Imperium Bisnis Keluarga Hartono



Dari rokok, Djarum melebarkan bisnis ke berbagai bidang usaha. Antara lain bidang elektronik, properti, agrobisnis, multimedia, dan perbankan. Forbes menempatkan sang pemilik, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, sebagai orang terkaya di Indonesia.

“Cucu” baru di keluarga besar Djarum lahir Maret ini. Mereka diberi nama Genio, Glozz, dan Grafitti. Tiga ponsel Polytron produksi Hartono Istana Teknologi itu bakal bersaing dengan berbagai merek ponsel yang kini membanjiri pasar. “Kami masuk ke bisnis ponsel karena riset menyatakan, pasar ponsel masih banyak,” kata Santo Kadarusman, Public Relations and Marketing Event Manager Hartono Istana Teknologi.

Lahirnya tiga bersaudara itu makin mengukuhkan posisi Polytron sebagai “raja elektronik lokal”. Sebelumnya, Polytron hadir di pasar dengan produk audio, video, dispenser, mesin cuci, kulkas, dan penyejuk ruangan. Perusahaan milik dua bersaudara, Michael Bambang Hartono dan Robert Budi Hartono, itu telah beroperasi selama 33 tahun.

Bambang Hartono dan Budi Hartono adalah generasi emas Djarum. Awalnya, di usia muda, yakni 34 tahun dan 22 tahun, kakak beradik itu menerima warisan bisnis rokok dari ayahnya, Oei Wie Gwan, pada 1963. Ketika itu, kondisi Djarum sedang limbung karena pabriknya terbakar. Berkat tangan dingin Hartono bersaudara, Djarum kembali berkibar dan makin besar hingga sekarang. Pasar rokok produksi Djarum sekitar 20% dari total produksi nasional 240 milyar batang per tahun.

Tak hanya membesarkan usaha rokok, Bambang dan Budi juga melirik usaha lain. Selain elektronik, duo Hartono itu, antara lain, merambah ke sektor properti, agrobisnis, dan perbankan. Lewat berbagai lini bisnis itu, Bambang dan Budi menjadi orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan data teranyar Forbes, yang dirilis awal Maret 2011, kekayaan keduanya ditaksir mencapai US$ 10 milyar atau sekitar Rp 90 trilyun.

Di sektor properti, Kelompok Djarum eksis lewat beberapa perusahaan. Antara lain Puri Cugni, Graha Padma Internusa, Bukit Muria Jaya Estate, Fajar Surya Perkasa, Nagaraja Lestari, dan Cipta Karya Bumi Indah.

Puri Cugni mengelola Bali Padma Hotel, Hotel Malya Bandung, dan Sekar Alliance Hotel Management. Graha Padma Internusa membangun kompleks Perumahan Graha Padma Semarang dan Bukit Muria membangun kompleks Perumahan Karawang Resinda di Karawang, Jawa Barat.

Adapun Fajar Surya Perkasa mendulang fulus dengan membangun Mal Daan Mogot, Jakarta. Sedangkan Nagaraja Lestari membangun pusat belanja dan grosir Pulogadung Trade Center, Jakarta.

Djarum juga membangun pusat belanja Whole Trade Center (WTC) Mangga Dua, Jakarta, melalui Inti Karya Bumi Indah. Lewat perusahaan ini pula, Djarum makin menancapkan kukunya di sektor properti dengan membangun megaproyek Grand Indonesia di bekas lokasi Hotel Indonesia.

Djarum mendapat konsesi pengelolaan kawasan di jantung kota Jakarta itu dengan model built operation transfer (BOT) berdurasi 30 tahun. Ada empat bangunan penting di sana, yakni gedung perkantoran 57 lantai, apartemen, pusat belanja, dan hotel –renovasi dari Hotel Indonesia. Kompleks ini dibangun dengan investasi Rp 1,3 trilyun.

Dengan model kerja sama itu, Djarum menyediakan dana investasi, mendirikan bangunan, mengelolanya, dan kemudian menyerahkan seluruh aset yang ada kepada negara setelah 30 tahun. Pemerintah sebagai pemilik lahan mendapatkan kompensasi. Yang mengikat kontrak perjanjian dengan pihak Djarum adalah PT Hotel Indonesia Natour (HI Natour), perusahaan BUMN yang sebelumnya mengelola Hotel Indonesia.

Berdasarkan perjanjian, HI Natour akan menerima Rp 1,65 trilyun dalam tiga tahap. Setiap tahap berjangka 10 tahun. Pada masa akhir perjanjian, bangunan yang ada di Grand Indonesia menjadi milik negara. Perjanjian kerja sama itu diteken pada Februari 2004. Sebagian besar bangunan selesai pada akhir 2007, sisanya pada 2008.

***

Di sektor perbankan, Djarum awalnya memiliki Bank Haga dan Bank Hagakita. Djarum makin agresif ketika masuk dalam konsorsium Faralon Investment Limited yang membeli BCA pada 2002. Djarum masuk di konsorsium itu melalui Alaerka Investment.

Porsi Djarum sekitar 10% di BCA. Belakangan, Djarum meningkatkan porsi sahamnya menjadi 47,15% pada 2007 dan 51% pada Desember 2010. Sebelum menambah porsi saham itu, Djarum melego sahamnya di Bank Haga dan Bank Hagakita.

Kantor pusat BCA berada di Menara BCA, di kompleks Grand Indonesia. Bersatunya pusat operasional BCA milik Djarum di kompleks Grand Indonesia yang juga milik Djarum itu seakan menjadikannya sebagai tugu kehebatan Djarum dalam percaturan bisnis di Indonesia.

Awalnya, kantor pusat BCA berada di Wisma BCA di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Rencana BCA berpindah kantor sudah ada sebelum 2004. Ide itu muncul karena Wisma BCA yang ditempati berdasarkan sewa jangka pendek tiga tahunan. Wisma BCA bukanlah aset Bank BCA.

Rencana pindah kantor itu juga muncul jauh sebelum Djarum menjadi pemilik mayoritas saham di BCA. Boleh jadi, ini memang menjadi skenario kelompok usaha Djarum dari dulu.

Gedung perkantoran di kompleks Grand Indonesia itu dinamai Menara BCA, karena BCA adalah penyewa utamanya. BCA menyewa 25.645 meter persegi di gedung perkantoran 57 lantai itu mulai 1 Juli 2007 hingga 30 Juni 2035. Yang disewa mulai dari lantai dasar, mezanin, lantai 12, hingga lantai 25. BCA punya opsi memperluas lantai sewa di lantai 26 dan 27. Sehingga luasnya mencapai 29.222 meter persegi.

***

Di sektor agrobisnis, Djarum berkiprah melalui Hartono Plantations Indonesia yang bergerak di perkebunan kelapa sawit. Djarum juga ikut ambil bagian dalam konsorsium yang beranggotakan Wings Group dan Lautan Luas ketika membeli Salim Oleochemicals (produsen palm dan coconut oil untuk sampo) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2001.

Jalinan antara Djarum dan Wings tak hanya di dunia bisnis, melainkan juga keluarga. Martin B. Hartono, anak Budi Hartono, menikah dengan Grace L. Katuari, anak pemilik Wings Group, Eddy William Katuari.

Bisnis pertambangan batu bara yang menjanjikan juga dilirik Djarum. Pada tahun lalu, Djarum sempat tertarik untuk mengakuisisi tambang Maruwai, Kalimantan Tengah, milik BHP Biliton, perusahaan asal Australia. Ketika itu, peminat lainnya, antara lain, Rajawali Corporation milik Peter Sondakh. Namun Djarum memilih tidak meneruskan proses akuisisi itu.

Belakangan, Djarum ingin pula merasakan gurihnya bisnis online. Lewat Global Digital Prima Venture, Djarum menjalin kerja sama dengan Kaskus, forum komunitas online terbesar di Indonesia. Setelah ini, apa lagi? Corporate Communication Bidang Media Relations Djarum, Budi Darmawan, enggan memberikan bocoran. “Wah, kalau untuk perkembangan Djarum, belum bisa,” katanya kepada Gatra.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *