FENOMENA GENERASI POSMO


Perhatin kita beberapa waktu belakangan ini sejenak terbelokkan oleh interupsi yang menarik perhatian publik. Dari pemandangan yang memiriskan menyaksikan ibu kota dilanda banjir, kini konsentrasi kita beralih kepada hadirnya film-film berbau renaja : Ada Apa Dengan Cinta, Cinta Ini Membunuhku, Love Story, Purchasing Love

Wajar kita heran, karena ketika pertama diputar di bioskop-bioskop kelas atas, film-film ini sudah banjir penonton. Untuk bisa memperoleh karcis masuk, kita harus mengikuti antrean penonton, yang umumnya remaja.
Film-film tersebut jelas berhasil masuk ke dalam segmentasi pasar potensial yang sangat tepat, yaitu remaja walaupun pada umumnya tema film-film tersebut adalah sama yaitu kisah ’cinta’ yang dibumbuhi ‘perahabatan’. Visualisasi masalah suka sama suka, marah-marahan, salah pengertian, persoalan keluarga, sampai akhirnya film-film tersebut berakhir dengan klimaks yang sangat klise.
Film-film tersebut sesungguhnya sama saja dengan film-film remaja bertema percintaan lainnnya. Hanya saja, film-film ini justru hadir ketika kondisi psikologis remaja kita sedang mengalami kebosanan terhadap apa saja yang telah mereka jalani selama ini. Remaja-remaja perkotaan kita saat ini sedang dilanda krisis yang dipicu meningkatnya intensitas kenakalan di keluarga, pergaulan bebas, serta pemakaian obat-obat terlarang. Akibatnya, meskipun mereka menemukan kenikmatan sesaat, terjadi kejenuhan dan keinginan mencari sesuatu yang baru untuk memahami dirinya.

Film-film ini adalah salah satu cara untuk menemukan dirinya sendiri salah satunya adalah film AADC (Ada Apa Dengan Cinta). Film AADC adalah film cinta yang memiliki empat orang sahabat. Mereka kemana-mana selalu bersama, termasuk dalam aktivitas intrakurikuler dan ekstrakurikule. Persahabatan mereka terancam, karena Cinta jatuh cinta pada Rangga, seorang siswa yang sangat unik. Di situlah konfik AADC terbangun.
Film-film seperti yang telah disebutkan berhasil menciptakan percintaan justru dengan citra yang kurang baik untuk menjadi bahasa komunikasi bagi remaja. Kita tidak tahu sekolah mana yang mengizinkan murid-muridnya tidak beratribut lengkap dan bermode rambut urakan ataukah orang tua mana yang mengizinkan anaknya melakukan ciuman di tengah keramaian umum semacam Bandara Soekarno Hatta. Sudah sedemikian parahkah nilai-nilai perilaku yang dimiliki remaja kita?
Sifat destruksi (merusak) film-film ini terhadap kehidupan moralitas seakan-akan menegaskan menguatnya fenomena generasi posmo. Generasi posmo adalah mereka yang lahir dan dibesarkan dalam suasana yang mapan, makmur, dan mewah. Bergaya fungky dan tidak mau dikekang, mereka bergaul bebas dan tidak mau terikat pada peraturan. Segala sesuatu di-cuekin, yang penting semuanya semau gue. Bahkan dalam kehidupan sosial, generasi ini punya bahasa gaul tersendiri. Yang tulalit-lah, yang be-te-lah, dan lain sebagainya.

Digg This
Reddit This
Stumble Now!
Buzz This
Vote on DZone
Share on Facebook
Bookmark this on Delicious
Kick It on DotNetKicks.com
Shout it
Share on LinkedIn
Bookmark this on Technorati
Post on Twitter
Google Buzz (aka. Google Reader)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *