikan dengan kursi membuat parpol bergantung pada negara.

Abdullah Dahlan, peneliti ICW, berpendapat, semestinya pembatasan sumbangan oleh UU Parpol tidak hanya pada penyumbang non-anggota partai, melainkan juga penyumbang anggota partai. “Agar tidak terjadi kultur oligarki dalam parpol,” kata Dahlan.

Seperti diketahui, pembatasan sumbangan perorangan dalam UU Parpol sebesar Rp 1 milyar per tahun hanya berlaku pada “perseorangan bukan anggota partai politik”. Selama ini, menurut Dahlan, parpol menjadikan anggotanya yang menempati posisi strategis sebagai mesin uang untuk mengisi pundi-pundinya.
“Misalnya kita lihat sumber pendanaan partai politik melalui pemotongan gaji kader-kadernya. Padahal, partai politik dilarang mendapatkan uang dari fraksi,” ungkapnya. Pada Pasal 40 ayat 3 huruf (e) dinyatakan, parpol dilarang menggunakan fraksi di MPR, DPR, DPR provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan partai politik.

Selain di legislatif, Dahlan juga mengkhawatirkan pos-pos kementerian yang banyak diisi kader parpol sebagai bagian dari lumbung keuangan partai. Sangat mungkin ada alokasi dana kementerian yang diarahkan untuk mengisi pundi-pundi parpol. Untuk mencegah hal demikian, menurut Dahlan, ruang-ruang yang memberikan peluang terjadinya pengambilan keuntungan dari uang negara harus dipersempit.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, kata Dahlan, harus mengungkapkan pola-pola dana yang masuk ke parpol. Cara lain, menurut Dahlan, harus ada aturan yang melarang jabatan menteri merangkap ketua parpol. “Karena penyalahgunaan (dana) untuk parpol lebih besar,” ujar Dahlan.

Dari pantauan ICW, dana APBN/APBD untuk papol masih terbelit banyak persoalan dalam akuntabillitasnya. Dahlan mencontohkan, dana yang seharusnya untuk sosialisasi empat pilar justru dialokasikan untuk kepentingan lain. “Padahal, dana negara hanya stimulus untuk pendidikan politik, bukan untuk ekspansi partai,” ungkapnya.

Jumlah Bantuan APBN Tahun Anggaran
Partai                   Kursi                 Suara                   2011                       2012                          2013
Demokrat             150                21.703.137        Rp 2,53 milyar         Rp 2,66 milyar          Rp 2,80 milyar
Golkar                  107                15.037.757        Rp 1,75 milyar         Rp 1,84 milyar          Rp 1,94 milyar
PDI Perjuangan     95                 14.600.091       Rp 1,70 milyar          Rp 1,79 milyar          Rp 1,88 milyar
PKS                       57                   8.206.955       Rp    955,68 juta       Rp 1,01 milyar          Rp 1,05 milyar
PAN                       43                   6.254.580       Rp    728,33 juta       Rp    766,94 juta       Rp    807,58 juta
PPP                       37                   5.533.214       Rp    644,33 juta       Rp    678,48 juta       Rp    714,44 juta
PKB                       27                   5.146.122       Rp    599,25 juta       Rp    599,25 juta       Rp    664,45 juta
Gerindra                26                   4.646.406       Rp    541,06 juta       Rp    569,74 juta        Rp   599,93 juta
Hanura                  18                   3.922.870       Rp    456,81 juta        Rp   481,02 juta        Rp   506,51 juta

Sumber: data olahan Seknas Fitra 

Sumber Keuangan Parpol (Pasal 34 UU Nomor 2/2011)
– Iuran Anggota
– Sumbangan yang sah
– Bantuan APBN/APBD untuk parpol yang punya kursi di DPR/DPRD

Batas Maksimal Sumbangan (Pasal 34 UU Nomor 02/2011)
– Perseorangan non-anggota parpol Rp 1 milyar Sama dengan UU Nomor 2/2008 – Perusahaan/badan usaha Rp 7,5 milyar Sebelumnya Rp 4 milyar

Alokasi Bantuan APBN
Diprioritaskan untuk pendidikan politik, berupa:

1. Pendalaman empat pilar: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

2. Pemahaman hak dan kewajiban warga negara dalam membangun etika dan budaya politik.

3. Pengaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

 

Akuntabilitas dan Transparansi
– Parpol wajib melaporkan pertanggungjawaban dana APBN/APBD kepada BPK satu tahun sekali. Paling lambat satu bulan setelah tahun anggaran berakhir (Pasal 34A UU Nomor 2/2011).

– Pengelolaan keuangan parpol harus diaudit akuntan publik setiap satu tahun dan diumumkan secara periodik (Pasal 39).

 

 

  Manuver Pembekuan atau Pembubaran?

 

Upaya Muchtar Pakpahan mengajukan permohonan pembekuan DPP Partai Demokrat masih mencari celah hukum. Istilah pembubaran partai lebih relevan?

Terkait dampak ocehan Nazaruddin, manuver politik mulai dilancarkan secara terbuka oleh kalangan luar terhadap Partai Demokrat (PD). Penasihat Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Muchtar Pakpahan, bersama Rizal Ramli dan sejumlah tokoh politik lainnya, sedang menyusun materi pendukung permohonan pembekuan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PD ke Mahkamah Konstitusi.

Hal itu dikemukakan Muchtar dalam kesempatan penutupan dialog bertajuk “Runtuhnya Politik Pencitraan SBY” di Rumah Perubahan, Bekasi, Jawa Barat, Selasa pekan lalu. Pendiri dan mantan Ketua Umum Partai Buruh itu menilai, PD telah melanggar Pasal 40 ayat (3) butir b, c, dan e Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang diperbarui dengan UU Nomor 2 Tahun 2011.

Ketika ditemui Gatra di tempatnya mengajar, kampus Program S-2 Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Jumat pekan lalu, Muchtar memaparkan, Pasal 40 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2008, antara lain, menyatakan: partai politik dilarang menerima sumbangan dari perorangan dan badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Partai politik juga dilarang menggunakan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan partai politik.

Muchtar menyatakan, dua larangan itu telah dilanggar PD. Pelanggaran pertama ditunjukkan oleh pernyataan Sekretaris Dewan Kehormatan PD, Amir Syamsuddin, yang menyebut Nazaruddin pernah menyumbang Rp 13 milyar ke PD. “Padahal, dalam UU Nomor 2 Tahun 2008, sumbangan dari perorangan maksimal hanya Rp 1 milyar,” tuturnya.


Pelanggaran kedua ditunjukkan oleh pernyataan Nazaruddin bahwa PD memanfaatkan para anggota DPR dari partai itu untuk menggalang dana dari BUMN. Pernyataan itu dikuatkan dengan penjelasan pengacara Nazaruddin, O.C. Kaligis, dan Kamaruddin Simanjuntak, mantan pengacara tersangka kasus Wisma Atlet, Mindo Rosalina.

Menanggapi rencana Muchtar dan kawan-kawan itu, Amir Syamsuddin mempersilakan pihak-pihak yang ingin mengajukan permohonan pembekuan DPP PD. “Biar saja, terserah apa maunya. Kita tahu Pak Rizal (Ramli) senang dengan hal-hal seperti itu,” kata Amir.

Amir enggan menanggapi terlalu jauh soal ini. Namun ia menyatakan bahwa fakta tentang adanya setoran uang itu hanya kesalahan. Menurut dia, setoran uang itu hanyalah bualan Nazaruddin. Tidak ada bukti setelah diklarifikasi kepada pengurus PD. “Angka Rp 13 milyar itu muncul dalam talkshow di Jakarta Lawyer Club, berdasarkan keterangan Nazaruddin pada waktu diperiksa Dewan Kehormatan. Namun ternyata itu hanya kebohongan,” papar Amir.

Soal pembekuan sebuah partai, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Irman Putra Sidin, menyatakan bahwa hal itu bisa saja dilakukan. “Istilah konstitusinya seharusnya pembubaran, bukan pembekuan, karena kalau pembekuan, partainya masih ada,” ujarnya.

Hanya saja, berdasarkan Pasal 68 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), yang berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik adalah pemerintah. Padahal, menurut Irman, seharusnya secara konstitusi yang bisa mengajukan permohonan pembubaran partai politik itu adalah seluruh warga negara, karena stakeholder partai politik adalah warga negara. “Menurut saya, Undang-Undang MK itu bertentangan dengan konstitusi,” katanya.

Menurut Irman, pihak pemerintah yang bisa mengajukan permohonan dalam pembubaran partai itu adalah presiden dan bisa diwakili menterinya. Selain membelenggu hak warga negara, ketentuan soal “pemerintah sebagai pemohon” itu, kata Irman, menyesatkan. Sebab, ketika sebuah partai politik kedapatan melanggar konstitusi –dan partai itu adalah pengusung presiden atau pemerintahan pada saat yang sama– maka partai itu tidak akan bisa dibubarkan karena merupakan akar pemerintahan yang ada.

Dengan begitu, sebagai jalan keluar, jika warga negara meminta pembubaran partai politik, harus dilakukan bersamaan (simultan) dengan permohonan pengujian materi UU MK terkait. “Yaitu mengenai syarat legal standing pemohon,” tutur Irman.

Muchtar Pakpahan mengakui bahwa yang berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik adalah pemerintah. Namun ia mengatakan, permohonan “pembubaran” partai politik itu berbeda dari “pembekuan” DPP PD yang akan diajukannya.

Masalahnya, tinjuan perihal “pembekuan” dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tidak berhubungan dengan larangan yang terkait dengan pengadaan dana atau sumbangan seperti yang dibidik Muchtar. Jadi, celah hukum mana yang akan digali Muchtar Pakpahan dan kawan-kawan?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *