Ibadah Jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin, Bogor, kembali dibubarkan secara paksa oleh puluhan massa yang mengatasnamakan Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami), Minggu, (30/10) pagi.
Agar konflik tidak semakin meruncing, Presiden RI harus segera mengambil sikap tegas dan memanggil seluruh pihak yang terlibat, termasuk Wali Kota Bogor Diani Budiarto, pimpinan GKI Yasmin, Kapolres Bogor, dan tokoh masyarakat.
“Usul saya, presiden harus memanggil Wali Kota Bogor, pimpinan Gereja Yasmin, Kapolres Bogor, tokoh masyarakat, termasuk Forkami. Semua tergantung presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan yang turun tangan,” kata pakar hukum sekaligus pengacara senior, Todung Mulya Lubis kepada SP menanggapi semakin meningkatnya eskalasi intimidasi terhada jemaat GKI Yasmin, baru-baru ini.
Todung menjelaskan, kasus GKI Yasmin menjadi bukti bahwa kebebasan beribadah di negara hukum yang menjamin hak warga negara belum mendapat perlindungan dari pemerintah. Dikatakan, saat ini, negara seolah tidak berdaya menghadapi aksi kelompok masyarakat intoleran. Ibadah di pinggir jalan yang dilakukan oleh jemaat GKI Yasmin pada Minggu (30/10) pagi dibubarkan secara paksa oleh sekitar 30 orang massa dari Forkami yang sejak pagi berkumpul di Masjid Sektor 6, Taman Yasmin, Bogor.
Nyaris terjadi bentrokan antara massa Forkami dan jemaat GKI Yasmin yang didominasi ibu-ibu. Ibadah sendiri sempat dilangsungkan sekitar pukul 08.00 WIB, setelah beberapa jemaat bernegosiasi dengan Agustian Syah (Kasiops Satpol PP Bogor). Sekitar pukul 08.07 WIB, puluhan massa Forkami mendekat dan berpencar mengelilingi jemaat sambil berteriak “bubarkan!”
Dalam kejadian tersebut, hanya satu-dua polisi berseragam yang menghalangi upaya intimidasi massa. Sekitar pukul 08.10 WIB, massa terus merangsek berupaya untuk masuk ke dalam kerumunan ibadah dan mendorong-dorong jemaat. Diperlakukan demikian, karena ketakutan, jemaat wanita sebagian menjadi histeris dan menangis.
Tidak beberapa lama kemudian, sekitar pukul 08.13 WIB, jemaat yang sudah terusir mulai meninggalkan lokasi. Dengan dikawal petugas polisi, jemaat menjauh dari lokasi gereja. Tidak sampai di situ, massa Forkami juga terus mengikuti jemaat dari belakang sambil terus berteriak mengusir jemaat.
Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar menegaskan, dari kronologis pembubaran paksa ibadah jemaat GKI Yasmin, tampak jelas ada pembiaran perdebatan konflik di lapangan. Polisi yang bertugas mengamankan pun seolah tidak memahami persoalan dan secara politik justru tampak berada di bawah kendali Pemerintah Kota Bogor.
“Kami khawatir polisi tidak punya kemampuan untuk membedakan mana yang harus dilindungi dan mana yang tidak. Secara politik, kami justru melihat kepolisian yang bertugas seolah tidak berdaya dengan pembangan hukum Pemkot Bogor,” kata Haris.
Karena itu, dalam waktu dekat, katanya, Kontras akan menyurati lembaga-lembaga negara, khususnya Kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dengan tembusan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dalam surat tersebut Kontras akan mempertanyakan solusi seperti apa yang bisa ditempuh.
“Kalau ada putusan MA, kami akan mempertanyakan apakah memang bisa diterapkan atau tidak. Jangan justru masyarakat dibiarkan terus beradu konflik dan menunggu jatuhnya korban,” kata Haris.
Juru Bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging menjelaskan, intimidasi serupa, yang sangat dekat dengan pelecehan peribadatan umat Kristen kerap dilakukan Forkami. Dua minggu sebelumnya, Forkami bahkan mengundang simpatisan yang lebih besar dari luar Kota Bogor.
Menurutnya, dalam intimidasi yang dilakukan, massa Forkami terus menyebarkan fitnah pemalsuan tanda tangan dukungan warga perihal pendirian gereja. Padahal, sebagaimana yang disampaikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang dokumennya telah disampaikan ke Presiden pada 13 Oktober 2011, dengan jelas dan gamblang menyatakan pemalsuan tanda tangan tidak terbukti dan tindakan Wali kota Bogor dan Gubernur Jawa Barat tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi yang saat ini dilaksanakan pemerintah.
Dalam surat MA tertanggal 1 Juni 2011, salah satu poinnya menegaskan, putusan nomor 127 PK/TUN/2009 tanggal 9 Desember 2010 berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan wajib dilaksanakan. Oleh karena itu, rekomendasi ORI juga dengan tegas mengklasifikasikan tindakan Wali Kota Bogor yang menerbitkan SK No 645.45-137 tahun 2011 tertanggal 11 Maret 2011 sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum.