Hidup di Jakarta Makin Sulit


JAKARTA – Hidup di kota metropolitan seperti Jakarta bagi sebagian orang merupakan sebuah kebanggaan karena dapat menikmati gegap-gempita kota besar. Namun, kenyataan tak selalu seindah aslinya.
Setiap pagi, sekitar pukul 07.00 WIB, Sukardi (34) selalu siap mengantarkan Suryati (30) yang merupakan istri tercintanya bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cilincing, Jakarta Utara. Seusai mengantarkan istri, pria asal Purwokerto, Jawa Tengah, ini kembali ke kamar kontrakannya.
Sejak 2006, Kardi, panggilan akrabnya, sudah tidak bekerja lagi. Perusahaan garmen tempatnya bekerja memutuskan hubungan kerja karena alasan keuangan. Dan sejak itu, ia kerja serabutan.
“Yang penting ada penghasilan. Malu sama istri. Sudah nganggur, tidak punya penghasilan juga,” kata Kardi kepada SH saat menemuinya di kamar kontrakannya yang terletak di Jalan Pancong, RT 03/02, Kelurahan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (3/7).
Menurutnya, selama empat tahun hidup berdua dengan istri, tetapi tidak punya pekerjaan tetap dan formal bukanlah hal yang mudah. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena bila ingin bekerja di pabrik yang ada di KBN, saat ini membutuhkan modal awal.
Terlebih usianya yang sudah 34 tahun membuatnya semakin sulit mencari pekerjaan. Akhirnya, saat ini untuk tetap mempunyai penghasilan sendiri, ia pun memilih untuk berjualan baju dan celana yang didapatkan dari pabrik garmen di dalam KBN Cilincing.
“Keuntungannya lumayan. Dalam sebulan minimal saya dapat penghasilan bersih sebesar Rp 800.000,” kata pria yang sangat ingin menjadi pegawai negeri sipil (PNS) ini. Keuntungan maksimal yang pernah diperolehnya dari berjualan pakaian diungkapkannya sebesar Rp 1,5 juta. Namun, kondisi tersebut sangat jarang terjadi.
Diakuinya, hidup di kota besar seperti Jakarta memang tidak mudah. Sebab, biaya hidup dirasakan semakin hari semakin tinggi. Saat ini, ia dan istri harus menyisihkan dari penghasilan mereka untuk pengeluaran tetap yang antara lain membayar kamar kontrakan, cicilan sepeda motor, belanja, dan transport.
Guna keperluan pengeluaran tetap tersebut, ia dan istri harus menyiapkan uang minimal Rp 2 juta. Itu belum ditambah bila ada pengeluaran yang sifatnya tidak tetap seperti datang ke acara resepsi maupun kebutuhan kesehatan.
Namun, karena pengeluaran untuk datang ke acara resepsi maupun untuk berobat tidak selalu ada setiap bulannya, ia dan istri tidak mengalokasikannya sebagai pengeluaran tetap. “Bukannya tidak mau menyisihkan, namun memang sudah tidak ada uang yang untuk disisihkan,” ujarnya lirih.
Pria yang menikahi istrinya pada tahun 1997 ini mengaku penghasilan istrinya sebesar Rp 1,5 juta. Dan bila ditambah dengan pendapatannya dari menjual pakaian keliling, setiap bulan uang masuk yang mereka dapat rata-rata sebesar Rp 2,3 juta.

Sulit Menabung
Kesulitan dalam masalah keuangan juga dialami oleh pasangan muda Yuda Pratomo (24) dan Muhida (25) yang tidak lain adalah istri yang baru dinikahi setahun lalu. Menurut Yuda, penghasilan sang istri lebih besar ketimbang dirinya yang berprofesi sebagai pramuniaga sebuah minimarket di bilangan Jalan Plumpang Semper, Koja, Jakarta Utara.
Penghasilan pokok yang diterimanya setiap bulan hanya Rp 600.000. Namun bila ditambah dengan uang kehadiran dan uang makan, dalam sebulan ia memperoleh uang Rp 1,1 juta. “Gaji pokok istri saya Rp 1,1 juta dan bila ditambah uang makan, transport, dan uang lembur, istri saya bisa terima Rp 1,5-1,7 juta,” katanya kepada SH, di Jakarta, Minggu (4/7).
Kondisi tersebut dirasakannya tidak adil sebab istrinya hanya lulusan SMP, sedangkan dirinya lulusan STM. Ia berusaha menerima kenyataan itu. Namun dirinya mengaku, bersama dengan istrinya sangat sulit menyisihkan uang untuk menabung.
Pasalnya, karena ia dan istri sama-sama bekerja, untuk makan setiap harinya mereka harus membeli di warung makan. “Jelas lebih mahal daripada memasak makanan sendiri. Tapi mau bagaimana lagi? Istri baru sampai di rumah jam 19.00, dan saya paling cepat sampai sekitar pukul 21.00,” imbuhnya.
Diungkapkannya, hanya untuk biaya makan mereka berdua, setiap harinya harus mengeluarkan uang antara Rp 30.000-40.000. Belum lagi ditambah dengan membayar kontrakan Rp 300.000, uang transport, dan belanja keperluan dalam sebulan. Pengeluarannya minimal mencapai Rp 2,5 juta. “Terus terang kami waswas bila salah satu kami ada yang sakit, bila terpaksa kami harus meminjam uang ke orang lain,” tukasnya.
Jakarta selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi para pendatang. Berjuta harapan tersimpan untuk dapat meraih kesuksesan di Jakarta. Namun, tak mudah bertahan hidup di Jakarta. Karenanya, diperlukan suatu daya juang besar dari setiap orang yang ingin survival.
Perlu diketahui, kehidupan di Jakarta yang sangat dinamis butuh ritme kerja yang cepat sehingga tak boleh ada kata bermalas-malasan. Selain itu, biaya hidup di Jakarta tentu lebih tinggi dibanding daerah asal mereka. Hal ini akan menimbulkan kekagetan tersendiri, terutama bagi pendatang. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita semua berpikir lebih dalam bila ingin hidup di Jakarta atau minimal merekomendasikan teman maupun sanak saudara di kampung halaman agar tidak merantau ke Jakarta. Siapa suruh datang Jakarta?

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *