Frankim: Tidak Semua Suku Laut di Kepri Butuh Modernisasi
dilaporkan: Setiawan Liu
Tanjungpinang, 28 April 2021/Indonesia Media – Hendry Frankim ikut andil menjaga kehidupan suku laut di provinsi Kepulauan Riau (Kepri) terutama kabupaten Lingga, Karimun yang tidak membutuhkan modernisasi tetapi mempertahankan nilai-nilai tradisi, kearifan lokal. Suku laut awalnya hidup nomaden (berpindah-pindah) dari satu pulau ke pulau yang lain. Mereka menggunakan sampan yang sekaligus sebagai tempat tinggal mereka. “(mengenai suku laut di Kepri) waktu saya masih kecil sampai menjabat DPD MPR RI (2004-2009), ada peraturan dari Gubernur Kepri mengenai larangan dapur arang. Saya protes Gubernur. Kebetulan saya lahir di pinggir laut, dan ada kampong yang dekat tempat tinggal saya,” kata Frankim.
Mencari dapur arang adalah mata pencaharian suku laut di Kepri terutama Lingga, Karimun. Sehingga kalau ada larangan pencarian dapur arang, suku laut akan kehilangan penghasilan. Otomatis, kalau mereka kehilangan penghasilan, mereka akan naik ke darat. “Mereka tidak lagi hidup di atas sampan. Ini menjadi masalah. Tidak semua suku laut di Kepri butuh modernisasi,” kata pemilik nama Tionghoa Phan Tek Lie.
Pohon bakau ditebang, (pohon) cepat tumbuh kembali. Bakau bukan seperti pohon jati yang tumbuhnya sangat lama. Di Sumatera, jelas ada petani gabah. Di Kepri, tidak ada (petani gabah) tapi hanya ada petani pohon bakau. Akhirnya, karena pertimbangan tersebut, rencana penerbitan peraturan (larangan tebang pohon bakau) Gubernur Kepri dibatalkan. “Biarkan mereka hidup, jangan diusik. Mereka mempertahankan nilai-nilai tradisinya,” kata Bapak dari dua orang putri
Suku laut di Kepri (kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatra Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan. Suku laut merupakan satu dari ratusan suku di Indonesia, dan ratusan dialek (Bahasa) daerah. Suku laut mungkin yang paling lama (exist di Kepri). Tahun 2015, Suku Laut di Kepri tidak lagi dikategorikan sebagai Komunitas Adat Terpencil (KAT) setelah Dinas Sosial Kepri menyatakan Kepri bebas KAT dan menyurati Kementerian Sosial, Direktorat KAT. Hal ini berimbas pada tidak tersentuhnya Suku Laut dari program kemiskinan dan keterisoliran. “Dulu keluarga Cendana (mantan presiden RI, alm. Soeharto) pernah sumbang bangun rumah di daratan, dan ternyata mereka tidak terbiasa (hidup di darat), dan balik lagi ke lautan, hidup di atas perahu, sebagian sudah mau mendarat, tapi sebagian tetap di lau. Ada hal lain yang khusus, keaslian (suku laut), mereka tidak pernah mandi. Ini adalah fakta, bukan dongeng,” kata Frankim.
Selain di Kabupaten Lingga, Kabupaten Karimun, ada ‘cluster’ suku laut di seputar Batam. Pulau-pulau kecil di depan Batam masih dihuni suku laut. Sampai sekarang mereka sudah beranak cucu beraktivitas di atas sampan. Dulu, mereka tidak mau tahu dengan urusan administrasi kependudukan, terutama KTP. “Tapi sekarang, sebagian sudah mulai punya KTP. Bahkan anak-anaknya sudah ada yang kuliah di daratan. Sewaktu masih kecil, keseharian saya melihat kehidupan suku laut,” kata Frankim. (sl/IM)